
Kita yang berselimut dalam rupa dan kata,
acapkali bertemu dalam gelanggang suara dan makna.
Kemudian kita singkapkan warna tajam yang membekas,
seolah rona fajar yang membias dari pelupuk perhelatan senja,
pada dispersi lain.
Kita biasa bertemu dalam dekapan formil yang menggugah eksplorasi diri.
Dan kita juga acapkali tak pernah sesal, lantaran terbiasa menutur luka,
juga tak pernah sadar, jikalau memainkan tirai pengharapan.
Kemudian kita susun kompromitas dalam konstruksi berpikir yang manis dan perlahan merapuh,
habis,
dalam uraian tinta-tinta bisu yang sengaja ditorehkan untuk melawan usia.
Boleh jadi, saat ini kita masih terbuai euforia usang,
yang masih saja bergelayut dan dielu-elukan tentang sang penapak tilas yang berjuang dari kalangan kita,
dan kita amini itu ibarat karcis antrian yang menunggu semesta memanggil.
Tapi, kita yang berselimut dalam rupa dan kata tak juga sadar,
perlahan tunas merekah merona dari ufuk bumi biru,
kemudian dari kemelut yang memuncak, dari kegundahan yang menyemai,
mereka telurkan jiwa-jiwa yang murni, yang menggagas tanpa kegagapan hati, yang memekik merdu menggetar sanubari.
Kita yang (masih) berselimut dalam rupa dan kata,
terbiasa untuk tidak sadar dan berlalu untuk menimbulkan perspektif indentitas yang sama. (cont.)
Note:
Akhirnya sajak ini terbukti pada kehidupan sebenarnya.. ufuk bumi biru menyingsingkan pancaran merah menyala...
0 komentar: