Menarik membaca tulisan dari saudara Erry Yulian Triblas Adesta,
yang bertopik “Harga” Dosen Naik, Peringkat Universitas Turun, sebagai bentuk
tanggapan dari tulisan Rhenald
Khasali yang bertopik Naiknya
“Harga” Dosen yang dipublish di harian Kompas September 2014 silam.
Membuat saya terbayang-bayang jauh memikirkan soal Pendidikan kali ini. Ya,
secara tidak langsung komparasi tulisan tersebut melahirkan suatu paradigma yang
utuh dan saling melengkapi tentang fenomena pendidikan kekinian, tidak hanya
dari suprastruktur, namun juga dari tinjauan humanitas dan karakter pendidik
tempo ini. Hal tersebut ternyata juga memiliki korelasi yang erat dengan apa
yang terjadi di Institusi tempat saya “mendewasakan” pemikiran, yakni Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Sejak tertanggal 17 Oktober 2014, ITS telah ditetapkan statusnya sebagai PTN-BH
melalui Peraturan Pemerintah
(PP) nomor 83 tahun 2014, hal ini secara otomatis merubah status
pengelolaan ITS yang berbentuk Badan Layanan Umum (PTN-BLU) menjadi Badan Hukum
(PTN-BH). Sesuai dengan kodratnya, lembaga apapun yang berstatus Badan Hukum
(BH) dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking) dan juga mempunyai harta kekayaan
sendiri, dimana harta perusahaan dan harta pribadi dipisahkan secara jelas.
Konteks khusus dari pemisahan kekayaan dari Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
(PTN-BH) telah tercantum jelas pada PP
nomor 4 tahun2014 Pasal 24 ayat 1, yang menyatakan “Kekayaan awal PTN Badan
Hukum berasaldari kekayaan Negara yang dipisahkan kecuali tanah”. Dimana unsur
kekayaan pribadi ditafsirkan sebagai kekayaan pemerintah—pendiri Perguruan
Tinggi Badan Hukum yang dimaksud, dan harta perusahaan ditafsirkan
sebagai harta dari PTN-BH tersebut.
Lantas kaitan di mana?
Perguruan Tinggi Badan Hukum
Secara kelembagaan, perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri
lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi. Otonomi
yang dimaksud, mencangkup pada otanomi di bidang Akademik dan bidang non
Akademik. Ejawantahan dari bidang Akademik, melingkup pada penetapan norma dan
kebijakan operasional serta pelaksanaan dari Tridharma Perguruan Tinggi
tersebut. Sedangkan, untuk bidang non Akademik, melingkup pada pelaksanaan
organisasi,keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan dan sarana prasarana. Sebagai
kampus yang tengah mengalami transisi pengelolaan, tentu penentuan arah
kebijakan tidak bisa serta merta dilakukan secara normatif atau bahkan
mengambil referensi darisistem yang telah berhasil (?) sebelumnya, karena
kondisinya berbeda. Perlu sosok mental-mental yang entrepreneurial dan
transformatif, guna menyusun langkah strategis yang terbaik serta taktis demi
memenuhi “check list” PerguruanTinggi Negeri Badan Hukum sesungguhnya.
Dalam otonomi pengelolaan bidang akademik, hal yang menjadi sorotan adalah
terkait pembukaan, perubahan dan penutupan Program Studi. Sudah tentu, ini
bukan sekadar tambal sulam untuk meningkatkan citra kualitas institusi di mata
masyarakat dalam menjawab “kebutuhan” industri kekinian. Tapi juga
mempertimbangkan aspek non akademik secara check
and balance, semisal dari kebutuhan akan ketenagaan, kemahasiswaan ataupun
keuangan yang menopang terselenggaranya kegiatan akademik. Semestinya itu juga
dipertimbangkan matang-matang.
Tenaga Pendidik dan Pengaruhnya
Mengacu pada sorotan permasalahan di atas, telah dijabarkan dalam ulasan Rhenald Khasali, bahwa dunia
akademik saat ini memasuki babak baru. Dimana menjadi “kabar gembira” bagi
dosen-dosen yang berdedikasi dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai
dengan keahliannya dan sekaligus “kabar menarik” bagi rektor-rektor yang
kampusnya telah berstatus PTN-BH. Beliau mengulas, bahwasanya secara manajerial
rektor harus mampu mengelola dan bekerja lebih keras untuk mencari dana-dana
baru di luar uang kuliah yang di bayar oleh mahasiswa. Implikasinya apabila
gagal, maka kampusnya akan ditinggalkan atau ketinggalan jaman, bahkan beberapa
biaya yang menopang sektor lain akan menjadi korban “menambal” biaya lainnya
yang lebih di prioritaskan. Oleh karena itu, tak jarang muncul bisikan
pahit-pahit sedap yang menyebar seantero kampus tersebut. Hehe. Ya biasanya,
lingkup bisikan akibat kurangnya biaya tak jauh-jauh dari lingkup
kemahasiswaan, perawatan fasilitas kampus dan juga insentif atau tunjangan
untuk dosen/karyawan di kampus, yang kemudian juga mempengaruhi dari reputasi
dan akreditasi kampus. Hmmm sungguh pertaruhan yang sedap.
Nah, bagi dosen yang telah disebutkan sebelumnya memiliki kualitas “prima”dalam
riset dan produktif dalam menjalankan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi,
justru beliau akan menjadi komoditi “rebutan” bagi pimpinan Universitas yang
cerdik dan eksploitatif serta tentunya bermodal dengan memberikan berbagai
macam fasilitas riset yang memumpuni untuk menunjang karier. Dan terang saja,
“harga” dosen dengan kualitas prima akan naik setinggi langit. Secara
oportunis, bisa saja sang dosen memilih dengan sedikit mengabaikan marwah yang
dimiliki dan etos sebagai seorang pendidik bagi institusinya dan mahasiswanya,
toh kemudian dapat dibangun pada institusi menerimanya dengan “layak”. Ya
walaupun memang telah ada sistem (Pemendikbud No. 84/2013) yang mengikat
dosen untuk tetap tinggal atau menetap di Kampus tersebut. Karena faktor NIDN
dan NIPN yang dijadikan jaminan karier dosen, maka tidak bisa serta merta di
klaim oleh universitas lain. Tapi bukan berati tidak bisa lho, sebab bisa saja
ada transaksional “belakang meja”, karena sifatnya NIDN ini tergantung dari homebased dosen bersangkutan, seperti
dilansir pada Surat Edaran No:1130/E4.1/2012 Perihal Pengajuan NIDN Baru dan
perubahan data dosen, dengan acuan diktum 3: “Semua pengajuan sebagaimana
disebut di diktum 1 di atas (Surat Edaran tersebut, red), harus melampirkan
surat pengantar dari pemimpin perguruan tinggi pengusul”. Berati otomatis
ketika pimpinan perguruan tinggi pengusul setuju, maka dosen dapat berpindah
tempat. Tentu tak semudah membalikkan telapak tangan, “kompensasi” atas
kehilangan tentu sebuah jawaban.
Lantas semudah itukah membuka
program studi baru dengan memenuhi ketenagaan dengan “mencomot” dari
Universitas lain yang dosennya memumpuni, untuk menjaga
akreditasinasional?
Jika tidak dengan cara demikian,
apakah cukup dengan car hanya inbreeding saja? Tentu kalau ini caranya,bisa
ditebak kualitasnya tidak jauh-jauh dari sebelum-belumnya.
Bagaimana dengan isu pemekaran
jurusan yang saat ini marak terjadi di lingkup ITS dengan status belum
stabilnya pengelolaan PTN-BH?
Bagaimana era kepemimpinan
mendatang merumuskan rencana itu?
Bagaimana era kepemimpinan
sebelumnya mengawal?
Rasanya ini menjadi PR yang patut
untuk diterjemahkan dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh.
Oke sebelum lanjut, mari kita bersepakat bahwasanya “kemakmuran” dosen bukanlah
sebuah parameter yang sangat menentukan kinerja dosen pada Perguruan Tinggi.
Dan sebagian dosen bukanlah pengejar “harga” sebagaimana yang diulas di atas.
Kinerja Perguruan Tinggi, Citra
dan Keluhuran
Berbicara soal PTN-BH tentu tak lepas kaitannya dengan kinerja Perguruan Tinggi
secaraumum, maka patut pula membahas soal parameter yang menjadi tolok ukur
penilaian kinerja Perguruan Tinggi tersebut. Seperti yang dilansir pada
University WorldNews,
“….An alternative modelwould see
quality account for 40% of institutional scores, research 25%, community
service 15%, finances 10% and general information 10%”,
skor institusi (40%) memegang
peranan terbesar, dimana reputasi kualitas dari pengajaran dan pembelajaran
berlaku pada penilaian tersebut. Senada dengan itu, QS World University
Rankingmelansir,
“….academic reputation (gathered
using a global survey for academics), weighted 40%; employer reputation
(gathered using a global survey for employers), weighted 10%, faculty/student
ratio, weighted 20%, the number of citations per faculty member(from SciVerse
Scopus), weighted 20%, the percentage of international students,weighted 5%,
and international faculty members, weighted 5%”,
menetapkan hal yang sama bahwa
reputasi akademik (40%) yang melingkup proses pengajaran dan pembelajaran dalam
porsi yang lebih besar. Sementara itu, menurut versi dalam negeri yakni melalui
Badan Akreditasi Nasional–Perguruan Tinggi (BAN-PT), dalam Buku 1 Naskah
Akademik melansir 7 parameter standar, yakni:
Standar 1.
Visi, misi, tujuan dan sasaran, sertastrategi pencapaian
Standar 2.
Tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminanmutu
Standar 3.
Mahasiswa dan lulusan
Standar 4.
Sumber daya manusia
Standar 5.
Kurikulum, pembelajaran, dan suasanaakademik
Standar 6.
Pembiayaan, sarana dan prasarana, sertasistem informasi
Standar 7.
Penelitian, pelayanan/pengabdian kepadamasyarakat, dan kerjasama
Semua itu menghasilkan kuantitas
nilai yang mewakili segi kualitas yang digunakan dalam proses “pencitraan”
Perguruan Tinggi. Ya, murni pencitraan sangat dibutuhkan dalam menggaet peserta
didik dan bisa jadi, juga investor/lembaga yang berminat untuk menjalin relasi,
lebih-lebih ketika pengelolaan kampus telah berstatus Badan Hukum (BH).
Lantas apakah praktis tujuan
Perguruan Tinggi kali ini tergeser atau bahkan terdistorsi untuk
pencitraan/reputasi?
Mengabaikan segi nilai humanitas
dan keluhuran Pendidikan seperti termaktub dalam tujuan Pendidikan Tinggi pada UUNo 12 Tahun 2012 pasal 5?
Jangan sampai Pendidikan Tinggi
kali ini hanya akal-akalan kalkulasi antara pencitraan, konglomerasi dan
keinginan mendominasi. Sungguh yang “leluhur” pun tak pernah terpikirkan
seperti itu.
Bagaimana dengan ITS ke depan?
Publikasi Karya dan Problematiknya
Baik, mari berlanjut pada trah Pendidikan Tinggi sebagai penghasil Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi seperti yang pernah diulas oleh Erry Yulian Triblas Adesta.
Salah satu carauntuk menghasilkan dan menghargai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
adalah menjadikan karya dalam makalah, jurnal internasional, prototype, barang berguna, ataupun hak paten.
Beliau sempat mengulasterkait pengeluaran Surat
Edaran No 152/E/T/2012 yang
memberlakukan ketentuan kewajiban menghasilkan makalah sebagai syarat kelulusan
bagi mahasiswa S-1, S-2dan S-3. Surat Edaran tersebut, seperti ulasannya,
menuai kontroversi dan kehebohan di dunia akademisi, bahkan sampai saat ini
dampak surat edaran belumberpengaruh signifikan terhadap jumlah Publikasi Karya
Ilmiah di Indonesia. Mungkin satu hal yang terlupakan ketika surat
tersebut dikeluarkan, yaitu kenyataan bahwa tanpa ditopang kegiatan riset yang
menghasilkan luaran yang layak, mewajibkan mahasiswa menulis makalah hanya akan
mendorong para peserta didik mengambil jalan pintas. Salah satunya melakukan
plagiarisme. Terlepas dari itu tidak ada yang dapat memastikan/menjamin bahwa
banyak karya yang tersebar di Perguruan Tinggi kini sifatnya orisinil bukan
merupakan hasil “sulapan” karya sebelumnya. Belum ada.
Alhamdulillah, di Jurusan
saya (Teknik Kimia, sebagai gambaran skup kecil ITS) sejak tahun 2013 kemarin
sudah memberlakukan kebijakan tersebut, melalui uploadkarya tugas akhir di
Publikasi Ilmiah Online Mahasiswa ITS (POMITS).
Namun apakah ITS hanya berhenti
sebatas menampung hasil upload karya mahasiswanya di laman yang
memiliki tujuan untuk menghargai dan menghormati karya intelektual mahasiswa?
Seharusnya tidak hanya sebatas itu.
Ya, akhir ini saya sebagai penulis yang terbayang-terbayang, hanya bisa
menitipkan pada calon pucuk pimpinan tertinggi ITS untuk benar-benar
memikirkan, salah satu dari banyak hal yang harus dipikirkan untuk kemajuan ITS
kedepan. Ini menjadi tantangan mendatang untuk calon Rektor ITS. Harus BISA!
0 komentar: