Negara Sengkarut Pikir

 
Menjelang kematiannya pada 1873, pujangga agung Keraton Surakarta, R Ng Ranggawarsita, menulis puisi ratapan, "Serat Kalatidha" (Puisi Zaman Keraguan).

Bait pertama puisi tersebut bersaksi, "Kilau derajat negara lenyap dari pandangan. Dalam puing-puing ajaran kebajikan dan ketiadaan teladan. Para cerdik pandai terbawa arus zaman keraguan. Segala hal makin gelap. Dunia tenggelam dalam kesuraman".

Hampir satu setengah abad kemudian, gambaran serupa membayangi pusat kekuasaan negara Republik Indonesia, yang mencapai titik zenitnya pada masa kepresidenan Joko Widodo (Jokowi). Seorang putra Surakarta dari kalangan kawula, yang karena sepak terjangnya sebagai political outsider yang berbeda dari kebanyakan politisi, melesat cepat menjadi presiden dengan gelembung harapan rakyat yang nyaris seperti ratu adil.

Namun, belum genap seratus hari pemerintahannya, harian bergengsi The New York Times, 17 Januari 2015, melukiskan nasib sang presiden dalam nada Serat Kalatidha. Bahwa bagi rakyat Indonesia, derajat kepemimpinan negara telah kehilangan "kilaunya" ("For Indonesians, President’s Political Outsider Status loses Its Lustre").

Kegagalan mentalitas
Ujian mental bagi independensi presiden pengusung revolusi mental ini dilalui dengan kegagalan mentalitas, seperti tecemin dari serangkaian penyangkalan terhadap ide-idenya sendiri. Gagasan koalisi ramping demi kehebatan pemerintahan dirobohkan oleh susunan kabinet dan staf kepresidenan yang sarat kepentingan, menampilkan kombinasi menteri-menteri berkualitas rendah dan bertanda merah. Orientasi kerakyatan dihela dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) saat harga minyak dunia turun. Visi pemerintahan bersih dan peradilan independen dinodai dengan mengangkat Jaksa Agung dari kalangan partisan.

Presiden juga menerobos batas kepantasan dengan membentuk Dewan Pertimbangan Presiden yang didominasi orang- orang partai, dengan kualitas kenegarawanan yang jauh dari semangat asal Dewan Pertimbangan Agung. Batas etis pun dilanggar dengan mengajukan calon tunggal Kapolri bertanda merah dengan rekam jejak pelanggaran yang sudah terpublikasikan. Jurnal seratus hari pemerintahan Jokowi ditutup dengan sengketa KPK versus polisi, dengan posisi dan jawaban presiden yang tidak meyakinkan.

Apa gerangan yang membuat seorang presiden yang memenangkan mayoritas dukungan dalam pemilihan langsung begitu tak berdaya menentukan pilihan? Persoalannya jelas tak bisa ditanggung oleh Jokowi sendirian. Lewat symptomatic reading, kita bisa mengenali bahwa kegagalan mentalitas pemimpin baru ini hanyalah tanda permukaan dari arus bawah yang lebih sinister, yakni meluasnya dekadensi dalam demokrasi kita.

Masalah terbesar politik Indonesia saat ini adalah semua orang tahu ada banyak masalah dalam demokrasi, tetapi seperti tak ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Ketidaksanggupan warga untuk mengatasi masalah-masalah kolektif ini terjadi karena institusi-institusi representasi demokrasi dan lembaga publik tidak lagi di bawah kendali publik, tetapi jatuh ke tangan pengendalian segelintir pemodal kuat. Demokrasi tidak lagi menjadi sarana efektif bagi kekuatan kolektif untuk mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan berbalik arah menjadi sarana efektif bagi kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik.

Dalam perkembangan demokrasi di negeri ini, pintu masuk bagi penetrasi pemodal ke dalam domain publik itu melalui pengadopsian model demokrasi liberal padat modal. Suatu model demokrasi, yang bagi Amerika Serikat sendiri dengan ratusan tahun sejarah demokrasi dengan basis egalitarianisme yang kuat, dalam perkembangannya terbukti hanyalah menjadi tunggangan yang efektif bagi elevasi satu persen orang terkaya.

Di negeri ini, dengan warisan kesenjangan pasca-kolonial, pengadopsian demokrasi liberal padat modal di tengah samudra kemiskinan, membuat pemimpin terpilih—meskipun dengan dukungan mayoritas rakyat dalam pemilihan langsung—lebih berutang pada pemodal yang nyata ketimbang rakyat yang abstrak. Dalam konteks inilah kita melihat Jokowi sebagai presiden hanyalah pekerja partai-pemodal.

Dimensi struktural dari dekadensi demokrasi itu diperburuk oleh kapasitas pemimpin negara sebagai agen perubah. Menangkal kepentingan pemodal-perseorangan meniscayakan kesadaran dan strategi ideologis. Berbagai langkah blunder Jokowi dalam seratus hari pemerintahannya justru mencerminkan kelemahan daya baca dan referensi ideologis ini. Tanpa radar ideologis, seorang pemimpin tak memiliki kerangka referensial untuk membantu menentukan jenis manusia dan kebijakan apa yang sepatutnya dipilih.

Tekanan Jokowi pada pengetahuan praktis-pragmatis mengabaikan pentingnya "narrative knowledges". Padahal, gagasan besar semacam revolusi mental harus diletakkan dalam kerangka strategi ideologis berbasis pengetahuan naratif (sejarah, antropologi, sosio-psikologi, ekonomi-politik dan praktik diskursif).

Ada semacam ilusi bahwa tindakan bisa dijalankan secara benar tanpa pemikiran yang benar. Padahal, seperti diingatkan Lyndon B Johnson, "Tugas terberat seorang presiden bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar." Tanpa pengetahuan yang benar, ketangkasan bertindak hanya akan mempercepat kegagalan.

Anti-intelektualisme
Namun, Jokowi tidak berdiri sendirian. Kemunculan Jokowi sebagai pemimpin negara membawa arus besar anti-intelektualisme dalam masyarakat. Banyak orang yang tidak lagi menghargai pikiran, bahkan mengembangkan sinisme terhadap kedalaman pengetahuan. Para cerdik cendekia sendiri terbawa arus keraguan ini dengan tidak memercayai nilai pikirannya; ikut-ikutan mengagumi sensasi tindakan sesaat seperti pembakaran perahu yang telah lama terampas oleh menteri baru.

Gelombang anti-intelektualisme ini sebagian merupakan arus balik dari pengkhianatan intelektual, tetapi utamanya karena desakan kebutuhan sehari-hari yang tidak segera dipenuhi oleh konsepsi-konsepsi pemikiran. Seperti kata Bung Karno, "Orang lapar tidak bisa segera kenyang hanya dengan diberikan kitab konstitusi." Pelarian dari kesulitan hidup ini dininabobokan oleh candu hiburan-hiburan dangkal-miskin pikir yang disajikan secara intensif dan masif lewat siaran televisi kita; membudayakan semacam "the cult of philistinism" (pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis).

Peluluhan daya pikir ini memberi prakondisi bagi supremasi pemodal untuk mengarahkan pilihan rakyat lewat kampanye media. Kekuatan pemodal yang cenderung menepikan kekuatan kritis bertemu dengan kecenderungan banalitas arus bawah. Lewat manajemen impresi, subtansi pemikiran dikalahkan oleh kesan pencitraan.

Maka, para pemimpin terpilih mencerminkan defisit pemikiran. Dengan begitu, negara tidak memiliki topangan pemikiran dan pengetahuan yang kuat. Sengkarut negara mencerminkan sengkarut pemikiran. Hal ini tecemin mulai dari ketidakberesan hasil amandemen konstitusi, produk perundang-undangan, desain institusi-institusi demokrasi, hingga ketidaktepatan pilihan kebijakan dan orang.
Keadaan ini menempatkan negara di tepi jurang. Para pemikir kenegaraan lintas zaman dan lintas mazhab cenderung menyepakati hubungan integral antara negara dan pengetahuan. Negara sendiri didefinisikan sebagai organisasi rasional dari masyarakat. Bahkan Hegel menyatakan bahwa negara merupakan penjelmaan dari pikiran. Michel Foucault menegaskan, "Pemerintah, oleh karena itu, memerlukan lebih dari sekadar usaha mengimplementasikan prinsip-prinsip umum pemikiran, kebijaksanaan, dan kehati-hatian. Pengetahuan spesifik juga sangat diperlukan: pengetahuan yang konkret, tepat, dan terukur."

Membanguan negara harus melalui cara bagaimana kedaulatan menyatakan dirinya dalam bidang pengetahuan. Negara dapat dipandang sebagai mesin-pengumpul kecerdasan (intelligence-gathering machine). Kedekatan antara negara dan kecerdasan, dan bahwa keselamatan negara ditentukan oleh kecerdasan, terlihat dari pemahaman umum yang cenderung mengaitkan istilah "intelijen" dengan badan inteligen negara, seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS), dan sejenisnya.

Sebuah negara yang dibangun tanpa landasan kecerdasan dan pengetahuan tak ubahnya seperti istana pasir. Oleh karena itu, jika demokrasi kita maksudkan sebagai jalan kemaslahatan bangsa, maka jalan sesat demokrasi dalam kendali plutokrasi-aristokrasi itu harus dihentikan dengan cara membangun demokrasi-meritokratis.

Demokrasi yang kita kembangkan harus menumbuhkan kembali daulat rakyat yang dipimpin oleh kekuatan akal budi (hikmat kebijaksanaan) dalam suasana deliberatif dan argumentatif (permusyawaratan perwakilan).


Yudi Latif
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

0 komentar:

Pendidikan dan Rantai Kemiskinan


KISAH anak-anak dari keluarga kurang mampu yang berhasil menembus perguruan tinggi sudah sering kita dengar.

Seperti dialami Raeni, anak tukang becak yang meraih IPK 3,96 di Universitas Negeri Semarang. Ia bahkan mendapat tawaran kuliah S-2 ke Inggris.

Setiap kali ke daerah pertanian, saya sering menemukan petani yang melakukan segala upaya agar anak-anaknya jangan lagi jadi petani, dengan menyekolahkan anaknya menjadi sarjana.

Namun, sukseskah mereka memutus mata rantai kemiskinan? Bukankah pada statutanya kini PTN BH wajib memberikan beasiswa 20 persen untuk kalangan kurang mampu?

Aliran kognitif

Kesadaran afirmatif, memberi akses pendidikan seperti di atas bukan hanya ada di sini. Harusnya kita percaya sekolah bisa menjadi anak tangga yang bagus untuk memutus mata rantai kemiskinan. Pendapat umum mengatakan keluarga miskin melahirkan generasi-generasi yang sama miskinnya karena ketiadaan akses untuk mencapai pendidikan yang tinggi.

Polanya begini: seorang anak lahir dari ibu yang menikah di usia dini, lalu bercerai, ibu harus bekerja keras, pindah dari satu kota ke kota lainnya. Kadang tinggal bersama nenek, menumpang hidup di kawasan yang padat. Anak pergi sekolah dengan perut lapar, sementara teman-teman ikut les Kumon atau dari guru sekolah. Lalu ia pun bosan dengan sekolah, sering tak masuk, prestasi terpuruk, terlibat perkelahian, drop out, punya anak di luar nikah, lalu jatuh miskin lagi. Begitu seterusnya.

Mungkin, jika diberi gizi, perhatian, dan akses agar bisa sekolah lagi, mereka akan bisa keluar dari mata rantai kemiskinan. Namun, penerima Nobel Ekonomi tahun 2000, James Heckman, menggelengkan kepalanya. Faktanya, hanya 3 persen yang bisa menamatkan perguruan tinggi. Padahal, anak-anak dari keluarga biasa mencapai 46 persen. Demikian juga kemampuan memperbaiki ekonomi keluarga: pendapatan tahunan, pengangguran, angka perceraian, dan keterlibatan dalam kriminalitas. Prestasi ekonomi keluarga miskin yang mendapatkan program afirmasi pendidikan ternyata tetap sama dengan anak-anak yang drop out dari sekolah. Apa sebab?

Tahun 1994 dua ilmuwan yang dituding rasis (Muray & Herrnstein, dalam Bell Curve) mengarahkan temuannya pada masalah DNA. Namun, berdasarkan kajian ekonometrika, Heckman menemukan masalahnya ada di sekolah itu sendiri. Sekolah-sekolah yang sering kita lihat di sini (terlalu kognitif dan membebani) tak akan mampu memutus mata rantai kemiskinan. Sekolah kognitif terlampau mekanistik.

Wajar sekarang kita menyaksikan banyak sarjana menganggur, bahkan yang sudah bekerja kurang efektif. Padahal, mereka tak kalah pengetahuan, indeks prestasi mereka kini bagus-bagus. Cenderung kalah dengan lulusan luar negeri yang hanya menempuh 124 SKS (S-1). Sementara sarjana kita menempuh 144-152 SKS.

Sekolah nonkognitif

Heckman menemukan variabel-variabel nonkognitif yang justru tak diberikan di sekolah menjadi penentu keberhasilan seseorang untuk memutus mata rantai kemiskinan. Variabel itu adalah keterampilan meregulasi diri, mulai dari mengendalikan perhatian dan perbuatan, sampai kemampuan mengelola daya tahan (persistensi), menghadapi tekanan, menunda kenikmatan, ketekunan menghadapi kejenuhan, dan kecenderungan untuk menjalankan rencana.

Nah keterampilan-keterampilan seperti itu, menurut Heckman, sering kali absen dalam sekolah kognitif. Tanpa itu, anak-anak yang dibesarkan dari keluarga menengah ke atas pun akan jatuh pada lembah kemiskinan. Sekolah kognitif sendiri digemari banyak kalangan kelas menengah karena substitusi atau penguatnya bisa dibeli di ”pasar”m semisal Kumon, guru les atau orangtua yang rajin memberi latihan. Namun, anak-anak dari kalangan kurang mampu punya banyak keterbatasan. Selain orangtuanya tidak mengerti, mereka juga harus bekerja keras mencari nafkah di luar jam kerja.

”Ilmu-ilmu tertentu itu, seperti kalkulus, sangat mekanistik,” kata Paul Tough (How Children Succeed, 2012). ”Kalau memulai lebih dulu dan banyak berlatih, mereka akan lebih cepat menyelesaikan soal-soalnya. Namun, aspek-aspek nonkognitif tak bisa didapat dengan mudah.”

Itulah sebabnya di PAUD Kutilang Rumah Perubahan, kami mengembangkan metode non-kognitif. Itu pun belum cukup. Guru dan orangtua diwajibkan seminggu sekali mengikuti bimbingan cara membaca anak. Kebiasaan buruk orangtua yang merupakan cerminan dari buruknya aspek nonkognitif tadi menjadi penguat mata rantai kemiskinan di setiap generasi berikutnya.

Bimbingan dan metode nonkognitif itu harusnya dibangun sedari dini. Tantangan-tantangan nonkognitif seperti itu tampaknya berat sekali dibangun di sini mengingat dua-tiga generasi pendidiknya guru dan dosen kognitif yang rewel dengan kemampuan menghafal, berhitung, atau memindahkan buku ke kertas.

Saya ingin Anda menengok penjelajahan nonkognitif yang saya tanam dalam kelas saya di UI. Satu kelas mahasiswa dikirim ke luar negeri dalam program one person-one nation, lalu pengalamannya mereka tulis dalam buku: 30 Paspor. Di situ anak-anak belajar menumbuhkan aspek nonkognitif, merefleksikan kehidupan, mengambil keputusan dalam menghadapi kesulitan seorang diri di luar negeri. Kita percaya pendidikan bisa memutus rantai kemiskinan. Namun, bukan pendidikan superkognitif seperti sering kita dengar dari orang-orang yang gemar mendebatkan cuma soal kali-kalian, padahal persoalan hidup terbesar justru ada di soal bagi-bagian. Dan untuk adil membagi dibutuhkan keterampilan hidup nonkognitif.

Rhenald Kasali
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

0 komentar:

Tanggung Jawab atas Pendidikan


Sering terdengar slogan bahwa kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa tak terutama tergantung kepada sumber daya alam, yang di Indonesia sudah hampir terkuras habis, tetapi kepada sumber daya manusia.

Korea Selatan dan Singapura bisa disebut contoh dekat. Namun, dalam slogan itu jarang diungkapkan perbedaan antara kedua sumber daya itu. Sumber daya alam (SDA) diberi oleh alam yang pemurah, sementara sumber daya manusia (SDM) harus dibuat manusia sendiri. SDA bersifat given, sedangkan SDM merupakan suatu kualitas yang harus diproduksi manusia.

Beberapa minggu lalu Presiden Joko Widodo membuat pernyataan yang patut diperhatikan, dan membangunkan kita dari kesadaran yang tidur nyenyak. Berkata Presiden, tahun 1970-an Indonesiabooming minyak. Negara seakan terapung di atasnya. Tetapi, akhirnya kita tak dapat suatu apa kecuali bahwa Pertamina hampir saja bangkrut. Tahun 1980-an ada booming kayu, tetapi yang didapat negara hanya gundulnya hutan tropis di Sumatera dan Kalimantan, dan meningkatnya kerentanan terhadap banjir setiap hujan turun. Tahun 2000-an ada booming mineral, seperti batu bara, tetapi tak ada yang tertinggal untuk negara dan bangsa. Hasilnya, hancurnya lingkungan dengan depresiasi yang luar biasa berhadapan dengan 95 persen eksportir yang tak punya nomor pokok wajib pajak. Satu-satunya yang masih terselamatkan hanyalah laut, sehingga pencurian kekayaan laut harus dihentikan dengan tegas.

Tentu saja Presiden Jokowi menyadari pentingnya SDM sekalipun hal itu tak disinggung dalam pernyataannya. Kita tahu, SDM harus dibuat, harus diproduksikan. Adapun jalan untuk menghasilkan SDM adalah pendidikan. Horace Mann, pemikir pendidikan yang sering dikutip filsuf John Dewey berkata education is our only political safety, outside of this ark is the deluge (pendidikan adalah pengamanan politik kita satu-satunya, di luar bahtera ini hanya ada banjir dan air bah).

Menurut Mann, pendidikan umum merupakan penemuan terbesar manusia. Organisasi-organisasi sosial lain semuanya hanya kuratif dan remedial sifatnya. Sekolah saja yang dapat mencegah dan menangkal kesulitan dan bencana. Namun demikian, hanya pendidikan dengan asas-asas dan praktik yang benarlah yang dapat menjadi pengamanan politik dan menciptakan SDM, yaitu orang-orang yang dilengkapi tingkat kecerdasan tertentu dengan watak danprinsip-prinsip tertentu. Orang-orang yang dididik dengan baik dapat membantu proses produksi dalam ekonomi dan memperkuat integrasi sosial dalam kelompoknya. Sebaliknya, pendidikan yang centang-perenang, tanpa arah dan tujuan jelas, hanya akan menghasilkan orang-orang yang menjadi beban masyarakatnya dan sumber masalah yang mempersulit kehidupan bersama.
Pendidikan dan pengajaran

Ada pandangan yang membedakan pendidikan dan pengajaran. Kurang jelas apakah pembedaan ini maksudnya menunjukkan pembagian tugas, seakan-akan sekolah hanya mengurus pengajaran, sementara pendidikan anak didik menjadi tanggung jawab masing-masing keluarga. Apa pun maksud pembedaan itu, satu hal perlu ditegaskan di sini, yaitubahwa pengajaran dan pendidikan bisa dibedakan, tetapi tak pernah bisa dipisahkan. Alasannya, pengajaran yang diajarkan di sekolah tak dimaksudkan hanya untuk menjadi transfer pengetahuan. Pengajaran memang bertujuan menyampaikan pengetahuan, tetapi pengetahuan yang ditransfer itu harus menjadi sarana bagi pendidikan anak didik dan unsur dalam pembentukan kepribadian mereka.

Dalam pengajaran itu mereka dilatih berpikir, bertanya, dan perlahan-lahan memahami bagaimana pengetahuan disusun dengan metode dan sistematika tertentu, dan bagaimana pula pengetahuan itu telah diperoleh dan apakah dapat diuji kesahihannya. Melalui pengetahuan itu terbuka wawasan tentang alam dan masyarakat, dan bagaimana mestinya orang bersikap terhadap alam dan berperilaku terhadap anggota masyarakat. Singkat kata, pengajaran menyampaikan pengetahuan, dan pengetahuan mempertajam nalar, membentuk watak, dan mematangkan kepribadian.

Pengajaran yang tak dihayati sebagai sarana pendidikan akan berubah mekanis dan membuat otak anak didik seolah-olah filekomputer yang hanya berfungsi menampung informasi. Bertrand Russel, filsuf Inggris terbesar abad XX dan pemenang Nobel untuk kesusastraan, mengajukan kritik tajam dan sengit terhadap pendidikan yang diperlakukan hanya sebagai pengajaran. Menurut dia, kita memang sanggup menciptakan berbagai perlengkapan dan membuat alat-alat, namun kita bisa tetap primitif dalam metode dan teknik, kalau kita mengira pendidikan hanya menjadi transfer pengetahuan yang sudah baku, dan bukannyasarana membentuk kebiasaan dan sikap ilmiah.

Ciri utama orang kurang terdidik adalah sikap tergesa-gesa dalam membentuk pendapatnya, yang kemudian dipertahankan secara mutlak. Sebaliknya, seorang terpelajar akan sangat berhati-hati dalam berpendapat dan selalu berbicara dengan modifikasi. Latihan-latihan dalam pendidikan melalui pengajaran lambat laun akan membentuk intellectual conscience atau nurani intelektual yang ditandai oleh dua hal utama, yaitu sikap untuk percaya hanya kalau ada bukti-bukti yang bisa dipegang, dan kesediaan mengakui bahwa bukti-bukti itu pun masih bisa salah.

Pembentukan nalar yang berhasil dalam pendidikan dapat mengubah pandangan seseorang secara radikal, seperti sikap lebih menghargai seni dan keindahan daripada kekayaan dan kemewahan, atau lebih mengutamakan kecerdasan dan rasa percaya diri daripada kebanggaan terhadap status dan jabatan. Perubahan sikap inilah yang menandai munculnya masa Renaisans di Eropa yang bermula di Italia pada abad XIII-XIV dan diteruskan beberapa abad kemudian. Untuk kita, pendidikan dapat membuat orang sanggup mengontrol insting posesif berlebihan. Materialisme praktis yangdibawa masuk ke Tanah Air oleh kapitalisme, sudah membuat orang menganggap sama dua hal yang berbeda sekali, yaitu menikmati dan memiliki.
Sulit sekali menemukan orang bermodal yang membiarkan bukit anggrek indah di hutan dinikmati banyak orang tanpa harus membeli dan memilikinya untuk diri sendiri. Orang bisa menikmati tanpa harus memiliki, dan lebih sering orang memiliki tanpa sanggup menikmati. Dalam bidang sosial gejala ini terlihat dalam bertambah kayanya sekelompok kecil elite, tanpa ada perhatian dan keterbukaan hati untuk menikmati kemajuan orang lain berkat bantuan yang diberikan. Filantropi rupanya asing pada awal kapitalisme. Keserakahan merupakan Kinderkrankheit des Kapitalismus atau penyakit kanak-kanak dalam kapitalisme.

Mentalitas dan sikap ilmiah

Studi tentang sejarah ilmu pengetahuan pernah dilakukan filsuf Alfred North Whitehead dan dikemukakan dalam serangkaian kuliah di Universitas Harvard pada paruh pertama 1920-an dan kemudian diterbitkan sebagai buku Science and The Modern World. Sebuah tesis yang dipertahankannya dengan berbagai bukti historis ialah bahwa pembentukan mentalitas dan sikap ilmiah sering kali lebih penting dan lebih mendorong kemajuan dibandingkan kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Hadirnya teknologi di suatu negara tak dengan sendirinya menunjukkan kemajuan negara itu dalam ilmu dan teknologi, karena produk teknologi selalu bisa dibeli. Suatu negara dapat dikatakan maju kalau dapat memproduksi teknologi itu, bahkan menemukan jalan memproduksi teknologi baru.

Lukisan perkembangan ilmu dan teknologi di Eropa oleh AN Whitehead dapat mengilustrasikan hal ini. Entakan besar dalam ilmu pengetahuan alam dan humaniora terjadi di berbagai negara Eropa pada abad XVII yang disebutnya abad para genius. Dalam kesusastraan ada Miguel de Cervantes di Spanyol yang menulisDon Quixote; di Inggris berkibar Shakespeare yang memberi watak kepada sastra dan bahasa Inggris. Keduanya wafat pada 27 April 1616. Dalam filsafat muncul Descartes di Perancis, Francis Bacon dan John Locke di Inggris, Baruch Spinoza di Belanda, dan Leibniz di Jerman. Dalam fisika berderet nama, seperti Newton di Inggris, Robert Boyle di Irlandia, dan Huygens di Belanda. Dalam astronomi kita kenal Galileo Galilei di Italia dan Johannes Kepler di Jerman. Dalam matematika ada Blaise Pascal di Perancis dan dalam biologi ada William Harvey di Inggris yang menemukan sistem peredaran darah kita.

Nama-nama ini hanya sebagian kecil dari daftar panjang para genius yang berkarya abad XVII. Para ahli sejarah ilmu pengetahuan masih meneliti mengapa lahir demikian banyak genius pada masa ini. Menurut Bertrand Russel yang menulis buku sejarah filsafat Barat yang banyak dipuji, abad XVI adalah abad yang mengalami kegersangan filsafat karena peperangan antaragama. Perang Tiga Puluh Tahun antara pihak Katolik dan Protestan, akhirnya menimbulkan anggapan bahwa kesatuan dalam dogma agama yang diidamkan dalam Abad Pertengahan sudah tak mungkin tercapai lagi. Setiap orang sebaiknya berpikir sendiri untuk dirinya, juga mengenai soal-soal fundamental. Hasrat untuk kebebasan berpikir dan keengganan kepada soal-soal teologis lambat laun melahirkan kegairahan baru untuk hal-hal sekuler, yang bermuara kepada ilmu pengetahuan. Mentalitas baru inilah yang melahirkan para genius.
Di Indonesia, almarhum Prof Sartono Kartodirdjo dari Universitas Gadjah Mada pernah menceritakan anekdot perilaku mahasiswanya, termasuk mahasiswa asing. Mahasiswa Jepang yang membeli sepeda motor baru memanfaatkan hari liburnya pada akhir pekan untuk membongkar seluruh sepeda motor dan memereteli berbagai bagiannya, kemudian disusun kembali untuk mengetahui struktur mesin dan sistem mekaniknya. Sebaliknya, mahasiswa Indonesia yang membeli sepeda motor baru akan segera mengunjungi pacarnya, mengajaknya keliling kota, dan melewatkan acara malam minggu bersama.

Dari segi mentalitas, mahasiswa Jepang itu punya mentalitas teknologis, sementara mahasiswa kita masih hidup dalam mentalitas konsumeristis. Diterapkan di sekolah, pengajaran dan pendidikan bukan saja menyajikan science products (produk ilmu pengetahuan), tetapi mendorong science production (bagaimana ilmu diproduksikan). Berbagai bentuk pengajaran dan pendidikan tujuan utamanya bukanlah melakukan transfer pengetahuan sebanyak-banyaknya, melainkan menciptakan suasana dan motivasi agar peserta didik didorong mencari dan menghasilkan pengetahuan baru dalam suatu bidang penelitian, entah dengan mengidentifikasi bidang-bidang penelitian yang belum banyak dikaji dan dapat dijadikan obyek penelitian agar melengkapi penelitian-penelitian yang sudah ada, atau dengan mencoba metode dan teknik penelitian baru yang menyorot aspek tertentu dari suatu obyek penelitian yang sudah diteliti sebelumnya, tetapi yang kemudian dijelaskan dengan cara lebih komprehensif.

Pada titik ini dua kepentingan patut diperhatikan. Pertama, kepentingan validasi, yaitu pengujian pengetahuan agar pengetahuan itu terjamin kesahihannya, sebelum digunakan lebih banyak orang. Pengetahuan yang akan digunakan berbagai pihak, haruslah terhindar sejauh mungkin dari kekeliruan dan kesalahan entah mengenai data yang dikumpulkan, atau penjelasan tentang data itu. Pengetahuan fisika, biologi, kimia atau pengetahuan ilmu-ilmu sosial yang menjadi konsumsi publik, harus terjamin kesahihannya oleh validasi yang memenuhi syarat pengujian, agar pemakaian atau penerapan pengetahuan itu oleh pihak lain tak merugikan atau membahayakan mereka.

Kedua, pendidikan dan pengajaran harus dapat menunjukkan pentingnya aspek penemuan dalam ilmu pengetahuan. Prinsipnya, pengetahuan bukan saja harus dijaga dan dirawat dari masa ke masa, tetapi perlu diperbarui dengan temuan baru. Inilah dimensi heuristik dalam ilmu pengetahuan. Temuan baru itu dapat berupa obyek baru dalam sebuah bidang studi dan penelitian. Temuan juga dapat berupa penjelasan baru tentang data lama yang sudah dikumpulkan dan obyek penelitian yang sudah diketahui sebelumnya.
Diterjemahkan ke istilah yang lebih sederhana validasi ilmu pengetahuan butuh sikap kritis di antara para peserta didik, dan kemampuan heuristis dalam ilmu pengetahuan tak berarti lain dari sikap kreatifanak didik dalam menghadapi tugas belajar mereka. Sikap kritis hanya dimungkinkan oleh pandangan yang menghadapi ilmu pengetahuan sebagai suatu disiplin, sedangkan sikap kreatif akan muncul dari penghayatan ilmu pengetahuan sebagai suatu art atau seni, yang butuh kebebasan dan keleluasaan dalam menanggapinya. Apakah kritik dan kreativitas, disiplin dan kebebasan, metodologi dan imajinasi, menjadi perhatian di sekolah-sekolah kita sekarang, dan dikembangkan dalam perimbangan yang optimal, itulah pertanyaan dasar tentang pendidikan kita di Indonesia sekarang.

Ignas Kleden
Sosiolog, Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

0 komentar:

Budaya Akademik

 


Salah satu kerisauan pengelola pendidikan tinggi-khususnya (sekarang) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi-adalah buruknya kinerja penelitian yang ditunjukkan oleh rendahnya jumlah publikasi dan kutipan ilmiah di jurnal internasional.
Kenyataan ini biasanya dibandingkan dengan Malaysia yang jumlah dosen/profesor dan perguruan tingginya lebih sedikit, tetapi jumlah karya ilmiahnya jauh melampaui kita.  Berbagai upaya telah dilakukan kementerian terkait untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas karya ilmiah, di antaranya mengharuskan tulisan di jurnal nasional dan internasional sebagai persyaratan kenaikan jenjang akademik dan pangkat bagi dosen dan guru. Mengharuskan mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 memublikasikan karya tulis dalam jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Bahkan, bermacam program dan dana penelitian ditawarkan sebagai perangsang. Sayangnya, beragam upaya itu hingga sejauh ini belum  menampakkan hasil berarti karena orientasi kebijakan lebih mengutamakan produk daripada proses akademik. Walhasil, aktivitas penelitian kebanyakan bersifat proforma alias basa-basi, bahkan tipu-tipu.
Sesuatu yang disebut karya ilmiah seyogianya lahir dari proses ilmiah, yaitu serangkaian kegiatan telaah dan percobaan mengenali, memahami, dan menemukan fenomena alami dan manusiawi sebagaimana adanya. Istilah ilmiah merujuk kepada kebenaran logis dan atau empiris:  bersesuaian dengan kaidah akal budi dan didasarkan pada serta didukung fakta dan pengalaman. Bagaimana mungkin produk ilmiah akan meningkat jika iklim akademik yang menjadi basis kegairahan berproses ilmiah di kebanyakan kampus diabaikan dan, karenanya, makin pudar.
Kampus kita dewasa ini lebih berbudaya politik dan komersial ketimbang berbudaya akademik.  Pemilihan pemimpin perguruan tinggi negeri, sebagai contoh, sudah biasa diikuti pembentukan tim sukses, disusul kasak-kusuk (lobi?) di kementerian karena menteri memiliki 35 persen hak suara dari total pemilih. Kemudian jajaran di bawahnya kelak disusun berdasarkan kepada intensitas keterlibatan  dalam tim sukses, bukan didasarkan kepada kapabilitas. Maka, di kampus tak jarang terbentuk klik-klikan yang  lebih suka memproduksi  intrik daripada karya ilmiah.
Selain itu, kampus yang oleh undang-undang diberi otonomi bidang akademik dan non-akademik lebih tertarik mengembangkan kemandirian non-akademik, terutama dalam mencari sumber pemasukan, seperti bermacam jalur penerimaan mahasiswa, model pembayaran uang kuliah, membuka program studi dan atau kegiatan yang laris manis. Pengelola kampus akhirnya lebih fokus memikirkan strategi mencari dana daripada strategi menghidupkan budaya ilmiah.
Kenyataan ini diperparah sistem birokrasi di kementerian pengelola perguruan tinggi (PT) yang rumit dan memerlukan duit dalam pengurusan berbagai hal, terlebih bagi PT swasta.  Mentalitas birokrat dan korporat lalu menjalari berbagai aktivitas kampus, termasuk urusan akademik dan pendidikan. Maka, jangankan kasmaran dengan kegiatan ilmiah, warga kampus malah sering kali berperilaku irasional dan tak produktif baik dalam interaksi pembelajaran maupun dalam pergaulan sehari-hari.
Dosen batu akik
Para pemimpin perguruan tinggi, dosen, bahkan guru besar kebanyakan masih  berbudaya feodal dan jarang open minded. Padahal, keterbukaan dan keingintahuan adalah ciri utama budaya akademik.  Tak jarang kita menyaksikan civitasacademica mengisi berjam-jam waktu luangnya dengan beragam kegiatan yang tak terkait pengembangan diri sebagai intelektual, seperti main gaple, game, dan (belakangan) menggosok-gosok batu akik.
Rendahnya publikasi ilmiah hanyalah simtom lemahnya budaya akademik-pemikiran, spirit, dan tradisi-untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi. Keunggulan akademik bergantung kepada budaya akademik. Oleh sebab itu, menurut Daoed Joesoef (Suara Pembaruan, 2/3/2012)  masalah pokok yang harus segera ditangani untuk mengatasinya adalah membina kampus menjadi komunitas ilmiah.
Budaya akademik dapat diwujudkan melalui pola perilaku, peraturan, dan fasilitas material pada perguruan tinggi (Xi Shen, 2012). Subyek budaya akademik adalah orang-orang yang mendasarkan perilakunya kepada nilai-nilai  ilmu pengetahuan yang terbentuk dari kecintaan dan kebiasaan pada (pencarian) kebenaran.  Mereka penggerak utama pembangunan budaya akademik melalui berbagai kegiatan yang mereka lakukan.  Skala dan tingkat penelitian, kuantitas, dan kualitas prestasi akademik, sangat bergantung kepada kemampuan mereka.  Tanpa orang-orang ini kiranya  tidak mungkin budaya akademik dapat ditumbuhkan. Maka, memperbesar jumlah dan peran kelompok ini merupakan langkah penting pertama dalam upaya membangun budaya akademik.
Pembentukan budaya akademik juga ditentukan oleh dasar dan orientasi kebijakan (terhadap) PT. Ide-ide yang dijalankan, peraturan, dan filosofi administrasi, manajemen, serta hubungan interpersonal berpengaruh besar kepada pembentukan pandangan, spirit, etika, dan atmosfer  lingkungan akademik. Karena itu, setiap keputusan yang diambil harus senantiasa  melekat kepada fungsi utama pendidikan tinggi yang, menurut Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Pasal 4), adalah mengembangkan kemampuan akal budi dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui tridarma.
Tridarma PT-pendidikan dan pengajaran; penelitian; dan pengabdian masyarakat-adalah bentuk pengamalan fungsi dasar perguruan tinggi.  Pendidikan dan pengajaran di PT, selain  mentransmisikan pengetahuan dan informasi ilmiah, juga membentuk pandangan dan sikap ilmiah. Fungsi ini sangat penting mengingat alumni PT lebih berpeluang untuk menjadi pemimpin. Para pemimpin dan lulusan PT diharapkan mendarmabaktikan dirinya kepada masyarakat dengan melakukan pencerahan dan memecahkan berbagai masalah berdasarkan pengalaman dan prinsip ilmiah yang diperolehnya sesuai dengan moto, “Ilmu sebagai alat pengabdian”.
Pengabdian masyarakat utamanya bukanlah kerja bakti sekelompok  mahasiswa dan atau dosen turun mengadvokasi dan melakukan hal remeh-temeh di tengah masyarakat. Darma pengabdian sejatinya adalah bagaimana PT, langsung atau tak  langsung,  menjalankan fungsi saintifik di antaranya mengeksplanasi,  memprediksi, serta mendorong masyarakat agar  terhindar dari petaka/kerugian atau memanfaatkan peluang dari perkembangan perilaku alami dan manusiawi. PT dengan pusat pengkajian dan penelitiannya seharusnya menjadi mitra tak terpisahkan bagi pemerintah dan industri.
Kegiatan dasar
Penelitian ilmiah adalah kegiatan dasar PT, yang selain bertujuan menguji, mengembangkan, dan menghasilkan teori,  juga  sebagai pusat habituasi akademik melalui keterlibatan dalam ilmu sebagai suatu proses. Secara umum  karena berbagai alasan, gairah penelitian PT kita sangat lemah sehingga aura akademik redup dan karya ilmiah rendah. Meskipun demikian, pada 4.265 PT kita terdapat bagian yang tradisi penelitian dan budaya ilmiahnya bagus sehingga dapat dijadikan basis pengembangan.
Penggabungan pengelolaan PT dengan kementerian riset dan teknologi seyogianya bukan sekadar menempelkan bagian terpisah, tetapi membentuk entitas  baru yang melahirkan strategi besar riset nasional yang berpusat kepada PT sehingga selain berbagai masalah teratasi-utamanya material dan finansial -juga penelitian PT mengalami pembaruan. Selanjutnya pembentukan budaya akademik menuntut kondisi material dan finansial tertentu. Bagi penelitian, kondisi kedua hal itu adalah seperti akar pada pohon dan air pada ikan. Bagian penelitian, di antaranya, memerlukan ruang khusus (sering dikeluhkan para guru besar dan peneliti senior tak memiliki ruang), buku-buku, data informasi, instrumen eksperimental, sistem jaringan, dan alokasi dana yang memadai. Dengan dana penelitian memadai, instrumen dan peralatan canggih, sumber daya andal, data yang dibutuhkan dapat diejawantahkan.  Tanpa dukungan material dan finansial tertentu, tak ada budaya akademik yang dapat dimungkinkan dan tak ada prestasi akademik yang patut diharapkan.
Akhirulkalam, untuk memulai “gerakan” membangun budaya akademik, diperlukan prakondisi utama: komitmen pemerintah dan pemimpin PT.  Kemudian di kalangan civitas academica lainnya komitmen itu dapat dimunculkan melalui pengondisian motif dan insentif.  Pemerintah telah memberikan insentif, seperti tunjangan profesi, tunjangan kehormatan, dan lain-lain. Namun, pengelolaan motif yang berpangkal kepada trust kurang dilakukan dan masih menjadi tantangan di tengah situasi pemerintah dan masyarakat kita yang kian materialistik dan terdemoralisasi.
 
Mohammad Abduhzen
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI

0 komentar:

PT Kian Terindustrialisasi


Barangkali hanya di Indonesia setiap dosen wajib memikul tiga tugas sekaligus, yakni mengajar, meneliti, dan melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. 

Tiga tugas yang dirumuskan dalam konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi ini wajib dijadikan napas setiap perguruan tinggi (PT), baik negeri maupun swasta. Kinerja seorang dosen dan reputasi sebuah PT pun diukur dari seberapa jauh ketiga dharma ini dilaksanakan secara konsisten, terintegrasi, dan proporsional. 

Bagi seorang dosen, tidak ada yang salah dengan konsep Tri Dharma PT. Sebagai pengajar, bagaimanapun, tugas pertamanya adalah mengajar. Dalam dharma inilah ia mendampingi mahasiswa dalam proses menjadi individu yang bukan hanya berkecakapan, sekaligus juga berwawasan dan berintegritas. Agar ilmu yang ia ajarkan senantiasa terbarui dan semakin kaya, maka melakukan penelitian pun menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Kemudian agar apa yang ia teliti dan ajarkan di hadapan mahasiswa itu juga terlihat manfaat praktisnya bagi masyarakat luas, maka kegiatan pengabdian kepada masyarakat menjadi dharma yang bukan hanya tak bisa dikesampingkan, juga bentuk pertanggungjawaban moral kepada salah satu pemangku kepentingan utama lembaga PT. 

Persoalannya, dalam kondisi di mana PT yang kian terindustrialisasikan, apakah seorang dosen dimungkinkan menjalankan tiga dharma itu secara semestinya? Yang saya maksud dengan PT yang kian terindustrialisasikan adalah pengelolaan PT yang semakin digerakkan nalar bisnis, yakni "cost and benefit analysis" secara finansial. Artinya, meski PT tak boleh menjadi lembaga yang berorientasi mencari laba, tetapi mendapatkan keuntungan materiil bukanlah hal yang dilarang. 

Hal itu bukan hanya berlaku bagi PT swasta, yang pendanaannya memang hampir 100 persen bergantung pada uang dari mahasiswa, juga bagi PT negeri. Sebagaimana diketahui, seiring arus liberalisasi dunia pendidikan tinggi, sebagian PTN di Indonesia ada yang telah  terlebih dahulu ter-"semiswasta"-kan, dan disusul banyak PTN lain dalam beberapa tahun belakangan ini. Artinya, jumlah PTN murni, dalam arti yang pendanaan untuk segala jenis biaya rutin operasional dan pengembangan sarana dan prasarana pendidikannya sepenuhnya bergantung kepada pemerintah, pun kian berkurang. 

Digerakkan nalar bisnis 

Salah satu wujud konkret dari pengelolaan PT yang digerakkan nalar bisnis adalah kebijakan pembukaan atau penutupan suatu program studi. Berbeda daripada negara-negara yang kebijakan resmi pendidikan tingginya berangkat dari proyeksi kebutuhan jangka sekian puluh tahun ke depan, kebijakan pembukaan dan penutupan suatu program studi yang terjadi di sebagian besar PT di Indonesia, baik negeri maupun/apalagi swasta, bergantung pada situasi pasar tenaga kerja. 

Maksudnya, bila pasar tenaga kerja tengah terjadi permintaan yang tinggi akan tenaga kerja dengan latar belakang keilmuan tertentu, maka PT pun berlomba membuka program studi dengan keilmuan-keilmuan itu. Sebaliknya, bila permintaan tenaga kerja dengan latar belakang keilmuan yang lain merosot, maka program-program studi dengan keilmuan-keilmuan itu pun cenderung ditutup, atau di-merger-kan dengan program studi lain yang secara formal dianggap berdekatan.  Dengan kata lain, suatu program studi dibuka dan dimekarkan, atau ditutup/merger nyaris semata-mata bergantung kepada laku-tidaknya program studi tersebut. Hampir-hampir tidak ada pertimbangan strategis keilmuan sekian puluh tahun ke depan. 

Apa konsekuensinya bagi dosen bila PT dikelola dengan nalar bisnis dan mentalitas "aji mumpung" itu? Di sinilah konsep mulia Tri Dharma PT menjadi sesuatu yang nyaris tak mungkin dilaksanakan dengan semestinya. 

Satu hal yang hampir selalu terjadi pada program-program studi yang tengah laku keras adalah tidak memadainya perbandingan antara pertumbuhan jumlah mahasiswa dan dosen. Rasio dosen-mahasiswa semakin melebar. Konsekuensinya, banyak dosen yang beban mengajarnya serta jumlah bimbingan penulisan tugas ilmiahnya makin tak masuk akal. Bisa dibayangkan bila seorang dosen harus mengampu 7-9 mata kuliah per semester dalam belasan kelas paralel, plus jumlah bimbingan penulisan tugas ilmiah (skripsi/tesis/disertasi) yang  mencapai puluhan. Apakah mungkin ia punya cukup waktu untuk melakukan penelitian dengan semestinya? 

Jangankan penelitian, mengajar dengan semestinya pun belum tentu sanggup. Mengajar pun menjadi mekanistis, tak ubahnya putar ulang materi yang telah ia susun sekian tahun sebelumnya. Memeriksa draf tugas-tugas ilmiah bimbingannya pun  jelas tak mungkin bisa cermat dan mendalam. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat  mungkin masih sanggup ia lakukan, tetapi barangkali hanya formalitas sekaligus tak lebih dari sekadar variasi dari rutinitas kegiatan di kampus. 

Artinya, Tri Dharma PT memang bisa berjalan, tetapi tak lebih dari formalitas belaka. Ini bukan karena para dosen enggan melaksanakannya, tetapi lebih karena akibat kondisi struktural PT yang semakin digerakkan nalar bisnis. 

Hal-hal yang ideal sering sulit diwujudkan bukan karena hal- hal itu terlalu ideal, tetapi lebih karena kondisi yang ada tidak mendukung untuk mewujudkannya. Akibatnya, yang terjadi tak lebih formalitas belaka. 

Solusinya ada dua pilihan: tuntutan yang ideal itu disederhanakan, atau kondisi riil yang ada dibuat kondusif bagi terwujudnya tuntutan yang ideal itu. Pilihan kedua hanya mungkin bila kebijakan yang cenderung melepas PT ke dalam mekanisme pasar direm, dan pemerintah kembali menjadi penanggungjawab utama penyelenggaraan PT. 

Yang terjadi sekarang ini adalah pemerintah menempatkan diri sebagai regulator segala aspek penyelenggaraan pendidikan tinggi, sembari mengurangi tanggung jawabnya. Tidaklah mengherankan bila banyak edaran atau surat keputusan atau instruksi pejabat tinggi dari kementerian yang mengurusi masalah pendidikan tinggi mentah dalam pelaksanaan di lapangan. Terlalu banyak contohnya untuk disebutkan di sini. 
BUDIAWAN 
DOSEN KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA, SEKOLAH PASCASARJANA UGM

0 komentar:

Imperialisme Jasa

Beberapa tahun belakangan, saya harus menahan diri untuk mengekspresikan rasa kesal pada satu hal ini: ongkos parkir.

Sejak parkir umum yang semestinya menjadi konsekuensi logis toko/pusat perbelanjaan/hotel/perkantoran/rumah sakit sebagai pelayanan atau fasilitas lumrah bagi para konsumen atau tamunya, diambil alih perusahan jasa perparkiran, hal yang semula gratis secara wajar menjadi sangat mahal secara tidak wajar.

Beberapa perkantoran atau pusat perbelanjaan, memasang tarif sekali masuk Rp 5.000 dan biaya Rp 4.000/jam, sehingga hanya untuk perundingan bisnis atau belanja sekitar 3 jam, kita harus membayar tak kurang dari Rp 17.000. Jumlah yang mungkin tak seberapa bagi sebagian orang, tetapi secara akumulatif nilainya mencengangkan. Hanya dengan lapak sekitar 6 meter persegi beralas konblok, aspal, semen atau lainnya, para pengusaha jasa mendapat pemasukan tidak kurang Rp 1,5 juta/bulan (dalam hitungan rata-rata hanya 12 jam sewa per harinya). Pemasukan itu (atau Rp 18 juta/tahun), tentu setara sebuah rumah kontrakan tipe 54/92 yang cukup mewah, atau kos/kontrakan/apartemen sangat mewah, dengan luas tanah jauh lebih lapang, dengan bangunan bagus dan fasilitas lain. Dengan perhitungan apa yang, perusahaan jasa parkir mendapatkan penghasilan begitu menakjubkan, dengan modal sekadar palang dan pos kecil dengan seorang petugas?

Tak lain semua itu mungkin hanya karena satu bentuk perdagangan yang menggila tiga dekade belakangan: jasa. Inilah bentuk perdagangan kedua, setelah manufaktur, yang paling pesat pertumbuhannya, sekaligus paling telengas dalam mengisap dompet konsumennya. Dalam esensinya yang menawarkan kenyamanan, kemegahan, rasa, gengsi, dan hal-hal abstrak lain, bisnis jasa hampir tak punya ukuran atau standar untuk harga. Semua berlangsung absurd, ditentukan setidaknya seberapa jauh konsumen terilusi atau tertipu imaji atau simulacra ilusif yang ditawarkan pedagang jasa.

Katakanlah, secangkir kopi atau soto betawi yang dengan mudah kita temukan di berbagai kedai kaki lima, tiba-tiba melonjak hingga lebih 2.000 persen ketika ia kita beli di sebuah restoran atau mal yang megah dan ber-AC kuat. Begitu pun dengan jasa yang ditambahkan (sebagai nilai tambah) pada barang-barang manufaktur, seperti busana, peralatan rumah tangga, hingga gawai. Yang terlebih menyakitkan ia terjadi dengan semena-mena pada industri jasa yang sangat mendasar, seperti rumah sakit dan lembaga pendidikan, ketika sewa ruang kelas 1 atau VIP di sebuah rumah sakit, misalnya, lebih mahal dari tarif kamar berkelas sama di hotel berbintang empat, tetapi dengan fitur dan fasilitas yang jauh lebih minim.

Kemahalan yang sama harus dibayar pasien (yang sudah menderita karena penyakitnya) untuk kunjungan dokter yang sama, teknologi sama, waktu konsul yang sama dengan beberapa kelas di bawahnya.

Represif
Jasa, kini benar-benar tidak hanya memberi keuntungan nauzubillah bagi para pedagangnya, tetapi secara kontradiktif memberi bukan melulu beban, tetapi semacam siksaan kepada konsumennya yang lebih kerap tidak berdaya. Seperti kita di bandara, tempat wisata, bar, resto, hotel, atau berbagai ruang eksklusif lainnya, harus menemukan harga barang-barang biasa dengan harga yang luar biasa karena berlipat-lipat nilainya. Semua itu terasa represif karena kita tidak mampu menawar, melawan, dan terlindungi oleh pemerintah sebagai pihak yang berwenang untuk itu. Kita seperti terimperialisasi oleh satu hal yang sangat absurd, namun nyata dampak praktisnya: jasa.

Akan tetapi, dari semua ilustrasi kecil itu, hal paling menyakitkan dan terasa menjajah kesadaran kita adalah skema kredit atau leasing yang selama ini menjadi tumpuan bahkan modus masyarakat mewujudkan harapan atau mimpi modern (hedonistik)-nya. Tanpa dapat kita menawar sedikit pun, atau bahkan hampir seperti fait accompli, kita harus menemukan ketentuan kredit/leasing itu, di mana dijebak aturan utang yang sangat merugikan, lain kata sangat menguntungkan pemberi kredit.

Sudah umum diketahui, cicilan yang kita bayar untuk pembelian kredit rumah, kendaraan bermotor, gawai, hingga perjalanan wisata bahkan umrah, hampir 90 persen untuk pembayaran bunga pada setengah periode awal masa kreditnya. Sehingga ketika kita ingin melunasi kredit di pertengahan masa, kita menemukan jumlah utang pokok masih menggunung, lebih dari 80 persen. Betapa licin, cerdik, tetapi juga culas dan memeras skema kredit yang tidak adil seperti ini. Betapa besar jumlah keuntungan yang diraup secara tidak adil oleh lembaga keuangan pemberi kredit yang mendapat pelunasan di tengah jalan. Betapa culasnya, ketika kita sudah membayar hampir lunas bunga kredit ketika masa pelunasan masih cukup panjang untuk diakhiri.

Bank, sebagai lembaga keuangan pemberi kredit utama, termasuk bank pemerintah yang menggunakan uang rakyat sebagai modalnya, menggunakan skema yang sama untuk bisnis jasa yang mengerikan ini. Bahkan bank-bank pemerintah pun, seperti swasta tentunya, menciptakan tarif yang mokal-mokal dengan memasang tarif untuk beberapa transaksi, seperti cek saldo, transfer elektronik, bahkan sekadar untuk cek saldo hingga setoran. Bayangkan, jika hanya untuk cek saldo kita ditagih Rp 6.500, maka bila hanya 25 persen dari 100 juta nasabah sebuah bank besar melakukan cek saldo dalam sehari, bank mendapat pemasukan tak kurang dari Rp 162,5 miliar/hari.

Hanya dalam sehari, hanya untuk cek saldo. Hitunglah per bulan atau tahun, juga untuk semua bentuk transaksi. Hampir tanpa biaya signifikan dengan tarif itu yang harus bank keluarkan, karena semua hanya menggunakan gelombang elektromagnetik yang notabene milik publik. Apa yang sedang terjadi? Mengapa perdagangan atau ekonomi (pos)modern berbasis teknologi ini begitu kuat menjerat, hingga kesadaran terdalam kita. Lalu kita menerimanya sebagai satu hal yang given. Mana lebih dahsyat imperialisme mutakhir dengan bentuknya yang sama di masa lalu?

Dehumanisasi konsumen
Kapitalisme dengan model terkejamnya, pasar bebas, memang harus diakui melakukan semacam represi yang mendehumanisasi konsumen, menjadikan manusia hanya sebagai sapi perah untuk memenuhi kebutuhan susu pundi-pundi triliunan rupiah maupun dollar dari para pemilik modal besar, bahkan pemerintah pun mengikutinya dengan cara telengas (Anda tahu, kan, telepon atau listrik Anda akan segera diputus hanya keterlambatan pembayaran dalam hitungan hari?). Semua itu hanya menggunakan perangkat paling ampuh dan absurd dari ekonomi kapitalistik ini: harga. Khususnya di genre perdagangan mutakhirnya: jasa.

Jasa sebagai perdagangan mutakhir mungkin bisa disebut sebagai level lanjutan dari perdagangan berbasis pertanian (agrikultur) di masa pramodern dan industri manufaktur di masa modern. Sejak masa lalu bisnis memang sudah ada, bahkan untuk perbankan di Tiongkok sudah sejak paruh awal milenium kedua, dan dalam pengertian modern (warkat antara lain) sejak usai Perang Salib abad ke-12, ditemukan dan dijalankan para Ksatria Templar bagi para peziarah ke kota suci Jerusalem.

Namun, sebagai jenis perdagangan utama dunia, jasa baru mulai diakui secara formal sejak awal 80-an, ketika Amerika Serikat (bersama negara-negara satelit ekonominya, seperti Kanada, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Singapura) dengan intensif dan teguh memaksakan jenis perdagangan itu ke dalam aturan perdagangan global WTO. Sejak saat itu, nilai perdagangan jasa yang sangat minor sebelumnya, tak lebih dari 10 persen ketimbang agrikultur dan manufaktur meningkat dengan sangat cepat. Jika dua pendahulunya membutuhkan ribuan tahun dan ratusan tahun, jasa hanya membutuhkan sedikit dekade.

Bisa dibayangkan di wilayah di mana perdagangan tradisional masih dominan, seperti Sub-Sahara Afrika, pada 2005 perdagangan jasa sudah mengambil porsi 47 persen dari kapasitas ekonomi kawasan itu, sementara agrikultur hanya 16 persen dan manufaktur 37 persen. Bahkan data WTO mutakhir menunjukkan angka mencengangkan perdagangan jasa mengambil porsi lebih dari 50 persen total perdagangan dunia, melibatkan sepertiga tenaga kerja profesional, dan menguasai dua pertiga pendapatan global.

Kita semua mafhum, ke mana keuntungan terbesar terkumpul, tidak lain pada para pemilik modal besar yang menguasai mata-mata komoditas jasa, mulai dari hotel, resto, penerbangan, turisme, pendidikan, transportasi, hiburan, hingga pelacuran, alkohol, dan perjudian. Keuntungan berlipat itu berbanding terbalik dengan kesejahteraan konsumen, khususnya rakyat kelas bawah, yang menderita kemiskinan absolut karena terisap pendapatan minusnya untuk jasa-jasa yang mereka juga—secara alamiah—ingin nikmati juga (tentu karena rayuan maut advertensi dan gaya hidup kelas atas/menengah).

Sampai bila situasi ini? Bisakah ia berakhir? Mohon ampun, saya akan menyatakan dengan tegas: ia tak akan berakhir. Artinya? Jelas, pengisapan yang imperialistik ini akan terus berlanjut, hingga rakyat kebanyakan—tidak hanya yang ada di Sorong atau Tulungagung, tetapi juga Leningrad, Paris, dan New Delhi—benar-benar kempis kantong ekonomi bahkan harapan kesejahteraannya. Hingga pada masa di mana, kita, rakyat kebanyakan, tinggal menjadi budak-budak industri yang penghasilan dari keringat, air mata bahkan darahnya habis dengan cepat hanya untuk mengonsumsi hasil industri yang ia buat sendiri.

Maka, sebagian dari kita bekerja jauh lebih keras, jauh lebih keras hingga lupa dengan tanggung jawab keluarga atau sosial di sekitarnya, hanya untuk menambal kekurangan-kekurangan pokok hidupnya, karena penghasilannya melalui apa yang sebut false consciousness diisap kenikmatan-kenikmatan jasa. Kita akan kerja lembur terus, akan cari sampingan terus, dan bila semua kemungkinan penghasilan alternatif itu menyempit, kita pun menengok alternatif lain, yang ilegal bahkan kriminal.

Tidak mengherankan, bukan saja korupsi dan manipulasi merajalela, praktik dagang licik dan penuh tipu terjadi, tetapi juga kejahatan—yang mematikan—terjadi hanya untuk uang tak seberapa. Sebagian lagi melacurkan diri, karena tinggal milik itu yang kita punya. Dan betapa mengiris hati, ketika remaja-remaja belasan tahun kini menjual dirinya, lewat media-media sosial, dengan berbagai tawaran yang mengiris-iris harga diri.

Apakah tidak ada yang tersentuh dengan fenomena gila seperti ini? Di mana mereka kaum elite yang mendapatkan limpahan berkah dan amanah dari kita, khalayak? Tidakkah mata dan hati mereka tidak lagi menangis? Atau justru tenggelam sebagai bagian atau cecunguk dari peradaban dagang seperti itu? Sadar atau tak sadar mengimperialisasi rakyatnya sendiri, khalayak yang telah memberinya kemuliaan? Di mana pemerintah? Padahal, di sementara lain, bangsa ini yang sangat terkenal dengan kebudayaan, kesenian, dan kekuatan kreatifnya, malah tidak mampu mengambil keuntungan dari bisnis jasa yang sebenarnya justru menjadi kekuatannya? Saya tidak ingin lagi berdoa, untuk kesadaran mereka—kaum elite—misalnya. Saya menuntut dengan keras: jangan biarkan, bahkan sekali-sekali jangan pernah menjadi komprador untuk menghancurkan bangsa ini dengan skema perdagangan seperti di atas. Menghancurkan masa depan anak cucu kita. Menghancurkan peradaban kita yang mulia.

Radhar Panca Dahana, Budayawan

0 komentar:

Gagalnya Filsafat Pertama Pendidikan



Seorang anggota DPR memukul anggota Dewan lain hingga babak belur, Kamis (9/4/2015). Pelaku melancarkan tinju ketika bertemu korban di ruang toilet. Akibat pukulan itu, wajah korban lebam dan kacamatanya pecah. Ditengarai pelaku merasa tersinggung karena korban dinilai tidak menghormati hak bicaranya. Ketika dikonfirmasi, Ketua DPR menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi secara tidak sengaja.

Kejadian lain yang juga tidak lama berselang adalah Hasrul Azwar dari Partai Persatuan Pembangunan yang memorakporandakan meja rapat dalam ruang sidang paripurna DPR, Selasa (28/10/2014). Meja dan segala barang di atasnya bergelimpangan di depan pimpinan Dewan. Pelaku merasa tidak dihargai karena pendapatnya tidak ditanggapi pimpinan sidang.

Peristiwa itu menunjukkan bahwa sudah pernah, sedang, dan kemungkinan serupa akan terjadi di kantor para wakil rakyat. Sebagai individu yang berada dalam institusi penting dalam pembangunan negara, apa dampaknya terhadap kebijakan? Lebih dari pelanggaran etik, apa pelanggaran terbesar mereka? Bagaimana pendidikan yang pantas bagi politikus kalap?

Keharusan vs kenyataan 

Secara hakiki, politikus adalah individu yang mengemban tugas untuk mewujudkan cita-cita bersama. Sebab, politik adalah cara bagaimana membangun negara untuk mencapai cita-cita warganya. Tugas politikus bisa dilakukan ketika masyarakat telah memberikan hak-haknya agar para politikus mengatur sebaik-baiknya segala sumber daya yang dimiliki negara. Karena itu, di tangan politikuslah terdapat kekuasaan atas kekayaan bangsa yang bisa dimanfaatkan untuk aneka kepentingan.

Idealnya, perilaku politikus adalah bentuk permodelan dari praktik pendidikan politik kepada warga bangsa.Faktanya, politikus mengidap penyakit sadisme. Implikasinya jelas, kewenangan, peraturan, hingga bentuk-bentuk penguasaan sumber daya akan jatuh pada bentuk-bentuk kekerasan fisik dan non-fisik.

Apabila kekerasan fisik sering terlihat dalam tindak tanduk para wakil rakyat dalam ruang rapat, kekerasan psikis pun dapat dibuktikan dalam komunikasi verbal yang bermaksud untuk merendahkan, mengancam, memfitnah, hingga pernyataan-pernyataan lain yang tidak relevan dengan argumentasi.

Bagian kenikmatan 

Kita baru tahu dari Donatien Alphonse Francois Marquis de Sade (1740-1714) yang menunjukkan bahwa rasa sakit fisik merupakan bagian dari kenikmatan. Pelaku sadisme akan merasa senang bisa melihat kekerasan di depan matanya. Sebaliknya, korban sadisme akan merasa puas apabila telah tersakiti.

Dalam ilmu psikologi, pasangan sadisme disebut dengan sado-masokhis. Dalam bidang lain, istilah berani ambil risiko itu berbeda dengan keberanian menyakiti atau disakiti. Manajemen risiko berupaya meminimalisasi kejadian yang menyakitkan pada masa depan sebagai bagian dari strategi berbisnis agar keuntungan semakin besar. Sementara perilaku sadis berusaha memperbesar rasa sakit pihak lain.

Jika direfleksikan terhadap kejadian di Senayan, para politikus cenderung mempraktikkan sado-masokhis terhadap lingkungan sekeliling. Pelaku akan merusak, memukul, dan memorak-porandakan benda-benda di sekitarnya serta memotong pembicaraan ketika perasaannya terganggu. Perasaannya akan kembali nyaman jika sudah melihat lingkungan sekitar berantakan.

Empat pelanggaran 

Karena itu, sekurang-kurangnya ada empat pelanggaran yang dilakukan para pelaku kekerasan di Senayan. Pertama, pelanggaran nilai-nilai utama bangsa, yakni toleransi dalam keberagaman. Pelaku sadisme menunjukkan sikap egois. Mereka mengutamakan kepuasan perasaannya dengan cara menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya. Politikus perlu menjiwai bukan sekadar ideologi kebangsaan, melainkan sebuah semangat kebersamaan.

Kedua, pelanggaran norma sosial tradisi, yakni sopan santun. Jika mereka tidak memiliki adab kesopanan dalam interaksi antar-individu di lingkungan yang setara, jelas hal itu akan berdampak dalam interaksi sosial di lingkungan yang tidak setara.

Ketiga, pelanggaran kode etik para anggota Dewan. Aturan tertulis sebetulnya penegas dari semua aturan yang tidak tertulis, bahkan aturan itu ada sebelum mereka masuk ke gedung wakil rakyat. Sebagai aturan tertulis, kode etik memang menerakan sanksi. Akan tetapi, sanksi-sanksi itu cukuplah dianggap sedikit gangguan sehingga masuk dalam wilayah "bukan masalah besar".

Keempat, ada pelanggaran serius yang tidak pernah disadari. Pelanggaran terbesar dari semua pelanggaran sebelumnya adalah hilangnya keteladanan wakil rakyat. Sebab, kepentingan politikus adalah kepentingan rakyat sehingga segenap pikiran, niat, dan tindakan mestilah bermuara pada hajat hidup orang banyak. Dalam sejarah pembangunan kebangsaan kita, keteladanan merupakan permasalahan serius yang tidak diperhatikan.

Dalam filsafat pendidikan pertama bagi bangsa Indonesia, kita memperoleh penjelasan dari Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) yang menerapkan keteladanan (tuladha), kesamaan tekad (karsa), dan dukungan (andayani) bagi pembangunan bangsa.Sebelum kelahiran perundang-undangan tentang pendidikan, Dewantara telah memilihkan pendidikan yang sesuai dalam sistem sosial yang berlaku sepanjang praktik kehidupan bernegara.

Gagal paham
 
Apa boleh buat, ternyata mereka gagal paham. Pernyataan "tidak sengaja" dari Ketua DPR pada Jumat (10/4/2015) sebagai bentuk perlindungan terhadap perilaku sadis itu justru menunjukkan jelasnya kegagalan secara umum. Sebab, istilah tidak sengaja itu sinonim dengan tidak sadar atau lupa.

Jika dicari dalam kamus, pernyataan itu sama dengan lupa diri atau dapat diganti dengan istilah lain yang lebih tepat, yakni kalap. Kasus demi kasus orang kalap yang terus terjadi menunjukkan kekurangmampuan menerapkan filsafat pertama dari praktik pendidikan politik di republik ini. 




SAIFUR ROHMAN 

PENGAJAR PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN DI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

0 komentar:

Hantu Rasio Dosen Mahasiswa



Minggu-minggu ini pimpinan perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta, gelisah seperti dikejar hantu karena mendapat surat peringatan dari pemerintah.
Peringatan tersebut terkait dengan kecukupan rasio minimal dosen-mahasiswa untuk setiap program studi. Pemerintah telah menetapkan bahwa untuk program studi eksakta, rasio tersebut minimal 1:30 dan untuk program studi non-eksakta minimal 1:45. Pemerintah memberikan ancaman kepada pimpinan perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) bahwa program studi yang punya rasio jauh lebih kecil dari angka itu akan ditutup. Apakah "hantu" yang menakutkan ini sungguh layak kita takuti?
Dasar penetapan rasio
Pemerintah memakai dalih bahwa rasio dosen-mahasiswa dapat menjadi cara efektif untuk mengendalikan mutu program studi. Namun, kalau kita cermati lebih jauh, argumentasi pemerintah ini sebenarnya lemah dan bahkan mengandung banyak konsekuensi yang justru akan menurunkan kualitas program studi.
Pertama, rasio dosen-mahasiswa hanyalah salah satu dari banyak sekali faktor penentu kualitas program studi. Pemerintah sudah lama mengharuskan pemakaian mekanisme akreditasi sebagai cara komprehensif menilai kualitas program studi. Dari waktu ke waktu, instrumen penilaiannya semakin lengkap dan mendetail serta telah mencakup input, proses, dan output sebuah program studi. Apakah kecukupan rasio dosen-mahasiswa dapat menegasikan begitu saja status atau peringkat akreditasi suatu program studi? Sampai sekarang pemerintah tidak memberi penjelasan keterkaitan antara kualitas program studi berdasar akreditasi dan kecukupan rasio dosen-mahasiswa ini.
Kedua, pemerintah tidak pernah menjelaskan dari mana rasio 1:30 dan 1:45 ini diperoleh dan dalam konteks apa? Kalau rasio ini digunakan dalam konteks pembelajaran, banyak PTS akan gulung tikar ketika jumlah peserta kuliah di setiap kelas dibatasi hanya 30 dan 45. Bagaimana PTS dapat membiayai layanan pendidikannya ketika justru program studi eksakta yang banyak membutuhkan prasarana pembelajaran seperti alat-alat laboratorium dan bahan habis pakai harus ditanggung oleh lebih sedikit mahasiswa dibandingkan dengan untuk program studi non-eksakta? Lagi pula, program studi juga melibatkan para dosen tidak tetap atau calon dosen dalam pembelajaran, tetapi para dosen ini tidak dapat ikut dihitung sebagai pembagi dalam rasio tersebut.
Kecukupan rasio 1:30 dan 1:45 sungguh tidak masuk akal jika hanya memperhitungkan dosen tetap saja, bahkan hanya dosen yang mempunyai Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN), padahal banyak PT yang mempunyai dosen yang belum ber-NIDN. Seandainya rasio ini terkait dengan pembimbingan tugas akhir maka 1:30 apalagi 1:45 justru tidak ideal dan juga tidak nyata karena untuk program S-1 (empat tahun) hanya sekitar 25 persen mahasiswa di suatu program studi yang perlu bimbingan tugas akhir.
Ketiga, ketentuan rasio minimal ini akan menurunkan antusiasme masyarakat untuk terlibat mencerdaskan bangsa karena angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi kita masih di bawah 20 persen. Ketentuan tentang rasio dosen- mahasiswa akan menjadikan PTS terlalu mahal bagi masyarakat. Untuk program studi eksakta, rasio 1:30 membawa konsekuensi jumlah mahasiswa total empat angkatan hanya 180 untuk jumlah dosen enam orang. Jika setiap mahasiswa rata-rata membayar Rp 3 juta selama satu semester, program studi itu hanya mampu mengumpulkan dana Rp 480 juta. Dana ini tak akan cukup untuk menggaji enam dosen ditambah minimal dua karyawan serta membiayai kegiatan praktikum dan kemahasiswaan. Dengan kata lain, rasio ini akan menjadikan program studi di PTS terlalu mahal bagi masyarakat.
Keempat, di tengah semakin majunya sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena kecanggihan dan ketersediaan teknologi internet, rasio dosen-mahasiswa ini akan berlawanan dengan pengembangan PJJ. Internet sebagai platform PJJ justru mendobrak keterbatasan fisik sehingga mampu meningkatkan jumlah peserta pembelajaran. Pemerintah telah mengakui hal ini bahkan mendorong PT di Indonesia untuk mengembangkan PJJ. Lagi pula, dalam konteks negara besar kepulauan, Indonesia semestinya menangkap peluang PJJ berbasis internet karena PJJ dapat secara efektif memperluas jangkauan dan meningkatkan partisipasi belajar masyarakat.
Konteks pengembangan PT
Kalau PJJ juga harus memenuhi ketentuan rasio dosen-mahasiswa ini betapa PJJ menjadi absurd untuk dilakukan. Pemakaian kriteria rasio dosen-mahasiswa sebagai ukuran kualitas pembelajaran tidak lagi sesuai semangat zaman ini karena di zaman digital belajar harus kita pahami dengan cara baru. Perkara belajar bukan lagi pertama-tama perkara bertemu dengan otoritas keilmuan, tetapi lebih sebagai perkara akses ke sumber pengetahuan.
Memang rasio dosen-mahasiswa ini akan memaksa program studi untuk meluluskan mahasiswanya secara tepat waktu. Semakin banyak mahasiswa yang tak lulus tepat waktu akan memperkecil rasio ini. Konsekuensinya, untuk program studi eksakta yang mempunyai enam dosen, setiap tahun hanya bisa menerima 30 mahasiswa baru dan setiap tahun harus meluluskan 30 mahasiswa lama. Hal ini bukan perkara mudah. Solusi lain adalah menambah dosen, tetapi akan membawa konsekuensi membesarnya pendanaan untuk gaji dosen.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menerapkan ketentuan rasio dosen-mahasiswa ini dalam konteks pengembangan PT secara tepat. Apakah ketentuan ini dibuat dalam konteks pembelajaran tatap muka ataukah dalam konteks pendampingan penulisan tugas akhir atau pendampimgan kegiatan mahasiswa atau untuk semuanya? Selain itu, pemerintah perlu menjelaskan dari mana dan atas pertimbangan apa memakai batas 30 dan 45. Jika kedua hal ini tidak jelas, ketentuan rasio ini justru akan seperti hantu yang menakuti banyak orang, padahal tidak nyata kehadiran dan relevansinya.
Johanes Eka Priyatma


Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

0 komentar:

Menghukum hukum



Ketakutan saya selagi menyetir sendiri kian hari kian mencekam. Belakangan saya makin cemas dengan kemungkinan menjadi pembunuh. Biarpun tidak dikehendaki dan sama sekali tidak bersalah, konsekuensi yuridis, ekonomis hingga sosial dan spiritual harus saya tanggung bahkan seumur hidup.

Hal itu terjadi hanya karena persoalan-yang semula insidental bisa menjadi fenomenal-saat saya harus terkejut, deg- degan, marah atau mengumpat dalam hati, ketika di hidung kendaraan saya muncul tiba-tiba (entah dari gang, tikungan, atau menyalib dari belakang) sebuah motor yang dikendarai seorang ibu (kadang tanpa helm) hampir tanpa perhitungan, kewaspadaan, atau keahlian mengendalikan laju atau setang sepeda motornya.

Pemandangan seperti itu cukup sering kita melihatnya. Sebuah motor entah dikendarai ayah atau ibunya, membonceng bisa lebih dua anak (plus bayi digendong), di mana hanya orangtua yang berlindung kepala. Saya tidak paham bagaimana orangtua itu memperhitungkan risiko kecelakaan dengan membiarkan anaknya tanpa pelindung atau semacam pikiran "anak boleh mati atau celaka yang penting orangtua tidak". Akal sehat sudah lenyap atau diremehkan oleh masyarakat kita?

Yang lebih mengherankan dan membuat saya marah sebagai warga sipil dari negara dengan supremasi hukum, apa yang terjadi dalam hati dan kepala polisi yang juga menyaksikan hal itu setiap hari, bahkan melintas rutin di markasnya yang ditempeli spanduk mentereng "Siap Melayani Rakyat". Itu slogan, kebenaran hukum, moral, atau lip service atau benar-benar dusta belaka? 

Apa yang bisa dibanggakan polisi, sebagai penegak hukum dan pemelihara keamanan, lalu memberikan hak pada mereka untuk menuntut otoritas lebih tinggi atau anggaran lebih besar, ketika persoalan-persoalan hukum seperti di atas, dari tingkat yang sepele hingga persoalan kebijakan nasional tidak terselesaikan dengan baik, bahkan diremehkan atau dibiarkan? Di mana hukum itu sendiri, ketika penegaknya sendiri-yang diwajibkan secara moral, kultural dan konstitusional-tak memedulikan bahkan sebagian melecehkan atau memanipulasi?

Ada apa dengan hukum, saat kasus Sengkon dan Karta berulang tanpa henti? Ketika rakyat papa (seperti nenek Asyani terdakwa pencuri kayu, Minah terdakwa pencuri kakao, dan banyak lainnya) dihukum karena kemiskinan mereka, sementara pembesar berkelit dari korupsi miliaran rupiah karena kuasa dan kekayaan mereka? Hukum apa yang berkoar memberikan hak (remisi) kepada narapidana yang telah menjagal hak (hidup, sosial, kultural) ribuan orang bahkan anak-anak masa depan kita?

Mengapa hukum yang kita junjung membiarkan hakim Sarpin melanggar aturan yang harusnya ia jaga, menolak panggilan lembaga yang harus dihormatinya? Kenapa hukum membiarkan polisi sebagai penegaknya, mempergunakan hukum itu sendiri untuk show of force, congkak dan arogan mendemonstrasikan kuasa korps dan institusinya terhadap korps dan institusi lain?

Di mana negara yang berbasis hukum ini memainkan peran dan hukumnya sendiri? Mengapa ada institusi bagian bisa menentang pusat pimpinan, menjadikannya tak tersentuh dan membuatnya menjadi "negara dalam negara"? Hukum seperti apa yang berlaku di negeri ini, ketika para penyusun dan pembuatnya sendiri seenaknya memanipulasi pasal-pasal, memproduksi regulasi yang menguntungkan kantong sendiri atau kepentingan lain, bahkan pihak asing yang memiliki niat jahat hampir tanpa selubung? Sistem hukum apa ini ketika ia dengan mudah dipermainkan oleh eksekutif dan legislatif, lembaga-lembaga tinggi yang paling bertanggung jawab atas hal itu berkelahi sendiri, meninggalkan rakyat dalam ketidakpastian aturan atau anggaran?
Apa yang terjadi pada hukum kita?

Arus alternatif
Saya tidak mampu, tepatnya harus putus asa, melempar pertanyaan-pertanyaan di atas kepada mereka, aparatus hukum independen, baik yang tergolong pemikir, peneliti-akademisi, praktisi, atau aktivis pembela hukum-apalagi, tentu saja, para penegak atau produsen hukum konstitusional yang realitasnya tergambar di atas-ketika menjumpai mereka pun sibuk berteriak juga beretorika dengan paradigma dan landasan pragmatis yang sama dengan yang mereka teriaki.

Mengapa, selain persoalan-persoalan praktis-pragmatis bahkan oportunistis yang belakangan menjadi ritme dasar diskursus hukum kita, tidak ada tinjauan idealistik, semacam renungan kecil: untuk apa sebenarnya hukum itu ada jika dalam praksisnya terjadi hal-hal menggiriskan di atas? Dari mana sesungguhnya asal muasal hukum yang kita tegakkan saat ini? Apa filosofi, ideologi atau realitas sosio-kultural yang melatari dasar hukum kita saat ini? Bagaimana seharusnya hukum harus dikembangkan di masa depan? Apa peran, posisi dan fungsinya yang lebih tepat dengan realitas mutakhir kita?

Di mana semua pembicaraan itu? Adakah diskursus itu? Jika ada, kenapa ia tidak bisa menjadi alternative-stream di samping mainstream yang ada? Apakah mereka, semua yang terlibat dalam masalah ini, tidak lagi membutuhkan semua hal diskursif atau praksis dari hukum yang idealistik itu karena kuasa, uang, selebrasi dan popularitas-sebagai mantra hedonisme modern-jauh lebih menarik ketimbang kecerewetan intelektual dan spiritual yang ideal itu?

Saya tak berhak membuat klaim atau judgement karena saya bukanlah aparatus legal dalam pusaran yuridis itu. Namun, saya adalah juga pihak yang terlibat, baik secara historis, sosial, moral dan kultural. Setidaknya saya adalah korban potensial yang bisa saja, kapan saja, menjadi obyek yuridis entah karena menjadi "pembunuh tidak sengaja" atau dikriminalisasi oleh satu pihak. 

Secara moral-kultural saya berhak dan harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu dan berhak mendapatkan jawabannya, yang serius dan bertanggung jawab. Karena mereka semua ternyata juga menggunakan fasilitas, prasarana bahkan anggaran negara (yang sebagian adalah iuran dari pajak keringat, air mata dan darah saya sebagai bagian dari rakyat semesta).

Karena itu, jika saya sebagai warga harus loyal dan patuh pada hukum, bahkan menjunjung posisinya yang suprematif, saya dengan keras mempertanyakan hukum apa ini, yang berlaku atas badan, pikiran dan jiwa saya ini, begitu mudah dipermainkan, dimanipulasi atau dijadikan kuda beban dan tunggangan segelintir orang? Mengapa hukum begitu mudah dijadikan arsenal untuk menghabisi orang lain, menghina institusi, bahkan negara dan kepala negaranya sendiri? Mengapa hukum yang semestinya menjadi penyelesai akhir semua masalah negara dan kemasyarakatan, tetapi justru kini menjadi masalah besar bagi dua entitas besar di mana kita di dalamnya itu?

Lalu apa yang bisa kita perbuat pada hukum seperti itu? Apabila hukum itu sendiri menjadi masalah dan hukum itu sendiri tidak memiliki mekanisme atau epistemologi untuk mengoreksi dirinya sendiri? Tidak lain, hukum harus dihukum. Sebagai bangsa kita harus mencari, apa pun yang dalam diri kita, kekuatan yang mampu memberikan sanksi atau hukuman bagi hukum yang tetapkan dan praktikkan sekarang ini.

Sumber hukum lain
Mungkin sebelum sejauh itu, baik bagi kita bersama untuk merenungkan sebuah kemungkinan-tepatnya tuntutan-bagaimana hukum apa pun yang harus atau "tak terhindarkan" ditegakkan di negeri ini, semestinya mengacu pada kenyataan faktual dan natural dari sejarah, adat, kebudayaan bahkan agama yang ada di tanah lahir ini. Artinya, secara imperatif seluruh produk hukum kita, baik konstitusi atau turunannya dalam KUHAP dan lain-lain, tidak bisa lagi mengacu pada basis historis, filosofis atau ideologis yang bukan atau tidak ada dalam diri kita sendiri. Entah itu yang bernama Anglo-Saxon atau Eropa Kontinental, apalagi kolonial.

Betapapun, kita dengan mudah mafhum, latar-latar di atas berkaitan dengan kepentingan dan perjalanan peradaban di mana sebuah produk hukum dilahirkan. Inggris, Jerman, Perancis, Belanda atau negeri kontinental mana pun memiliki latar yang tidak sama jika tidak bisa dikatakan berbeda bahkan diametral, dengan apa yang kita punya.

Sebagai warga sebuah bangsa yang terdiri dari ratusan (suku) bangsa dengan riwayat kebudayaannya masing-masing yang begitu (dan terlalu) kaya itu, selaiknya kita memberikan respek pada khazanah atau sejarah hukum (aturan) yang ada di setiap (suku) bangsa itu. Bukan saja karena sejarah ribuan tahun dari (suku-suku) bangsa itu telah membuktikan keampuhan dan kekenyalan produk hukumnya sehingga mampu bertahan melewati abad, milenia, dan zaman penuh pancaroba, melainkan juga karena sebenarnya tradisi atau kebudayaan hukum itu "diri kita", jati diri kita juga sesungguhnya.

Namun, apakah ribuan khazanah luar biasa itu pernah menjadi pertimbangan dalam penyusunan regulasi atau tata hukum nasional kita? Tanyalah pada diri sendiri, komunitas hukum juga, adakah ahli-ahli hukum adat (yang bahkan pemerintahan kolonial Hindia Belanda memiliki cukup banyak) yang kini cukup berwibawa, memiliki otoritas tinggi, pendapatnya didengar dan memengaruhi dan diminta pertimbangannya dalam setiap penyusunan UU atau regulasi apa pun? Adakah jurusan Hukum Adat dalam fakultas-fakultas hukum di seluruh negeri ini?

Jika tidak negatif, jawabannya pastilah sangat minor. Sekian lama hal ini terjadi, tetapi tidak pernah dianggap atau dirasakan sebagai lack atau kesenjangan, semacam kekosongan atau kealpaan, dari diri kita bersama, terutama para penegak hukum. Belum lagi kita persoalkan hukum agama, Islam misalnya (syariah), yang sudah berurat berakar dalam tata kehidupan nasional kita. Tentu saja, tidak perlu kita menerapkan syariah sebagai hukum formal-legal, sebagaimana di Aceh atau di beberapa negara lain. Namun, apakah tidak ada hal positif dari syariah yang dapat menjadi masukan atau bagian dari tata hukum atau sistem regulasi kita? 

Ini menjadi jawaban bagi counter-critic bahwa penolakan hukum Eropa bukanlah satu bentuk xenofobia. Namun, bisa juga diserap kebaikannya yang cocok dengan realitas faktual kita, tanpa harus jadi acuan utama atau dijiplak apalagi melulu menjadi replikanya.

Sudah saatnya, ketika kita masih memegang slogan kontinental itu, "supremasi hukum" itu, kita tetap harus berani memperjuangkan kedaulatan negeri dan bangsa atas persoalan ini. Artinya, Trisakti Soekarno tidak akan bisa berjalan jika tidak ditambah dengan kedaulatan hukum berbasis realitas historis dan kultural kita sendiri. Apa pun yang akan kita perjuangkan untuk tegaknya kemandirian ekonomi, politik, atau kebudayaan, akan selalu runtuh karena dihancurkan oleh hukum yang ternyata tidak mampu menjaga kewenangan dan kehormatannya sendiri, seperti terjadi belakangan ini.

Tak ada pihak yang tidak berkepentingan dalam hal ini. Karena semua warga, jika tidak subyek adalah obyek hukum. Di antara semua itu, tidak lain para pelaksana, penjaga atau penegak hukum adalah aktor utama, ketika pemerintah (kekuasaan yang diamanahkan rakyat) khususnya kepala negara, menjadi pemeran utama dalam drama yuridis yang berdurasi tidak pendek ini. Namun, siapa yang berani memulai? Jawablah.

RADHAR PANCA DAHANA
Budayawan

0 komentar: