Dari sini aku tulis,
sebab padi-padi di ladang kian ranum
Dan anak-anak yang berlarian di pematang,
tak lagi sesegar senja
“Bu, belikan aku layangan”
sebab dari sini aku lihat
dua puluh sembilan camar berayun senja
sampai jauh
dan biji-biji kenari lunglai
pada pergulatan lugu
Dan pena-ku tak cukup adil
untuk berkata
tentang itu
“Jangan lupa beli senar yang bagus bu,”
tiga puluh meter
Aku tak mau berpegang rapuh,
ketika menghadap langit
Aku takut jatuh
Aku takut ketinggian
“Bu, lihat!”
“Angin datang, nasib baik kita”
Tapi tak ku dengar sedikitpun kabar ayah
padahal layanganku telah menembus awan,
bertemu Hermes
“Ayah ke mana, bu?”
Sore itu,
Pematang seperti kaca-kaca yang berserakan,
dan langit adalah bayangan semu
yang enggan bercerita
tentang pucuk-pucuk daun kering
yang menguning sayu tanda senja
telah ku lalui ilalang yang lugu
sebab langit kunjung reda
dan temukan layanganku yang putus
“Nak, bangun”
“Hari telah malam”
Seorang anak laki yang merindukan sosok ayah dengan metafor kebebasan bak layangan..

0 komentar: