Ketika riset dan teknologi serta pendidikan
tinggi disatupadukan dalam suatu lembaga tunggal, akan ada dua
kemungkinan besar yang dapat terjadi.
Kemungkinan pertama adalah riset dan teknologi (ristek) akan menjadi
ujung tombak penyelenggaraan pendidikan tinggi sehingga ristek akan
menjadi pemandu ke depan arah dan warna pendidikan tinggi.
Kemungkinan kedua adalah premis-premis besar yang selama ini telah
dibangun dan dihasilkan oleh pendidikan tinggi dituntut memiliki
implikasi verifikatif dan inovatif sehingga ristek menjadi jalan bagi
pendaratan empiris pikiran-pikiran besar keilmuan pendidikan tinggi.
Paradigma induktif
Kemungkinan yang pertama akan membawa implikasi pada perubahan
struktur kurikulum atau paling tidak pada silabi penyelenggaraan
pendidikan tinggi yang akan memberikan porsi lebih besar beban satuan
kredit semester (SKS) riset bagi proses pembelajaran di perguruan tinggi
daripada porsi untuk beban SKS teori. Paradigma dari penyelenggaraan
perguruan tinggi untuk kemungkinan pertama ini layak disebut sebagai
”paradigma induktif”, artinya mahasiswa diajak membangun ilmu-ilmu
induktif melalui proses kerja riset.
Pendek kata, paradigma ini mengajak dan membawa mahasiswa untuk
”berani membangun pikirannya sendiri melalui riset” atau ”berani
membangun personal view melalui riset”. Paradigma ini
diharapkan akan melahirkan manusia-manusia Indonesia yang ”percaya
diri”, ”bermental penemu sekaligus pemandu”, dan ”memiliki kapasitas
mempelita” mirip dengan kualitas manusia-manusia hasil karya abad
renaisans di Eropa.
Paradigma ini akan membawa perguruan tinggi bersetubuh dengan
realitas empiris di lapangan dan akan membangkitkan kembali tema-tema
besar kedaulatan bangsa dan negara yang selama ini telah terabaikan,
termasuk tema besar kemaritiman, pangan, kesehatan, kemanusiaan,
teknologi, serta energi.
Paradigma deduktif
Kemungkinan kedua yang bisa terjadi adalah penggabungan ini akan
membawa implikasi pada ”penguatan”, ”peneguhan”, dan ”penegasan” tentang
apa yang selama ini sudah berjalan dengan mapan dalam penyelenggaraan
pendidikan tinggi di Indonesia. Riset atau ”penelitian” telah ditetapkan
menjadi digit kedua di dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Digit kesatu
diduduki oleh ”pendidikan dan pengajaran” dan digit ketiga diisi oleh
”pengabdian kepada masyarakat”.
Penyelenggaraan riset dalam praktik pendidikan tinggi di Indonesia
telah berhasil membawa perguruan-perguruan tinggi membangun jaringan dan
jalinan riset internasional, sehingga peneliti-peneliti di perguruan
tinggi Indonesia telah terintegrasi dengan baik dengan sejawat-sejawat
keilmuan di seluruh dunia. Ketika tema-tema besar penelitian di dunia
berubah, dengan cepat peneliti-peneliti perguruan tinggi di Indonesia
menyesuaikan dan meneguhkannya.
Paradigma penyelenggaraan perguruan tinggi seperti ini barangkali
bisa disebut sebagai ”paradigma deduktif”, artinya kerja riset di
perguruan tinggi mengarah pada ”pembuktian”, ”verifikasi”, dan
”peneguhan” premis-premis besar dunia melalui riset dan kasus-kasus yang
ada di Indonesia. Paradigma ini telah memosisikan perguruan tinggi di
Indonesia menjadi bagian penting dari tema-tema besar jaringan keilmuan
dunia. Namun, sayangnya tema- tema besar dan sangat konkret yang
dihadapi bangsa dan negara Indonesia menjadi ”agak terabaikan”.
Paradigma tengah
Di luar dari kedua kemungkinan di atas, ada kemungkinan ketiga yang
”bisa terjadi”, yakni kemungkinan Indonesia berani membuat ”Piramida
Bidang Keilmuan” dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Artinya,
bidang-bidang ilmu yang sudah terlalu kegemukan lulusannya, sehingga
menimbulkan pengangguran samar, perlu dirampingkan sesuai dengan
kebutuhan nyata di lapangan (sebagai catatan tebal bahwa perampingan
bukan diartikan penghapusan bidang ilmu, karena tugas utama perguruan
tinggi adalah pemelihara dan pengembang ilmu; perampingan yang dimaksud
adalah perampingan jumlah mahasiswa yang diterima dan lulusan yang
dihasilkan).
Di sisi lain, untuk bidang-bidang ilmu yang terkait dengan tema-tema
besar yang dihadapi bangsa, jumlah lulusan yang dihasilkan perlu
digemukkan disesuaikan dengan kebutuhan nyata di lapangan. Paradigma
untuk kemungkinan ketiga ini sementara kita sebut sebagai ”paradigma
tengah” atau tepatnya ”paradigma pragmatis”. Di dalam paradigma ini
unsur ketiga, yakni industri, perlu diikatkan dalam penggabungan ristek
dan dikti. Hal ini mirip yang terjadi di Jepang saat Restorasi Meiji
pada tahun 1870, Korea pada 1971, dan Taiwan pada 1978. Trilogi yang
terdiri dari ristek-dikti-industri telah mengubah ketiga negara tersebut
menjadi negara industri yang sangat disegani.
Dalam konteks Indonesia, industri-industri seperti PT Dirgantara
Indonesia, PT Pindad, PT PAL Indonesia, PT INKA, PT Perkebunan, PT
Biofarma, Lembaga Eijkman, serta lembaga dan PT industri lainnya perlu
disatupadukan dengan ristek dan dikti dalam penyelenggaraan pendidikan
tinggi di Indonesia. Dengan demikian, industri bukan sebagai ruang
praktikum saja, melainkan menjadi muara akhir karya ristek dan dikti.
Artinya, industri-industri tersebut akan menjadi busur lepas bagi
karya-karya mahasiswa, dosen, dan peneliti ke tengah-tengah pasar
industri Indonesia maupun dunia (lihat pidato dies UGM, Desember 2013).
Dengan demikian, konsep dan kriteria perekrutan dosen akan berubah
sehingga dimungkinkan praktisi dapat menjadi dosen di perguruan tinggi
ketika mereka memiliki kapasitas membawa riset dan dikti ke tataran
praksis berupa produk-produk industri. Melalui trilogi tersebut,
Indonesia dibangkitkan menjadi negara ”swa-industri” dan bukannya negara
”pasar industri” bagi produk-produk negara lain.
Dalam paradigma pragmatis atau paradigma tengah ini dinding-dinding
perguruan tinggi diruntuhkan sehingga mahasiswa dapat berlari kencang di
udara bebas keilmuan. Demikian juga dinding-dinding perseroan industri
juga harus dirobohkan untuk dimasuki mahasiswa-mahasiswa yang belajar
sekaligus berkarya sehingga tidak ada dikotomi atau separasi antara
perguruan tinggi dan lembaga-lembaga industri di luar perguruan tinggi
(khususnya industri yang tergabung dalam badan usaha milik negara).
Dalam paradigma ketiga ini, pengertian-konsep-definisi tentang kampus
diperluas sampai menyusup ke lembaga-lembaga yang terkait dan berada di
luar perguruan tinggi, sehingga Tri Dharma Perguruan Tinggi diubah
urutannya menjadi: (1) Pengabdian kepada Masyarakat, melalui (2)
Penelitian dan Pengembangan, dan (3) Pendidikan dan Pengajaran.
Tipologi pendidikan tinggi
Kemungkinan keempat yang dapat terjadi adalah apabila keseluruhan
kemungkinan tersebut terjadi. Artinya, kemungkinan satu, dua, dan tiga
menjadi kenyataan praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia
sehingga penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia memiliki tiga
tipologi.
Tipologi pertama adalah kelompok perguruan tinggi yang meletakkan
riset sebagai tulang punggung sekaligus ujung tombak penyelenggaraan
kegiatan pendidikan sehingga struktur dan substansi kurikulumnya
memberikan porsi besar kepada kegiatan riset. Untuk itu nomenklatur mata
kuliah baru yang berbasis riset perlu menjadi pekerjaan rumah nasional
untuk dirumuskan melalui forum konsorsium-konsorsium bidang ilmu.
Urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi: (1) Penelitian dan
Pengembangan, (2) Pendidikan dan Pengajaran, serta (3) Pengabdian kepada
Masyarakat.
Tipologi kedua adalah kelompok perguruan tinggi yang meletakkan
pendidikan dan pengajaran sebagai kegiatan utama yang didukung riset dan
pengabdian masyarakat. Kelompok perguruan tinggi ini adalah kelompok
yang saat ini kita sudah menjalankan kegiatan pendidikan dan pengajaran
dengan mapan sejak awal Republik ini berdiri sampai saat di bawah payung
institusi Kemdiknas dan Kemdikbud. Urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi
yang baku adalah: (1) Pendidikan dan Pengajaran, (2) Penelitian dan
Pengembangan, serta (3) Pengabdian kepada Masyarakat.
Tipologi ketiga adalah kelompok perguruan tinggi yang mengembangkan
diri menjadi perguruan tinggi yang berorientasi pada industri, sehingga
kegiatan pendidikan dan penelitian yang diselenggarakan didesain untuk
berujung pada karya-karya industri yang secara nyata dilakukan oleh
perseroan-perseroan BUMN seperti disebutkan di atas. Urutan Tri Dharma
Perguruan Tinggi menjadi: (1) Pengabdian kepada Masyarakat, (2)
Penelitian dan Pengembangan, serta (3) Pendidikan dan Pengajaran.
Ketiga tipologi dapat menjadi tipologi perguruan tinggi nasional
dengan tugas khusus yang diberikan oleh negara kepada kelompok-kelompok
perguruan tinggi tertentu, atau dapat menjadi tipologi internal di dalam
perguruan tinggi dalam bentuk kelompok program studi, jurusan, bagian,
atau fakultas. Tentu hal ini akan membawa implikasi dan penyesuaian pada
aspek teknis dan prosedural penyelenggaraan pendidikan tinggi, termasuk
persyaratan dan ketentuan angka kredit kenaikan pangkat dan jabatan
dosen.
Keuntungan dari berjalannya seluruh tipologi di atas dalam praktik
pendidikan tinggi di Indonesia adalah: (1) perkembangan dan pengembangan
ilmu yang sampai saat ini sudah berjalan dapat dipelihara, (2)
agenda-agenda serta jaringan-jaringan riset yang sudah berkembang sampai
saat ini tetap dapat dipelihara dan dikembangkan, dan (3) perubahan ke
arah Indonesia menjadi negara ”swasembada industri” dan ”swadaya
industri” melalui perubahan penyelenggaraan dan format baru kelembagaan
pendidikan tinggi dapat direalisasikan.
Dengan demikian, perubahan bukan sekadar hanya perubahan ”label”,
melainkan perubahan ke arah mana Indonesia ini akan menuju melalui
pendidikan tingginya. Selamat pagi Indonesia.
Sudaryono
Guru Besar FT-UGM
Guru Besar FT-UGM
0 komentar: