BUKAN suatu kebetulan ketika sebuah stasiun televisi swasta nasional memutarkan film Taken (2008) beberapa hari setelah pembantaian di kantor majalah satire Perancis, Charlie Hebdo, 7 Januari lalu.
Film
yang diproduseri dan ditulis naskahnya Luc Besson, yang juga seorang
sutradara Perancis brilian, memancing ingatan untuk merekonstruksi
hubungan antar-peradaban, terutama Barat dan Islam. Saya memiliki tiga
sketsa yang saling berhubungan: film Taken, kasus Charlie Hebdo, dan kasus Rosnida Sari, seorang dosen UIN Arraniry Aceh yang kini sedang menjadi fenomena intoleransi baru.
Distorsi visual dan literal
Kesadaran pertama dipicu oleh Taken. Film
ini sesungguhnya film seram yang kaya problem kultural. Kisahnya
tentang upaya seorang pensiunan intelijen Amerika (CIA), Bryan Mills
(Liam Neesson), membebaskan anaknya yang diculik sekelompok mafia
imigran di Paris, Perancis.
Siapa
para mafia itu? Di dalam film itu digambarkan sebagai penyelundup
manusia dan mafia bisnis seksual dari Tropoja, Albania Utara. Tropoja
sebuah wilayah yang dekat dengan Kosovo. Beberapa literatur menyebutkan
komunitas Tropoja mayoritas beragama Islam, tetapi terkenal karena
brutal dan kasar sejak dinasti Ottoman. Mereka jadi para bandit (Hajduk) yang biasa melakukan tindakan melawan hukum (Richard W Slatta,Bandits and Social Rural History, 1991).
Pada Taken, problem etnisitas dan kultural agama tak terlalu diombang-ambingkan. Namun, di sekuelnya, Taken 2 (2012), ironisme muncul lebih kontras dan verbal. VisualisasiTaken 2 dimulai upacara penguburan yang diiringi suara azan. Mereka mengambil settingfilm
ini di Turki yang penuh mesjid dan simbol Islam. Di film ini
diceritakan tentang upaya balas dendam kepada Bryan Mills. Di kalangan
masyarakat Tropoja (juga di banyak masyarakat), balas dendam adalah
tindakan suci untuk menegakkan kehormatan keluarga.
Meskipun
film ini tidak secara vulgar berbicara perang antaragama, narasinya
jelas menunjukkan perbenturan dua peradaban dan seolah-olah menjadi
problem agama. Sebuah catatan sinopsis menyebutkan, film ini menguras
perasaan tentang politik identitas keagamaan dalam dua kutub: kehendak
untuk membalas dendam yang menggelegak dari gangster Tropoja yang Muslim
dan upaya mempertahankan diri dengan membunuh musuh-musuhnya secara
dingin dari seorang Amerika yang Kristen.
Saya
tak ingin menambahkan kesimpulan sentimentil bahwa akhirnya Liam
Neesson masuk Islam ketika pembuatan film ini (karena nyatanya film ini
memberikan pesan kontradiktif dan bukan persuasif). Bukan itu yang
prinsipil. Yang lebih penting dilihat: peradaban global kita tidak
berjalan sedewasa pengetahuan modern tentang humanisme universal,
rasionalitas agama, dan etika global lainnya. Saat ini ada banyak
kejahatan global merupakan reaksi akibat insuler pengetahuan etik tak
berjalan. Kasus pembantaian para pekerja di majalah Charlie Hebdo adalah tindakan keji. Tidak diragukan hal itu.
Namun, parade kekejian lain tak kurang berlalu lalang di depan mata tanpa reaksi dan pembelaan. Tragedi Charlie Hebdo tak
lebih keji dibandingkan pembantaian 132 murid-murid di sebuah sekolah
di Peshawar, Pakistan, atau pembunuhan dan pelecehan seksual masyarakat
sipil oleh tentara sekutu NATO (AS) di Afganistan dan Irak selama masa
pendudukan. Produksi film stereotip sepertiBlack Hawk Down (2001) dan The Interview(2014) juga semakin merumitkan Barat (terutama AS) melihat cermin dirinya secara jernih.
Pembantaian Charlie Hebdo adalah
tragedi kemanusiaan, tetapi juga reaksi atas kebebasan berpendapat yang
keliru. Perancis meneguhkan diri sebagai salah satu negara Eropa yang
mempromosikan nilai- nilai demokrasi, kebebasan (liberty), persamaan (egality), dan persaudaraan (fraternity),
tetapi visualisasi Nabi Muhammad dan literasi buruk Islam juga bukan
karya jurnalistik ideal. Ekspresi kebebasan berpendapat mengalami
kecelakaan ketika menyakiti perasaan kelompok lain.
Namun, jika masuk lebih detail, apakah pembantai di Charlie Hebdo para
mujahid? Sebuah publikasi 10 tahun lalu tentang Cherif Kouachi
menggambarkan siapa sesungguhnya dia. Kouachi punya rekaman kriminalitas
terkait aksi bom bunuh diri. Ia keturunan Aljazair dan hampir seumur
hidup tinggal di Perancis yang sekuler. Ia pemabuk, pengisap ganja,
tidur bersama pacarnya, dan bekerja sebagai pengantar pizza (Mark
Houser, French Muslims battle internal, external strife,
29 Mei 2005). Bagaimana kita memercayai dari sosok ini ada kesejatian
nilai Islam yang didapatkan melalui pendidikan yang benar?
Menurut Omid Safi, profesor kajian Islam Amerika Serikat keturunan Iran di Duke University, kasus Charlie Hebdo adalah
kesalahpahaman Barat memahami "peradaban lain". Kesalahpahaman itu
terjadi karena tidak cukup banyak pesan suci agama Islam yang sampai.
Mereka memahami Islam atau peradaban non-Barat dari realitas
sosial-ekonomi-politik minoritas Muslim di negara-negara Barat. Realitas
itu sering memperlihatkan wajah buruk komunitas Muslim dibanding pesan
normatif Islam yang penuh kebajikan.
Bagi Safi, Charlie Hebdo harus
dibaca sebagai akumulasi kefrustrasian dari ketidakadilan terhadap
warga minoritas. Jika Perancis menyebutkan kartun-kartun satir agama
sebagai ekspresi kebebasan dibandingkan dengan blasphemy (pemberitaan
yang menghina keyakinan agama), seharusnya kebebasan itu juga
mempertimbangkan psikologi keberatan kelompok Muslim minoritas imigran
yang rata-rata pengetahuannya terbatas tentang motif "kebebasan ganjil"
itu.
Tindakan
Kouachi bersaudara membunuh bukan saja "kafir", tetapi juga seorang
polisi, Ahmed Merabet, yang memohon tidak ditembak, dan seorang editor
majalahMoustapha Ourrad—keduanya
Muslim—menunjukkan ini sama sekali bukan masalah Barat versus Islam,
tetapi problem kewargaan di sebuah negara Eropa (Omid Safi, "9 Points to
Ponder on the Paris Shooting and Charlie Hebdo", www.onbeing.org, 8
Januari 2015).
Kesesatan pikir
Namun,
di sini, di Aceh, kasus ini mengalami pembalikan situasi. Pemberitaan
yang kini populer tentang seorang dosen UIN Arraniry, Dr Rosnida Sari,
yang membawa mahasiswanya ke gereja untuk belajar tentang jender malah
berujung pada penistaan atas keyakinannya sebagai Muslim, ancaman
pengusiran, dan pembunuhan. Fenomena ini adalah bagian dari kesesatan
pikir tentang agama Islam karena ikut memberikan gambaran buruk tentang
agama Kristen.
Tindakan
Rosnida Sari adalah profan semata, yaitu keinginan berdialog dengan
semangat toleransi bersama komunitas non-Muslim yang minoritas di Aceh.
Sayangnya, ia serta-merta dituduh sesat dan bersalah berat. Kepala Dinas
Syariat Islam Aceh Syahrial Abbas telah menyatakan tindakan Rosnida
tidak bertentangan dengan Islam (BBC Indonesia, 9 Januari 2015). Namun,
hukuman telah merajamnya. Ia dihukum oleh persangkaan massa yang tak
otentik memahami Islam. Ia terjebak pada pusaran peradaban yang belum
dewasa memahami perbedaan.
Jika
hal ini dibiarkan, akan tumbuh benalu dalam pengetahuan sosial dan akan
termanifestasi jadi aksi bawah sadar masyarakat yang bisa merugikan
hubungan antarwarga (atau umat). Bahkan, kini terjadi penggiringan opini
bahwa itu akibat produk sesat belajar Islam di Barat. Juga muncul
kesimpulan bahwa ini sebentuk pembalasan atas kesewenang-wenangan
pengetahuan Barat kepada umat Islam. Di Aceh jangan harap mereka
berjaya!
Bagaimana
mengurai kekacauan pikir seperti ini? Tidak ada cara lain kecuali
membersihkan lorong gelap peradaban kita yang terlalu lama terendam
lumpur persangkaan karena tak kunjung membangun dialog dan perjumpaan
atas perbedaan secara cerdas, arif, dan bijaksana.
TEUKU KEMAL FASYA
Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Aceh; Aktivis Jaringan Antariman Indonesia
0 komentar: