APABILA
suatu kali kita mengajak anak ke kebun binatang dan meminta mereka
menghitung jumlah semua binatang dalam kandang monyet, burung kakaktua,
ular, dan buaya, tentu kita tak minta mereka memilih lebih dulu
menghitung jumlah jenis binatangnya atau jumlah binatang di tiap
kandang.
Pembelajaran macam itu tidak saja menciptakan
kebingungan, tetapi lebih jauh lagi menyesatkan cara anak kita
mengomprehensi secara utuh kenyataan/kehidupan di sekelilingnya.
Matematika,
saya kira, juga bukanlah harga mati dari sebuah dasar penalaran yang
berbasis antara lain pada diferensiasi makna atau definisi antara simbol
praksis dan teoretis. Apalagi sesatnya anggapan umum yang menyatakan
matematika adalah dasar pengetahuan, landasan dari kapasitas nalar atau
logika seseorang, untuk bisa memiliki kapabilitas menjelaskan apa pun
deretan fakta atau fenomena di sekeliling kita.
Tampaknya
ada semacam premis dasar yang telah bergeser menjadi semacam keyakinan
yang sekian lama kemudian bernuansa mitis, bahkan mistis, yang
menempatkan matematika sebagai "ratu" atau "ibu" ilmu pengetahuan.
Keyakinan ini diperkuat Roger Bacon,yang dengan tegas menyatakan, tak
ada hal apa pun di dunia ini dapat kita pahami tanpa memiliki
pengetahuan tentang matematika.
Kemafhuman umum yang
sudah jadi mitos ini sudah selayaknya dikoreksi. Nalar, bahkan logika
dalam pengertian logosentrisme (Eropa) Oksidental sekalipun, sebenarnya
sudah sejak lama memosisikan matematika hanya sekadar bagian dari
bangunan pemikiran atau kerja akal-intelektual kita. Tidak hanya karena
matematika butuh presisi bahasa yang "kaku" (rigor) sehingga lumpuh
dalam mengapresiasi kelenturan hidup, tetapi juga—seperti dikatakan
Popper—ia hanya menghasilkan semacam hipotesis-deduktif, yang karena
kodratnya itu ia cocok dengan ilmu pasti yang dipenuhi oleh
"dugaan-dugaan" (conjectures).
Tidak mengherankan
jika seorang Margot Asquith—salah satu wanita paling cerdas yang pernah
dilahirkan di Inggris abad ke-20—menyatakan, sisi matematikal dalam
pikirannya seperti notasi buruk dari piano yang rusak. Bahkan jauh pada
masa lalu, pada masa purba filsafat Yunani, Plato yang hidup mendahului
Euclides, salah satu nenek moyang terbesar dalam matematika (geometri,
setidaknya) sudah berkomentar bahwa ia hampir tidak pernah kenal seorang
pun matematisian yang punya kemampuan untuk melakukan penalaran.
Dalam
bahasa yang satirik, JW v Goethe menganalogikan matematika seperti
orang Perancis, yang mengubah apa pun ke dalam bahasanya sendiri lalu
menjelaskan artinya dalam makna yang berbeda. Atau secara sarkastik,
pionir fiksi fantastis asal Irlandia, Lord Dunsay, memandang matematika
seperti anggur yang segera kehilangan nikmatnya begitu Anda meminumnya
secara berlebih. Dan, saya kira, akhirnya, Einstein-lah yang perlu kita
camkan bersama saat ia mengatakan, "Sejauh-jauh matematika merujuk
kenyataan ia tak pasti, dan apabila pasti, ia tidak merujuk kenyataan."
Bum!
Mitos matematika sebagai dasar nalar memahami hidup remuk oleh dewa
ketidakpastian penggemar biola, kucing, dan cangklong itu. Meyakini
matematika sebagai modal utama kita berpikir logis, tidak hanya seperti
menunggang kuda dengan satu pedal, tetapi juga membuat sebagian hidup
kita menderita kekosongan permanen.
Generasi buta
Bagaimana
posisi, peran, dan fungsi matematika dalam kehidupan kita bernalar atau
bersosiokultural di atas hanyalah sebagian dalam persoalan dunia
pendidikan di negeri kita. Persoalan itu adalah anak-anak atau generasi
muda kita ternyata dididik untuk menggunakan satu cara yang tidak
adekuat untuk memahami eksistensi dan (kenyataan) hidup di
sekelilingnya. Lantaran cara itu tidak cukup komprehensif untuk mampu
mencerap hikmah dari semua dimensi yang terendam dalam eksistensi atau
realitas yang mencakupnya.
Akibatnya tercipta satu
jurang lebar berisi kehampaan (adab) yang luar biasa. Di mana dalam
praksis hidup, ia bisa menjadi lubang jebakan yang mengerikan bagi
anak-anak negeri ini ketika mereka terpenggal-penggal dalam upaya
memahami makna atau hikmah keberadaan dan hidupnya di dunia ini. Sebuah
keadaan yang telah menjadi kenyataan—sekurangnya setengah abad
terakhir—dan melahirkan generasi-generasi dengan sebagian mata (fisik,
intelektual, dan batin)-nya cacat. Sebagai dampak lanjutan, sekurangnya
dua generasi muda negeri ini mengalami semacam kerancuan akut akan
nilai-nilai luhur dan moralitas yang menjadikannya manusia atau sebuah
bangsa.
Inilah yang saya sebut sebagai defisiensi
atau kekosongan dalam dunia pendidikan kita, yang harus saya nyatakan
berlangsung bahkan sejak pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga level
posdoktoral. Situasi itu terjadi ketika modul-modul, silabus, hingga
kurikulum bersama semua peralatan keras pendidikannya semata mengacu
pada yang ada dan telah dipraktikkan oleh sistem pendidikan di (Eropa)
Barat, notabene pendidikan berbasis adab dan budaya kontinental. Itulah
pendidikan yang dilandasi oleh satu rasionalisme atau sistem logika yang
positivistis-materialistis, yang matematika juga menjadi variabel kunci
di dalamnya.
Defisiensi itu terjadi ketika sistem
pendidikan tersebut, pertama, mendasarkan dirinya pada dominasi tunggal
atau kedigdayaan (hanya) salah satu elemen dari kodrat kemanusiaan kita:
akal! Maka, orang Indonesia yang banyak mengandalkan "rasa" akan
mengalami kegagalan eksistensial karena ia berlawanan dengan modus
eksistensial yang oleh Ambroce Bierce, penyair ternama AS awal abad
ke-20, dipelintir jadi adagium yang sinistik, "Aku berpikir aku
berpikir, karena itu aku pikir aku ada."
Kedua,
materialisasi pengetahuan, terutama ketika ia menjadi ilmu ilmiah
(sains), meluputkan kita dari kemampuan untuk melihat dimensi nonfisis
atau nonnatural dari setiap obyek, subyek, atau fenomena yang ada di
sekitar hidup kita. Sebuah kesadaran yang belakangan kian meruang di
tingkat global, tentang "kenyataan-kenyataan" yang ada di luar, di atas,
"meng-atas-i", atau hyper dan supra dari yang "natural".
Ketiga,
jurang atau kesenjangan di atas pada akhirnya membuat kita invalid,
bahkan untuk mengenali dan memahami kenyataan kemanusiaan kita dalam
konteks-konteks lokal, baik yang tradisional atau primordialnya.
Kurikulum ideologis
Maka,
akhirnya, defisiensi pendidikan ini pun melahirkan manusia-manusia yang
defisien: manusia cacat yang tidak lengkap karena absennya beberapa
variabel kunci dalam cara kita mengomprehensi diri dan realitas
hidupnya. Manusia defisien inilah yang akan mengalami frustrasi atau
depresi eksistensial ketika harapan dan keinginan para orangtua atau
sistem yang "meng-orangtua" (paternalistik) ditimbunkan, lalu jadi
tekanan bahkan represi bagi anak-anak muda kita. Wajar jika kemudian
gadgets dari teknologi modern bersama semua program, perangkat lunak,
atau fitur-fiturnya menjadi "orangtua" yang lebih memahami mereka, atau
sekurangnya menjadi teman dalam keyatimpiatuan kultural mereka.
Defisiensi
pendidikan seperti ini akan selamanya mengalami kegagalan dalam
menengarai potensi atau kapasitas dari subyek dan obyek didiknya. Itu
karena hampir semua subyek dan obyek tersebut sebenarnya menyimpan
semacam kecerdasan yang tak dapat diukur standar atau acuan-acuan ilmiah
atau akademis. Kecerdasan yang, katakanlah, tradisional atau
primordial, yang tak hanya diremehkan dan dilecehkan, tetapi juga
distigmatisasi begitu negatifnya sebagai sebuah kelampauan, kepurbaan
yang padat dengan mistik dan klenik.
Sementara
sesungguhnya kecerdasan terakhir ini telah memberi bukti dalam sejarah
bagaimana daya kerja, kreativitas, dan produktivitasnya tidak saja
mengimbangi, tetapi bahkan mampu melampaui atau menundukkan kecerdasan
modern, yang ilmiah, yang matematis, yang kontinental itu. Katakanlah
sebuah misal, bagaimana sistem pendidikan kita setengah abad belakangan
mampu menciptakan figur-figur besar yang dibesarkan lebih oleh
kecerdasan primordialnya (otodidak) ketimbang kecerdasan modernnya,
macam M Yamin, Soekarno, Adam Malik, Agus Salim, Hamka, Mochtar Lubis,
hingga Ali Moertopo, Soeharto, bahkan Gus Dur. Fenomena mutakhir seperti
Jokowi yang hanya "insinyur kehutanan" sebagai formasi
akademik/ilmiahnya?
Tampaknya harus mulai kita
sadari, defisiensi pendidikan ini bukan sekadar "kebebalan kontinental"
dari para pengambil kebijakan pendidikan kita (yang rata-rata wajib
ber-"guru besar" dalam format pendidikan kontinental itu, yang
mengabaikan "sistem" atau metode pengajaran tradisional maritim kita),
tetapi sistem pendidikan kita itu sesungguhnya sangat dipengaruhi
kepentingan-kepentingan politis dan ideologis tertentu. Kepentingan yang
berlatar jauh, di mana sejarah ilmu mengajarkan bagaimana pengakuan dan
diseminasi dari sebuah ilmu sebenarnya berlangsung melalui pertempuran
politik, di mana ideologi sembunyi di dalamnya.
Senaif
atau sespekulatif apa pun proporsi pamungkas ini taklah buruk jika
menjadi bahan pertimbangan atau pencarian alternatif bagi bangsa dan
generasi-generasi yang memikul tanggung jawabnya di masa nanti.
Radhar Panca Dahana,
Budayawan
0 komentar: