Ketakutan saya selagi menyetir sendiri kian hari
kian mencekam. Belakangan saya makin cemas dengan kemungkinan menjadi
pembunuh. Biarpun tidak dikehendaki dan sama sekali tidak bersalah,
konsekuensi yuridis, ekonomis hingga sosial dan spiritual harus saya
tanggung bahkan seumur hidup.
Hal
itu terjadi hanya karena persoalan-yang semula insidental bisa menjadi
fenomenal-saat saya harus terkejut, deg- degan, marah atau mengumpat
dalam hati, ketika di hidung kendaraan saya muncul tiba-tiba (entah dari
gang, tikungan, atau menyalib dari belakang) sebuah motor yang
dikendarai seorang ibu (kadang tanpa helm) hampir tanpa perhitungan,
kewaspadaan, atau keahlian mengendalikan laju atau setang sepeda
motornya.
Pemandangan seperti itu cukup sering kita melihatnya.
Sebuah motor entah dikendarai ayah atau ibunya, membonceng bisa lebih
dua anak (plus bayi digendong), di mana hanya orangtua yang berlindung
kepala. Saya tidak paham bagaimana orangtua itu memperhitungkan risiko
kecelakaan dengan membiarkan anaknya tanpa pelindung atau semacam
pikiran "anak boleh mati atau celaka yang penting orangtua tidak". Akal
sehat sudah lenyap atau diremehkan oleh masyarakat kita?
Yang
lebih mengherankan dan membuat saya marah sebagai warga sipil dari
negara dengan supremasi hukum, apa yang terjadi dalam hati dan kepala
polisi yang juga menyaksikan hal itu setiap hari, bahkan melintas rutin
di markasnya yang ditempeli spanduk mentereng "Siap Melayani Rakyat".
Itu slogan, kebenaran hukum, moral, atau lip service atau benar-benar dusta belaka?
Apa
yang bisa dibanggakan polisi, sebagai penegak hukum dan pemelihara
keamanan, lalu memberikan hak pada mereka untuk menuntut otoritas lebih
tinggi atau anggaran lebih besar, ketika persoalan-persoalan hukum
seperti di atas, dari tingkat yang sepele hingga persoalan kebijakan
nasional tidak terselesaikan dengan baik, bahkan diremehkan atau
dibiarkan? Di mana hukum itu sendiri, ketika penegaknya sendiri-yang
diwajibkan secara moral, kultural dan konstitusional-tak memedulikan
bahkan sebagian melecehkan atau memanipulasi?
Ada apa dengan
hukum, saat kasus Sengkon dan Karta berulang tanpa henti? Ketika rakyat
papa (seperti nenek Asyani terdakwa pencuri kayu, Minah terdakwa pencuri
kakao, dan banyak lainnya) dihukum karena kemiskinan mereka, sementara
pembesar berkelit dari korupsi miliaran rupiah karena kuasa dan kekayaan
mereka? Hukum apa yang berkoar memberikan hak (remisi) kepada
narapidana yang telah menjagal hak (hidup, sosial, kultural) ribuan
orang bahkan anak-anak masa depan kita?
Mengapa hukum yang kita
junjung membiarkan hakim Sarpin melanggar aturan yang harusnya ia jaga,
menolak panggilan lembaga yang harus dihormatinya? Kenapa hukum
membiarkan polisi sebagai penegaknya, mempergunakan hukum itu sendiri
untuk show of force, congkak dan arogan mendemonstrasikan kuasa korps dan institusinya terhadap korps dan institusi lain?
Di
mana negara yang berbasis hukum ini memainkan peran dan hukumnya
sendiri? Mengapa ada institusi bagian bisa menentang pusat pimpinan,
menjadikannya tak tersentuh dan membuatnya menjadi "negara dalam
negara"? Hukum seperti apa yang berlaku di negeri ini, ketika para
penyusun dan pembuatnya sendiri seenaknya memanipulasi pasal-pasal,
memproduksi regulasi yang menguntungkan kantong sendiri atau kepentingan
lain, bahkan pihak asing yang memiliki niat jahat hampir tanpa
selubung? Sistem hukum apa ini ketika ia dengan mudah dipermainkan oleh
eksekutif dan legislatif, lembaga-lembaga tinggi yang paling bertanggung
jawab atas hal itu berkelahi sendiri, meninggalkan rakyat dalam
ketidakpastian aturan atau anggaran?
Apa yang terjadi pada hukum kita?
Arus alternatif
Saya
tidak mampu, tepatnya harus putus asa, melempar pertanyaan-pertanyaan
di atas kepada mereka, aparatus hukum independen, baik yang tergolong
pemikir, peneliti-akademisi, praktisi, atau aktivis pembela
hukum-apalagi, tentu saja, para penegak atau produsen hukum
konstitusional yang realitasnya tergambar di atas-ketika menjumpai
mereka pun sibuk berteriak juga beretorika dengan paradigma dan landasan
pragmatis yang sama dengan yang mereka teriaki.
Mengapa, selain
persoalan-persoalan praktis-pragmatis bahkan oportunistis yang
belakangan menjadi ritme dasar diskursus hukum kita, tidak ada tinjauan
idealistik, semacam renungan kecil: untuk apa sebenarnya hukum itu ada
jika dalam praksisnya terjadi hal-hal menggiriskan di atas? Dari mana
sesungguhnya asal muasal hukum yang kita tegakkan saat ini? Apa
filosofi, ideologi atau realitas sosio-kultural yang melatari dasar
hukum kita saat ini? Bagaimana seharusnya hukum harus dikembangkan di
masa depan? Apa peran, posisi dan fungsinya yang lebih tepat dengan
realitas mutakhir kita?
Di mana semua pembicaraan itu? Adakah diskursus itu? Jika ada, kenapa ia tidak bisa menjadi alternative-stream di samping mainstream
yang ada? Apakah mereka, semua yang terlibat dalam masalah ini, tidak
lagi membutuhkan semua hal diskursif atau praksis dari hukum yang
idealistik itu karena kuasa, uang, selebrasi dan popularitas-sebagai
mantra hedonisme modern-jauh lebih menarik ketimbang kecerewetan
intelektual dan spiritual yang ideal itu?
Saya tak berhak membuat klaim atau judgement
karena saya bukanlah aparatus legal dalam pusaran yuridis itu. Namun,
saya adalah juga pihak yang terlibat, baik secara historis, sosial,
moral dan kultural. Setidaknya saya adalah korban potensial yang bisa
saja, kapan saja, menjadi obyek yuridis entah karena menjadi "pembunuh
tidak sengaja" atau dikriminalisasi oleh satu pihak.
Secara
moral-kultural saya berhak dan harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan
itu dan berhak mendapatkan jawabannya, yang serius dan bertanggung
jawab. Karena mereka semua ternyata juga menggunakan fasilitas,
prasarana bahkan anggaran negara (yang sebagian adalah iuran dari pajak
keringat, air mata dan darah saya sebagai bagian dari rakyat semesta).
Karena
itu, jika saya sebagai warga harus loyal dan patuh pada hukum, bahkan
menjunjung posisinya yang suprematif, saya dengan keras mempertanyakan
hukum apa ini, yang berlaku atas badan, pikiran dan jiwa saya ini,
begitu mudah dipermainkan, dimanipulasi atau dijadikan kuda beban dan
tunggangan segelintir orang? Mengapa hukum begitu mudah dijadikan
arsenal untuk menghabisi orang lain, menghina institusi, bahkan negara
dan kepala negaranya sendiri? Mengapa hukum yang semestinya menjadi
penyelesai akhir semua masalah negara dan kemasyarakatan, tetapi justru
kini menjadi masalah besar bagi dua entitas besar di mana kita di
dalamnya itu?
Lalu apa yang bisa kita perbuat pada hukum seperti
itu? Apabila hukum itu sendiri menjadi masalah dan hukum itu sendiri
tidak memiliki mekanisme atau epistemologi untuk mengoreksi dirinya
sendiri? Tidak lain, hukum harus dihukum. Sebagai bangsa kita harus
mencari, apa pun yang dalam diri kita, kekuatan yang mampu memberikan
sanksi atau hukuman bagi hukum yang tetapkan dan praktikkan sekarang
ini.
Sumber hukum lain
Mungkin
sebelum sejauh itu, baik bagi kita bersama untuk merenungkan sebuah
kemungkinan-tepatnya tuntutan-bagaimana hukum apa pun yang harus atau
"tak terhindarkan" ditegakkan di negeri ini, semestinya mengacu pada
kenyataan faktual dan natural dari sejarah, adat, kebudayaan bahkan
agama yang ada di tanah lahir ini. Artinya, secara imperatif seluruh
produk hukum kita, baik konstitusi atau turunannya dalam KUHAP dan
lain-lain, tidak bisa lagi mengacu pada basis historis, filosofis atau
ideologis yang bukan atau tidak ada dalam diri kita sendiri. Entah itu
yang bernama Anglo-Saxon atau Eropa Kontinental, apalagi kolonial.
Betapapun,
kita dengan mudah mafhum, latar-latar di atas berkaitan dengan
kepentingan dan perjalanan peradaban di mana sebuah produk hukum
dilahirkan. Inggris, Jerman, Perancis, Belanda atau negeri kontinental
mana pun memiliki latar yang tidak sama jika tidak bisa dikatakan
berbeda bahkan diametral, dengan apa yang kita punya.
Sebagai
warga sebuah bangsa yang terdiri dari ratusan (suku) bangsa dengan
riwayat kebudayaannya masing-masing yang begitu (dan terlalu) kaya itu,
selaiknya kita memberikan respek pada khazanah atau sejarah hukum
(aturan) yang ada di setiap (suku) bangsa itu. Bukan saja karena sejarah
ribuan tahun dari (suku-suku) bangsa itu telah membuktikan keampuhan
dan kekenyalan produk hukumnya sehingga mampu bertahan melewati abad,
milenia, dan zaman penuh pancaroba, melainkan juga karena sebenarnya
tradisi atau kebudayaan hukum itu "diri kita", jati diri kita juga
sesungguhnya.
Namun, apakah ribuan khazanah luar biasa itu pernah
menjadi pertimbangan dalam penyusunan regulasi atau tata hukum nasional
kita? Tanyalah pada diri sendiri, komunitas hukum juga, adakah ahli-ahli
hukum adat (yang bahkan pemerintahan kolonial Hindia Belanda memiliki
cukup banyak) yang kini cukup berwibawa, memiliki otoritas tinggi,
pendapatnya didengar dan memengaruhi dan diminta pertimbangannya dalam
setiap penyusunan UU atau regulasi apa pun? Adakah jurusan Hukum Adat
dalam fakultas-fakultas hukum di seluruh negeri ini?
Jika tidak
negatif, jawabannya pastilah sangat minor. Sekian lama hal ini terjadi,
tetapi tidak pernah dianggap atau dirasakan sebagai lack
atau kesenjangan, semacam kekosongan atau kealpaan, dari diri kita
bersama, terutama para penegak hukum. Belum lagi kita persoalkan hukum
agama, Islam misalnya (syariah), yang sudah berurat berakar dalam tata
kehidupan nasional kita. Tentu saja, tidak perlu kita menerapkan syariah
sebagai hukum formal-legal, sebagaimana di Aceh atau di beberapa negara
lain. Namun, apakah tidak ada hal positif dari syariah yang dapat
menjadi masukan atau bagian dari tata hukum atau sistem regulasi kita?
Ini menjadi jawaban bagi counter-critic
bahwa penolakan hukum Eropa bukanlah satu bentuk xenofobia. Namun, bisa
juga diserap kebaikannya yang cocok dengan realitas faktual kita, tanpa
harus jadi acuan utama atau dijiplak apalagi melulu menjadi replikanya.
Sudah
saatnya, ketika kita masih memegang slogan kontinental itu, "supremasi
hukum" itu, kita tetap harus berani memperjuangkan kedaulatan negeri dan
bangsa atas persoalan ini. Artinya, Trisakti Soekarno tidak akan bisa
berjalan jika tidak ditambah dengan kedaulatan hukum berbasis realitas
historis dan kultural kita sendiri. Apa pun yang akan kita perjuangkan
untuk tegaknya kemandirian ekonomi, politik, atau kebudayaan, akan
selalu runtuh karena dihancurkan oleh hukum yang ternyata tidak mampu
menjaga kewenangan dan kehormatannya sendiri, seperti terjadi belakangan
ini.
Tak ada pihak yang tidak berkepentingan dalam hal ini.
Karena semua warga, jika tidak subyek adalah obyek hukum. Di antara
semua itu, tidak lain para pelaksana, penjaga atau penegak hukum adalah
aktor utama, ketika pemerintah (kekuasaan yang diamanahkan rakyat)
khususnya kepala negara, menjadi pemeran utama dalam drama yuridis yang
berdurasi tidak pendek ini. Namun, siapa yang berani memulai? Jawablah.
RADHAR PANCA DAHANA
Budayawan
0 komentar: