Merangkai Pertanyaan dan Ulasan untuk Pendidikan ITS


       

        Menarik membaca tulisan dari saudara Erry Yulian Triblas Adesta, yang bertopik “Harga” Dosen Naik, Peringkat Universitas Turun, sebagai bentuk tanggapan dari tulisan Rhenald Khasali yang bertopik Naiknya “Harga” Dosen yang dipublish di harian Kompas September 2014 silam. Membuat saya terbayang-bayang jauh memikirkan soal Pendidikan kali ini. Ya, secara tidak langsung komparasi tulisan tersebut melahirkan suatu paradigma yang utuh dan saling melengkapi tentang fenomena pendidikan kekinian, tidak hanya dari suprastruktur, namun juga dari tinjauan humanitas dan karakter pendidik tempo ini. Hal tersebut ternyata juga memiliki korelasi yang erat dengan apa yang terjadi di Institusi tempat saya “mendewasakan” pemikiran, yakni Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. 

    Sejak tertanggal 17 Oktober 2014, ITS telah ditetapkan statusnya sebagai PTN-BH melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 83 tahun 2014, hal ini secara otomatis merubah status pengelolaan ITS yang berbentuk Badan Layanan Umum (PTN-BLU) menjadi Badan Hukum (PTN-BH). Sesuai dengan kodratnya, lembaga apapun yang berstatus Badan Hukum (BH) dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking) dan juga mempunyai harta kekayaan sendiri, dimana harta perusahaan dan harta pribadi dipisahkan secara jelas. Konteks khusus dari pemisahan kekayaan dari Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) telah tercantum jelas pada PP nomor 4 tahun2014 Pasal 24 ayat 1, yang menyatakan “Kekayaan awal PTN Badan Hukum berasaldari kekayaan Negara yang dipisahkan kecuali tanah”. Dimana unsur kekayaan pribadi ditafsirkan sebagai kekayaan pemerintah—pendiri Perguruan Tinggi Badan  Hukum yang dimaksud, dan harta perusahaan ditafsirkan sebagai harta dari PTN-BH tersebut. 



Lantas kaitan di mana?



Perguruan Tinggi Badan Hukum



          Secara kelembagaan, perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi. Otonomi yang dimaksud, mencangkup pada otanomi di bidang Akademik dan bidang non Akademik. Ejawantahan dari bidang Akademik, melingkup pada penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan dari Tridharma Perguruan Tinggi tersebut. Sedangkan, untuk bidang non Akademik, melingkup pada pelaksanaan organisasi,keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan dan sarana prasarana. Sebagai kampus yang tengah mengalami transisi pengelolaan, tentu penentuan arah kebijakan tidak bisa serta merta dilakukan secara normatif atau bahkan mengambil referensi darisistem yang telah berhasil (?) sebelumnya, karena kondisinya berbeda. Perlu sosok mental-mental yang entrepreneurial dan transformatif, guna menyusun langkah strategis yang terbaik serta taktis demi memenuhi “check list” PerguruanTinggi Negeri Badan Hukum sesungguhnya. Dalam otonomi pengelolaan bidang akademik, hal yang menjadi sorotan adalah terkait pembukaan, perubahan dan penutupan Program Studi. Sudah tentu, ini bukan sekadar tambal sulam untuk meningkatkan citra kualitas institusi di mata masyarakat dalam menjawab “kebutuhan” industri kekinian. Tapi juga mempertimbangkan aspek non akademik secara check and balance, semisal dari kebutuhan akan ketenagaan, kemahasiswaan ataupun keuangan yang menopang terselenggaranya kegiatan akademik. Semestinya itu juga dipertimbangkan matang-matang.



Tenaga Pendidik dan Pengaruhnya



          Mengacu pada sorotan permasalahan di atas, telah dijabarkan dalam ulasan Rhenald Khasali, bahwa dunia akademik saat ini memasuki babak baru. Dimana menjadi “kabar gembira” bagi dosen-dosen yang berdedikasi dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan keahliannya dan sekaligus “kabar menarik” bagi rektor-rektor yang kampusnya telah berstatus PTN-BH. Beliau mengulas, bahwasanya secara manajerial rektor harus mampu mengelola dan bekerja lebih keras untuk mencari dana-dana baru di luar uang kuliah yang di bayar oleh mahasiswa. Implikasinya apabila gagal, maka kampusnya akan ditinggalkan atau ketinggalan jaman, bahkan beberapa biaya yang menopang sektor lain akan menjadi korban “menambal” biaya lainnya yang lebih di prioritaskan. Oleh karena itu, tak jarang muncul bisikan pahit-pahit sedap yang menyebar seantero kampus tersebut. Hehe. Ya biasanya, lingkup bisikan akibat kurangnya biaya tak jauh-jauh dari lingkup kemahasiswaan, perawatan fasilitas kampus dan juga insentif atau tunjangan untuk dosen/karyawan di kampus, yang kemudian juga mempengaruhi dari reputasi dan akreditasi kampus. Hmmm sungguh pertaruhan yang sedap. 

          Nah, bagi dosen yang telah disebutkan sebelumnya memiliki kualitas “prima”dalam riset dan produktif dalam menjalankan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi, justru beliau akan menjadi komoditi “rebutan” bagi pimpinan Universitas yang cerdik dan eksploitatif serta tentunya bermodal dengan memberikan berbagai macam fasilitas riset yang memumpuni untuk menunjang karier. Dan terang saja, “harga” dosen dengan kualitas prima akan naik setinggi langit. Secara oportunis, bisa saja sang dosen memilih dengan sedikit mengabaikan marwah yang dimiliki dan etos sebagai seorang pendidik bagi institusinya dan mahasiswanya, toh kemudian dapat dibangun pada institusi menerimanya dengan “layak”. Ya walaupun memang telah ada sistem (Pemendikbud No. 84/2013) yang mengikat dosen untuk tetap tinggal atau menetap di Kampus tersebut. Karena faktor NIDN dan NIPN yang dijadikan jaminan karier dosen, maka tidak bisa serta merta di klaim oleh universitas lain. Tapi bukan berati tidak bisa lho, sebab bisa saja ada transaksional “belakang meja”, karena sifatnya NIDN ini tergantung dari homebased dosen bersangkutan, seperti dilansir pada Surat Edaran No:1130/E4.1/2012 Perihal Pengajuan NIDN Baru dan perubahan data dosen, dengan acuan diktum 3: “Semua pengajuan sebagaimana disebut di diktum 1 di atas (Surat Edaran tersebut, red), harus melampirkan surat pengantar dari pemimpin perguruan tinggi pengusul”. Berati otomatis ketika pimpinan perguruan tinggi pengusul setuju, maka dosen dapat berpindah tempat. Tentu tak semudah membalikkan telapak tangan, “kompensasi” atas kehilangan tentu sebuah jawaban. 


Lantas semudah itukah membuka program studi baru dengan memenuhi ketenagaan dengan “mencomot” dari Universitas lain yang dosennya memumpuni, untuk menjaga akreditasinasional? 


Jika tidak dengan cara demikian, apakah cukup dengan car hanya inbreeding saja? Tentu kalau ini caranya,bisa ditebak kualitasnya tidak jauh-jauh dari sebelum-belumnya. 

Bagaimana dengan isu pemekaran jurusan yang saat ini marak terjadi di lingkup ITS dengan status belum stabilnya pengelolaan PTN-BH? 

Bagaimana era kepemimpinan mendatang merumuskan rencana itu? 

Bagaimana era kepemimpinan sebelumnya mengawal?
Rasanya ini menjadi PR yang patut untuk diterjemahkan dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh.
     Oke sebelum lanjut, mari kita bersepakat bahwasanya “kemakmuran” dosen bukanlah sebuah parameter yang sangat menentukan kinerja dosen pada Perguruan Tinggi. Dan sebagian dosen bukanlah pengejar “harga” sebagaimana yang diulas di atas.



Kinerja Perguruan Tinggi, Citra dan Keluhuran



        Berbicara soal PTN-BH tentu tak lepas kaitannya dengan kinerja Perguruan Tinggi secaraumum, maka patut pula membahas soal parameter yang menjadi tolok ukur penilaian kinerja Perguruan Tinggi tersebut. Seperti yang dilansir pada University WorldNews,



….An alternative modelwould see quality account for 40% of institutional scores, research 25%, community service 15%, finances 10% and general information 10%”,



skor institusi (40%) memegang peranan terbesar, dimana reputasi kualitas dari pengajaran dan pembelajaran berlaku pada penilaian tersebut. Senada dengan itu, QS World University Rankingmelansir,



….academic reputation (gathered using a global survey for academics), weighted 40%; employer reputation (gathered using a global survey for employers), weighted 10%, faculty/student ratio, weighted 20%, the number of citations per faculty member(from SciVerse Scopus), weighted 20%, the percentage of international students,weighted 5%, and international faculty members, weighted 5%”,



menetapkan hal yang sama bahwa reputasi akademik (40%) yang melingkup proses pengajaran dan pembelajaran dalam porsi yang lebih besar. Sementara itu, menurut versi dalam negeri yakni melalui Badan Akreditasi Nasional–Perguruan Tinggi (BAN-PT), dalam Buku 1 Naskah Akademik melansir 7 parameter standar, yakni:



Standar 1.     Visi, misi, tujuan dan sasaran, sertastrategi pencapaian

Standar 2.     Tata pamong,  kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminanmutu
Standar 3.     Mahasiswa dan lulusan
Standar 4.     Sumber daya manusia
Standar 5.     Kurikulum, pembelajaran, dan suasanaakademik
Standar 6.     Pembiayaan, sarana dan prasarana, sertasistem informasi
Standar 7.     Penelitian, pelayanan/pengabdian kepadamasyarakat, dan kerjasama



Semua itu menghasilkan kuantitas nilai yang mewakili segi kualitas yang digunakan dalam proses “pencitraan” Perguruan Tinggi. Ya, murni pencitraan sangat dibutuhkan dalam menggaet peserta didik dan bisa jadi, juga investor/lembaga yang berminat untuk menjalin relasi, lebih-lebih ketika pengelolaan kampus telah berstatus Badan Hukum (BH). 



Lantas apakah praktis tujuan Perguruan Tinggi kali ini tergeser atau bahkan terdistorsi untuk pencitraan/reputasi? 


Mengabaikan segi nilai humanitas dan keluhuran Pendidikan seperti termaktub dalam tujuan Pendidikan Tinggi pada UUNo 12 Tahun 2012 pasal 5? 



Jangan sampai Pendidikan Tinggi kali ini hanya akal-akalan kalkulasi antara pencitraan, konglomerasi dan keinginan mendominasi. Sungguh yang “leluhur” pun tak pernah terpikirkan seperti itu. 



Bagaimana dengan ITS ke depan?



Publikasi Karya dan Problematiknya



          Baik, mari berlanjut pada trah Pendidikan Tinggi sebagai penghasil Ilmu Pengetahuan dan Teknologi seperti yang pernah diulas oleh Erry Yulian Triblas Adesta. Salah satu carauntuk menghasilkan dan menghargai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah menjadikan karya dalam makalah, jurnal internasional, prototype, barang berguna, ataupun hak paten. Beliau sempat mengulasterkait pengeluaran Surat Edaran No 152/E/T/2012 yang memberlakukan ketentuan kewajiban menghasilkan makalah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa S-1, S-2dan S-3. Surat Edaran tersebut, seperti ulasannya, menuai kontroversi dan kehebohan di dunia akademisi, bahkan sampai saat ini dampak surat edaran belumberpengaruh signifikan terhadap jumlah Publikasi Karya Ilmiah di Indonesia. Mungkin satu hal yang terlupakan ketika surat tersebut dikeluarkan, yaitu kenyataan bahwa tanpa ditopang kegiatan riset yang menghasilkan luaran yang layak, mewajibkan mahasiswa menulis makalah hanya akan mendorong para peserta didik mengambil jalan pintas. Salah satunya melakukan plagiarisme. Terlepas dari itu tidak ada yang dapat memastikan/menjamin bahwa banyak karya yang tersebar di Perguruan Tinggi kini sifatnya orisinil bukan merupakan hasil “sulapan” karya sebelumnya. Belum ada. 

           Alhamdulillah, di Jurusan saya (Teknik Kimia, sebagai gambaran skup kecil ITS) sejak tahun 2013 kemarin sudah memberlakukan kebijakan tersebut, melalui uploadkarya tugas akhir di Publikasi Ilmiah Online Mahasiswa ITS (POMITS). 
Namun apakah ITS hanya berhenti sebatas menampung hasil upload karya mahasiswanya di laman yang memiliki tujuan untuk menghargai dan menghormati karya intelektual mahasiswa? Seharusnya tidak hanya sebatas itu.
            
          Ya, akhir ini saya sebagai penulis yang terbayang-terbayang, hanya bisa menitipkan pada calon pucuk pimpinan tertinggi ITS untuk benar-benar memikirkan, salah satu dari banyak hal yang harus dipikirkan untuk kemajuan ITS kedepan. Ini menjadi tantangan mendatang untuk calon Rektor ITS. Harus BISA!

0 komentar:

Mewujudkan Masa Depan

PESTA kembang api sudah menjadi kebiasaan umum untuk memperingati peralihan tahun. Di kalangan negara-bangsa maju sudah lama ada kebiasaan tambahan lain sebagai peringatan umum memasuki ambang tahun mendatang. 

Pada saat itu, presiden atau perdana menteri berpidato yang memaparkan langkah-langkah prospektif guna mewujudkan masa depan. Mau tidak mau masa mendatang itu harus ditempuh, bukan dengan pasrah, melainkan dengan tekad yang berperhitungan. 

Di Indonesia perbuatan kenegarawanan yang bersifat begitu didaktis-konstruktif belum pernah dilakukan oleh presiden yang berfungsi sekaligus sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal ini kelihatannya juga tidak dikeluhkan oleh insan Indonesia, termasuk lapisan warganya yang terdidik. Sikap mereka mengesankan bahwa hal itu bukan merupakan suatu kekurangan intelektual-politis yang fundamental. 

Bagi manusia individual, sikap tersebut masih layak diterima. Terima saja masa depan sebagai takdir Ilahi, ono dino ono upo, que sera sera, what will be will be. Atau kalau toh mau tahu, kunjungi saja juru ramal. Konon sejumlah politikus, orang partai, menteri, dan pejabat diam-diam sering berkunjung ke juru ramal. 

Peran penujum 

Dunia di abad ke-16 pernah mengenal seorang penujum Perancis, yaitu Nostradamus, nama samaran dari Michel de Nostredame. Ramalannya ditulis dalam buku berjudulCenturies. Memang tidak semuanya tepat, tetapi ada yang diakui terwujud, berupa musibah berdarah di Nantes (1793), Revolusi Perancis, pergolakan politik dan militer di kalangan bangsa Arab, di antaranya dipimpin oleh seorang prince (Bin Laden?).

Kita juga pernah punya penujum kondang, Ronggowarsito, pada 1860-an. Sama dengan Nostradamus, dia menulis ramalan secara puitis. Ramalannya dianggap tepat ketika menyebutkan pendudukan Jepang di Jawa hanya bersifat "seumur jagung" (jika dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda). Tembang sinom astrologis yang tertera dalam Serat Kolotidho dan sekarang sering dibicarakan adalah mengenai zaman edan karena begitu terasa dan kasatmata dalam kehidupan kita sehari-hari dewasa ini. 

Selaku satu bangsa, tidak adanya paparan prospektif di awal tahun baru seharusnya dianggap sebagai suatu kekurangan nasional yang serius. Bangsa Indonesia bukan hanya terdiri atas satu orang, melainkan juga dibentuk hampir 300-an juta manusia dan disebut rakyat. Ia bukan sekadar sekumpulan makhluk yang mengelompok secara sembarangan, tetapi suatu konsentrasi sejumlah besar orang yang berasosiasi berdasar suatu kesepakatan tentang keadilan dan kemitraan dalam usaha mewujudkan masa depan bersama yang lebih baik (beradab). Maka, kebaikan bersama ini merupakan milik bersama dari rakyat. Asosiasi kerakyatan berbentuk bangsa ini terjadi bukan oleh kelemahan individual, tetapi karena suatu spirit sosial tertentu yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia, diri kita. 

Jadi, rakyat pantas diberi tahu langkah-langkah terencana yang akan ditempuh oleh penguasa negara terpilih, berupa aneka kebijakan kondisional demi membentuk masa depan bersama yang ideal. Berarti, alih-alih berkonsultasi kepada penujum, jauh lebih baik jika kita bertekad membuat sendiri masa depan bersama itu. Perbuatan ini bukan ingin meremehkan suratan takdir, tetapi menunjukkan kepada Yang Maha Kuasa bahwa kita, makhluk ciptaan-Nya, memangmengopeni nasib sendiri dengan menggunakan nalar (akal) yang Dia bekali. Kita anggap sebagai suatu kekurangan fundamental jika tidak ada usaha penyusunan rencana pembangunan nasional prospektif dan dipaparkan kepada rakyat pada waktu tertentu yang dianggap penting, seperti di saat warga menggantungkan kalender baru sebagai pengganti kalender lama. 

Apabila kita bertekad membuat sendiri masa depan itu, kita dituntut mengetahui faktor-faktor yang membentuk masa depan tadi, guna dikombinasi agar bersinergi dalam membuahkan hasil (masa depan) yang ideal. Adapun faktor-faktor itu (i) kecenderungan; (ii) kejadian; (iii) kemauan dan intelegensi manusia. 

Mengenai "kecenderungan", kita pernah lalai hingga dampak negatifnya terasa sampai sekarang di bidang ekonomi. Internasionalisasi digerakkan oleh pembelajaran ilmu pengetahuan dengan patut dan benar. Ia mengakibatkan a boarderless world dan penerapan Western industrialized civilization. Saya berusaha membenahi kampus menjadi komunitas ilmiah sejati yang telah ditransformasi oleh para mahasiswa menjadi bagian dari komunitas politik. Pembenahan ini dilakukan melalui kebijakan "normalisasi kehidupan kampus" (NKK), tetapi gagal. 

Jangankan masyarakat, civitas academica saja pada umumnya tidak peduli dan pasrah, berhubung korps mahasiswa ketika itu sudah dipahlawankan sebagai "penyelamat negara" dari cengkeraman rezim otoriter dan, karena itu, merajai kampus. 

Hayati nilai

"human" Padahal, pembelajaran ilmu pengetahuan dengan benar akan membiasakan sang pelajar menghayati nilai-nilai human yang diperlukan demokrasi, seperti dissent, originality, the habit of truth, freedom of inquiry, thought, speech, dan tolerance, di samping memperkuat posisi tawar dan daya saing dalam knowledge based economy bawaan globalisasi. Akibatnya, globalisasi ini berjalan mulus dan liberal di Indonesia. Globalisasi berfungsi bahwa orang-orang dari semua bangsa berpartisipasi secara proaktif dalam kemajuan ilmu terapan dan diakui pantas berbuat begitu di negara-negara terbelakang berkat kelebihan kemampuan teknologinya tersebut. Kecenderungan kolonialisasi diganti dengan kecenderungan pembentukan republik imperial dari negeri-negeri maju mantan penjajah, yang mereduksi negeri-negeri yang baru merdeka menjadi sekadar pemasok bahan baku dan pasar bagi produk industri manufakturnya. 

Faktor "kejadian" ada yang disebabkan oleh alam dan yang dicetuskan oleh ulah manusia. Alam menimbulkan aneka musibah: gempa bumi, erupsi gunung berapi, angin badai, tsunami. Namun, ia juga mengingatkan kita bahwa bagian bumi yang kita huni adalah suatu archipelago, bukan negara kepulauan, melainkan negara maritim, Tanah-Air, karena permukaan airnya tiga kali lebih luas daripada jumlah permukaan tanah (pulau-pulau)-nya. 

Kejadian karena ulah manusia meliputi banjir, penyusutan humus penyubur tanah, dan kerusakan ekosistem khas wilayah pesisir. Sejak Ferdinand Magellan menamakan samudra luas yang ditemuinya Pacific (Lautan Teduh), manusia tidak pernah berhenti mencari jalan-laut (sea-lanes) di samudra. Tanah-Air kita menjadi ajang pelayaran global. Daerah pesisir menjadi wilayah pemukiman dan kegiatan bisnis. Ekosistemnya terganggu karena penangkapan ikan, transportasi maritim, aneka ragam industri berkonsentrasi di situ. Limbah ditranspor melalui arus lautan dan dikonsumsi oleh plankton (tumbuhan dan hewan) dan pada gilirannya dimakan oleh ikan dan selanjutnya dikonsumsi oleh manusia. Sisa-sisa plankton mengakibatkan kenaikan konsentrasi nitrat dan fosfat dalam air laut. 

Namun, ada kejadian ulah manusia yang mengukuhkan spirit kemerdekaan pemuda terpelajar kita. Kemenangan telak perang laut, Jepang dan Rusia di Selat Tsushima pada 1905, menyadarkan bahwa Asia sanggup mengalahkan Eropa, asalkan berpengetahuan yang sepadan. Pada 1908 sekumpulan mahasiswa kedokteran membentuk Boedi Oetomo yang bertujuan menggerakkan upaya pendidikan modern, disusul oleh man-made event lain, yaitu Soempah Pemoeda (1928). 

Kemauan merdeka itu ditindaklanjuti dengan intelegensi yang mumpuni. Indonesia menjadi satu-satunya negara yang sewaktu masih dijajah sudah berani mendirikan sistem pendidikan nasional, berhadapan dengan sistem pendidikan kolonial (Belanda) yang berlaku. Perbuatan itu dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara, Moh Syafei, dan Willem Iskandar. Semua "sekolah nasional" itu menyiapkan manusia Indonesia mewujudkan masa depan Tanah Air yang merdeka dan berdaulat. 

Sudah tentu masih banyak lagi unsur dari setiap jenis faktor pembentuk masa depan yang harus kita kumpulkan. Tek- nologi dan peralatan informasi dan komunikasi supermodern memudahkan kita untuk mengumpulkan data yang diperlukan tersebut. 

Menggambarkan perwujudan masa depan yang mau kita bangun penting sekali bagi pembangunan yang tepat-guna dari sistem pendidikan nasional sebab sektor pendidikan dan kebudayaan ini merupakan faktor sangat penentu bagi keberhasilan usaha mewujudkan masa depan. Karena itu, rencana pembangunan masa depan dikualifikasi sebagai suatu kebijakan yang didaktis-konstruktif dan ketidakadaannya merupakan suatu kekurangan intelektual-politis yang serius. 

Negarawan di negara-negara maju rata-rata menganggap hanya ada satu first question of government yaitu how should we live atauwhat kind of people do we want our citizen to be? Sistem pendidikan dan kebudayaan nasionallah yang bertugas menghasilkan jenis warga negara yang kita butuhkan itu. Tugas ini baru bisa dipenuhi apabila pendidikan sudah tahu sebelumnya jenis masa depan apa yang kita cita-citakan, yang menjadi ideal bersama yang kita sepakati. Bukan tujuan pendidikan memproduksi "manusia-kunci-inggris" sebagaimana yang dimimpikan oleh Kurikulum 2013. 

Manusia adalah makhluk pembuat nilai dan pemberi makna pada nilai. 


Daoed Joesoef 
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne 

0 komentar:

Lubang Hitam Peradaban

BUKAN suatu kebetulan ketika sebuah stasiun televisi swasta nasional memutarkan film Taken (2008) beberapa hari setelah pembantaian di kantor majalah satire Perancis, Charlie Hebdo, 7 Januari lalu.

Film yang diproduseri dan ditulis naskahnya Luc Besson, yang juga seorang sutradara Perancis brilian, memancing ingatan untuk merekonstruksi hubungan antar-peradaban, terutama Barat dan Islam. Saya memiliki tiga sketsa yang saling berhubungan: film Taken, kasus Charlie Hebdo, dan kasus Rosnida Sari, seorang dosen UIN Arraniry Aceh yang kini sedang menjadi fenomena intoleransi baru.
Distorsi visual dan literal
Kesadaran pertama dipicu oleh Taken. Film ini  sesungguhnya film seram yang kaya problem kultural. Kisahnya tentang upaya seorang pensiunan intelijen Amerika (CIA), Bryan Mills (Liam Neesson), membebaskan anaknya yang diculik sekelompok mafia imigran di Paris, Perancis.
 Siapa para mafia itu? Di dalam film itu digambarkan sebagai penyelundup manusia dan mafia bisnis seksual dari Tropoja, Albania Utara. Tropoja sebuah wilayah yang dekat dengan Kosovo. Beberapa literatur menyebutkan komunitas Tropoja mayoritas beragama Islam, tetapi terkenal karena brutal dan kasar sejak dinasti Ottoman. Mereka jadi para bandit (Hajduk) yang biasa melakukan tindakan melawan hukum (Richard W Slatta,Bandits and Social Rural History, 1991).
 Pada Taken, problem etnisitas dan kultural agama tak terlalu diombang-ambingkan. Namun, di sekuelnya, Taken 2 (2012), ironisme muncul lebih kontras dan verbal. VisualisasiTaken 2 dimulai upacara penguburan yang diiringi suara azan. Mereka mengambil settingfilm ini di Turki yang penuh mesjid dan simbol Islam. Di film ini diceritakan tentang upaya balas dendam kepada Bryan Mills. Di kalangan masyarakat Tropoja (juga di banyak masyarakat), balas dendam adalah tindakan suci untuk menegakkan kehormatan keluarga.
 Meskipun film ini tidak secara vulgar berbicara perang antaragama, narasinya jelas menunjukkan perbenturan dua peradaban dan seolah-olah menjadi problem agama. Sebuah catatan sinopsis menyebutkan, film ini menguras perasaan tentang politik identitas keagamaan dalam dua kutub: kehendak untuk membalas dendam yang menggelegak dari gangster Tropoja yang Muslim dan upaya mempertahankan diri dengan membunuh musuh-musuhnya secara dingin dari seorang Amerika yang Kristen.
 Saya tak ingin menambahkan kesimpulan sentimentil bahwa akhirnya Liam Neesson masuk Islam ketika pembuatan film ini (karena nyatanya film ini memberikan pesan kontradiktif dan bukan persuasif). Bukan itu yang prinsipil.  Yang lebih penting dilihat: peradaban global kita tidak berjalan sedewasa pengetahuan modern tentang humanisme universal, rasionalitas agama, dan etika global lainnya.  Saat ini ada banyak kejahatan global merupakan reaksi akibat insuler pengetahuan etik tak berjalan. Kasus pembantaian para pekerja di majalah Charlie Hebdo adalah tindakan keji. Tidak diragukan hal itu.
 Namun, parade kekejian lain tak kurang berlalu lalang di depan mata tanpa reaksi dan pembelaan. Tragedi Charlie Hebdo tak lebih keji dibandingkan pembantaian 132 murid-murid di sebuah sekolah di Peshawar, Pakistan, atau pembunuhan dan pelecehan seksual masyarakat sipil oleh tentara sekutu NATO (AS) di Afganistan dan Irak selama masa pendudukan. Produksi film stereotip sepertiBlack Hawk Down (2001) dan The Interview(2014) juga semakin merumitkan Barat (terutama AS) melihat cermin dirinya secara jernih.
 Pembantaian Charlie Hebdo adalah tragedi kemanusiaan, tetapi juga reaksi atas kebebasan berpendapat yang keliru. Perancis meneguhkan diri sebagai salah satu negara Eropa yang mempromosikan nilai- nilai demokrasi, kebebasan (liberty), persamaan (egality), dan persaudaraan (fraternity), tetapi visualisasi Nabi Muhammad dan literasi buruk Islam juga bukan karya jurnalistik ideal. Ekspresi kebebasan berpendapat mengalami kecelakaan ketika menyakiti perasaan kelompok lain.
 Namun, jika masuk lebih detail, apakah pembantai di Charlie Hebdo para mujahid? Sebuah publikasi 10 tahun lalu tentang Cherif Kouachi menggambarkan siapa sesungguhnya dia. Kouachi punya rekaman kriminalitas terkait aksi bom bunuh diri. Ia keturunan Aljazair dan hampir seumur hidup tinggal di Perancis yang sekuler. Ia pemabuk, pengisap ganja, tidur bersama pacarnya, dan bekerja sebagai pengantar pizza (Mark Houser, French Muslims battle internal, external strife, 29 Mei 2005). Bagaimana kita memercayai dari sosok ini ada kesejatian nilai Islam yang didapatkan melalui pendidikan yang benar?
 Menurut Omid Safi, profesor kajian Islam Amerika Serikat keturunan Iran di Duke University,  kasus Charlie Hebdo adalah kesalahpahaman Barat memahami "peradaban lain". Kesalahpahaman itu terjadi karena tidak cukup banyak pesan suci agama Islam yang sampai. Mereka memahami Islam atau peradaban non-Barat dari realitas sosial-ekonomi-politik minoritas Muslim di negara-negara Barat. Realitas itu sering memperlihatkan wajah buruk komunitas Muslim dibanding pesan normatif Islam yang penuh kebajikan.
 Bagi Safi, Charlie Hebdo harus dibaca sebagai akumulasi kefrustrasian dari ketidakadilan terhadap warga minoritas. Jika Perancis menyebutkan kartun-kartun satir agama sebagai ekspresi kebebasan dibandingkan dengan blasphemy (pemberitaan yang menghina keyakinan agama), seharusnya kebebasan itu juga mempertimbangkan psikologi keberatan kelompok Muslim minoritas imigran yang rata-rata pengetahuannya terbatas tentang motif "kebebasan ganjil" itu.
 Tindakan Kouachi bersaudara membunuh bukan saja "kafir", tetapi juga seorang polisi, Ahmed Merabet, yang memohon tidak ditembak, dan seorang editor majalahMoustapha Ourrad—keduanya Muslim—menunjukkan ini sama sekali bukan masalah Barat versus Islam, tetapi problem kewargaan di sebuah negara Eropa (Omid Safi, "9 Points to Ponder on the Paris Shooting and Charlie Hebdo", www.onbeing.org, 8 Januari 2015).
Kesesatan pikir
Namun, di sini, di Aceh, kasus ini mengalami pembalikan situasi. Pemberitaan yang kini populer tentang seorang dosen UIN Arraniry, Dr Rosnida Sari, yang membawa mahasiswanya ke gereja untuk belajar tentang jender malah berujung pada penistaan atas keyakinannya sebagai Muslim, ancaman pengusiran, dan pembunuhan. Fenomena ini adalah bagian dari kesesatan pikir tentang agama Islam karena ikut memberikan gambaran buruk tentang agama Kristen.
 Tindakan Rosnida Sari adalah profan semata, yaitu keinginan berdialog dengan semangat toleransi bersama komunitas non-Muslim yang minoritas di Aceh. Sayangnya, ia serta-merta dituduh sesat dan bersalah berat. Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Syahrial Abbas telah menyatakan tindakan Rosnida tidak bertentangan dengan Islam (BBC Indonesia, 9 Januari 2015). Namun, hukuman telah merajamnya. Ia dihukum oleh persangkaan massa yang tak otentik memahami Islam. Ia terjebak pada pusaran peradaban yang belum dewasa memahami perbedaan.
 Jika hal ini dibiarkan, akan tumbuh benalu dalam pengetahuan sosial dan akan termanifestasi jadi aksi bawah sadar masyarakat yang bisa merugikan hubungan antarwarga (atau umat). Bahkan, kini terjadi penggiringan opini bahwa itu akibat produk sesat belajar Islam di Barat. Juga muncul kesimpulan bahwa ini sebentuk pembalasan atas kesewenang-wenangan pengetahuan Barat kepada umat Islam. Di Aceh jangan harap mereka berjaya!
 Bagaimana mengurai kekacauan pikir seperti ini? Tidak ada cara lain kecuali membersihkan lorong gelap peradaban kita yang terlalu lama terendam lumpur persangkaan karena tak kunjung membangun dialog dan perjumpaan atas perbedaan secara cerdas, arif, dan bijaksana.
 TEUKU KEMAL FASYA
Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Aceh; Aktivis Jaringan Antariman Indonesia

0 komentar:

Matematika dan Defisiensi Pendidikan

APABILA suatu kali kita mengajak anak ke kebun binatang dan meminta mereka menghitung jumlah semua binatang dalam kandang monyet, burung kakaktua, ular, dan buaya, tentu kita tak minta mereka memilih lebih dulu menghitung jumlah jenis binatangnya atau jumlah binatang di tiap kandang.
Pembelajaran macam itu tidak saja menciptakan kebingungan, tetapi lebih jauh lagi menyesatkan cara anak kita mengomprehensi secara utuh kenyataan/kehidupan di sekelilingnya.

Matematika, saya kira, juga bukanlah harga mati dari sebuah dasar penalaran yang berbasis antara lain pada diferensiasi makna atau definisi antara simbol praksis dan teoretis. Apalagi sesatnya anggapan umum yang menyatakan matematika adalah dasar pengetahuan, landasan dari kapasitas nalar atau logika seseorang, untuk bisa memiliki kapabilitas menjelaskan apa pun deretan fakta atau fenomena di sekeliling kita.

Tampaknya ada semacam premis dasar yang telah bergeser menjadi semacam keyakinan yang sekian lama kemudian bernuansa mitis, bahkan mistis, yang menempatkan matematika sebagai "ratu" atau "ibu" ilmu pengetahuan. Keyakinan ini diperkuat Roger Bacon,yang dengan tegas menyatakan, tak ada hal apa pun di dunia ini dapat kita pahami tanpa memiliki pengetahuan tentang matematika.

Kemafhuman umum yang sudah jadi mitos ini sudah selayaknya dikoreksi. Nalar, bahkan logika dalam pengertian logosentrisme (Eropa) Oksidental sekalipun, sebenarnya sudah sejak lama memosisikan matematika hanya sekadar bagian dari bangunan pemikiran atau kerja akal-intelektual kita. Tidak hanya karena matematika butuh presisi bahasa yang "kaku" (rigor) sehingga lumpuh dalam mengapresiasi kelenturan hidup, tetapi juga—seperti dikatakan Popper—ia hanya menghasilkan semacam hipotesis-deduktif, yang karena kodratnya itu ia cocok dengan ilmu pasti yang dipenuhi oleh "dugaan-dugaan" (conjectures).

Tidak mengherankan jika seorang Margot Asquith—salah satu wanita paling cerdas yang pernah dilahirkan di Inggris abad ke-20—menyatakan, sisi matematikal dalam pikirannya seperti notasi buruk dari piano yang rusak. Bahkan jauh pada masa lalu, pada masa purba filsafat Yunani, Plato yang hidup mendahului Euclides, salah satu nenek moyang terbesar dalam matematika (geometri, setidaknya) sudah berkomentar bahwa ia hampir tidak pernah kenal seorang pun matematisian yang punya kemampuan untuk melakukan penalaran.

Dalam bahasa yang satirik, JW v Goethe menganalogikan matematika seperti orang Perancis, yang mengubah apa pun ke dalam bahasanya sendiri lalu menjelaskan artinya dalam makna yang berbeda. Atau secara sarkastik, pionir fiksi fantastis asal Irlandia, Lord Dunsay, memandang matematika seperti anggur yang segera kehilangan nikmatnya begitu Anda meminumnya secara berlebih. Dan, saya kira, akhirnya, Einstein-lah yang perlu kita camkan bersama saat ia mengatakan, "Sejauh-jauh matematika merujuk kenyataan ia tak pasti, dan apabila pasti, ia tidak merujuk kenyataan."

Bum! Mitos matematika sebagai dasar nalar memahami hidup remuk oleh dewa ketidakpastian penggemar biola, kucing, dan cangklong itu. Meyakini matematika sebagai modal utama kita berpikir logis, tidak hanya seperti menunggang kuda dengan satu pedal, tetapi juga membuat sebagian hidup kita menderita kekosongan permanen.

Generasi buta
Bagaimana posisi, peran, dan fungsi matematika dalam kehidupan kita bernalar atau bersosiokultural di atas hanyalah sebagian dalam persoalan dunia pendidikan di negeri kita. Persoalan itu adalah anak-anak atau generasi muda kita ternyata dididik untuk menggunakan satu cara yang tidak adekuat untuk memahami eksistensi dan (kenyataan) hidup di sekelilingnya. Lantaran cara itu tidak cukup komprehensif untuk mampu mencerap hikmah dari semua dimensi yang terendam dalam eksistensi atau realitas yang mencakupnya.

Akibatnya tercipta satu jurang lebar berisi kehampaan (adab) yang luar biasa. Di mana dalam praksis hidup, ia bisa menjadi lubang jebakan yang mengerikan bagi anak-anak negeri ini ketika mereka terpenggal-penggal dalam upaya memahami makna atau hikmah keberadaan dan hidupnya di dunia ini. Sebuah keadaan yang telah menjadi kenyataan—sekurangnya setengah abad terakhir—dan melahirkan generasi-generasi dengan sebagian mata (fisik, intelektual, dan batin)-nya cacat. Sebagai dampak lanjutan, sekurangnya dua generasi muda negeri ini mengalami semacam kerancuan akut akan nilai-nilai luhur dan moralitas yang menjadikannya manusia atau sebuah bangsa.

Inilah yang saya sebut sebagai defisiensi atau kekosongan dalam dunia pendidikan kita, yang harus saya nyatakan berlangsung bahkan sejak pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga level posdoktoral. Situasi itu terjadi ketika modul-modul, silabus, hingga kurikulum bersama semua peralatan keras pendidikannya semata mengacu pada yang ada dan telah dipraktikkan oleh sistem pendidikan di (Eropa) Barat, notabene pendidikan berbasis adab dan budaya kontinental. Itulah pendidikan yang dilandasi oleh satu rasionalisme atau sistem logika yang positivistis-materialistis, yang matematika juga menjadi variabel kunci di dalamnya.

Defisiensi itu terjadi ketika sistem pendidikan tersebut, pertama, mendasarkan dirinya pada dominasi tunggal atau kedigdayaan (hanya) salah satu elemen dari kodrat kemanusiaan kita: akal! Maka, orang Indonesia yang banyak mengandalkan "rasa" akan mengalami kegagalan eksistensial karena ia berlawanan dengan modus eksistensial yang oleh Ambroce Bierce, penyair ternama AS awal abad ke-20, dipelintir jadi adagium yang sinistik, "Aku berpikir aku berpikir, karena itu aku pikir aku ada."

Kedua, materialisasi pengetahuan, terutama ketika ia menjadi ilmu ilmiah (sains), meluputkan kita dari kemampuan untuk melihat dimensi nonfisis atau nonnatural dari setiap obyek, subyek, atau fenomena yang ada di sekitar hidup kita. Sebuah kesadaran yang belakangan kian meruang di tingkat global, tentang "kenyataan-kenyataan" yang ada di luar, di atas, "meng-atas-i", atau hyper dan supra dari yang "natural".

Ketiga, jurang atau kesenjangan di atas pada akhirnya membuat kita invalid, bahkan untuk mengenali dan memahami kenyataan kemanusiaan kita dalam konteks-konteks lokal, baik yang tradisional atau primordialnya.

Kurikulum ideologis
Maka, akhirnya, defisiensi pendidikan ini pun melahirkan manusia-manusia yang defisien: manusia cacat yang tidak lengkap karena absennya beberapa variabel kunci dalam cara kita mengomprehensi diri dan realitas hidupnya. Manusia defisien inilah yang akan mengalami frustrasi atau depresi eksistensial ketika harapan dan keinginan para orangtua atau sistem yang "meng-orangtua" (paternalistik) ditimbunkan, lalu jadi tekanan bahkan represi bagi anak-anak muda kita. Wajar jika kemudian gadgets dari teknologi modern bersama semua program, perangkat lunak, atau fitur-fiturnya menjadi "orangtua" yang lebih memahami mereka, atau sekurangnya menjadi teman dalam keyatimpiatuan kultural mereka.

Defisiensi pendidikan seperti ini akan selamanya mengalami kegagalan dalam menengarai potensi atau kapasitas dari subyek dan obyek didiknya. Itu karena hampir semua subyek dan obyek tersebut sebenarnya menyimpan semacam kecerdasan yang tak dapat diukur standar atau acuan-acuan ilmiah atau akademis. Kecerdasan yang, katakanlah, tradisional atau primordial, yang tak hanya diremehkan dan dilecehkan, tetapi juga distigmatisasi begitu negatifnya sebagai sebuah kelampauan, kepurbaan yang padat dengan mistik dan klenik.

Sementara sesungguhnya kecerdasan terakhir ini telah memberi bukti dalam sejarah bagaimana daya kerja, kreativitas, dan produktivitasnya tidak saja mengimbangi, tetapi bahkan mampu melampaui atau menundukkan kecerdasan modern, yang ilmiah, yang matematis, yang kontinental itu. Katakanlah sebuah misal, bagaimana sistem pendidikan kita setengah abad belakangan mampu menciptakan figur-figur besar yang dibesarkan lebih oleh kecerdasan primordialnya (otodidak) ketimbang kecerdasan modernnya, macam M Yamin, Soekarno, Adam Malik, Agus Salim, Hamka, Mochtar Lubis, hingga Ali Moertopo, Soeharto, bahkan Gus Dur. Fenomena mutakhir seperti Jokowi yang hanya "insinyur kehutanan" sebagai formasi akademik/ilmiahnya?

Tampaknya harus mulai kita sadari, defisiensi pendidikan ini bukan sekadar "kebebalan kontinental" dari para pengambil kebijakan pendidikan kita (yang rata-rata wajib ber-"guru besar" dalam format pendidikan kontinental itu, yang mengabaikan "sistem" atau metode pengajaran tradisional maritim kita), tetapi sistem pendidikan kita itu sesungguhnya sangat dipengaruhi kepentingan-kepentingan politis dan ideologis tertentu. Kepentingan yang berlatar jauh, di mana sejarah ilmu mengajarkan bagaimana pengakuan dan diseminasi dari sebuah ilmu sebenarnya berlangsung melalui pertempuran politik, di mana ideologi sembunyi di dalamnya.

Senaif atau sespekulatif apa pun proporsi pamungkas ini taklah buruk jika menjadi bahan pertimbangan atau pencarian alternatif bagi bangsa dan generasi-generasi yang memikul tanggung jawabnya di masa nanti.

Radhar Panca Dahana, 
Budayawan

0 komentar: