Salah
satu kerisauan pengelola pendidikan tinggi-khususnya (sekarang)
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi-adalah buruknya
kinerja penelitian yang ditunjukkan oleh rendahnya jumlah publikasi
dan kutipan ilmiah di jurnal internasional.
Kenyataan
ini biasanya dibandingkan dengan Malaysia yang jumlah dosen/profesor
dan perguruan tingginya lebih sedikit, tetapi jumlah karya ilmiahnya
jauh melampaui kita. Berbagai upaya telah dilakukan
kementerian terkait untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas karya
ilmiah, di antaranya mengharuskan tulisan di jurnal nasional dan
internasional sebagai persyaratan kenaikan jenjang akademik dan
pangkat bagi dosen dan guru. Mengharuskan mahasiswa S-1, S-2, dan S-3
memublikasikan karya tulis dalam jurnal ilmiah sebagai syarat
kelulusan. Bahkan, bermacam program dan dana penelitian ditawarkan
sebagai perangsang. Sayangnya, beragam upaya itu hingga sejauh ini
belum menampakkan hasil berarti karena orientasi kebijakan lebih
mengutamakan produk daripada proses akademik. Walhasil, aktivitas
penelitian kebanyakan bersifat proforma alias basa-basi, bahkan
tipu-tipu.
Sesuatu
yang disebut karya ilmiah seyogianya lahir dari proses ilmiah, yaitu
serangkaian kegiatan telaah dan percobaan mengenali, memahami, dan
menemukan fenomena alami dan manusiawi sebagaimana adanya. Istilah
ilmiah merujuk kepada kebenaran logis dan atau empiris:
bersesuaian dengan kaidah akal budi dan didasarkan pada serta didukung
fakta dan pengalaman. Bagaimana mungkin produk ilmiah akan meningkat
jika iklim akademik yang menjadi basis kegairahan berproses ilmiah di
kebanyakan kampus diabaikan dan, karenanya, makin pudar.
Kampus
kita dewasa ini lebih berbudaya politik dan komersial ketimbang
berbudaya akademik. Pemilihan pemimpin perguruan tinggi negeri,
sebagai contoh, sudah biasa diikuti pembentukan tim sukses, disusul
kasak-kusuk (lobi?) di kementerian karena menteri memiliki 35 persen hak
suara dari total pemilih. Kemudian jajaran di bawahnya kelak disusun
berdasarkan kepada intensitas keterlibatan dalam tim sukses,
bukan didasarkan kepada kapabilitas. Maka, di kampus tak jarang
terbentuk klik-klikan yang lebih suka memproduksi intrik
daripada karya ilmiah.
Selain
itu, kampus yang oleh undang-undang diberi otonomi bidang akademik
dan non-akademik lebih tertarik mengembangkan kemandirian
non-akademik, terutama dalam mencari sumber pemasukan, seperti
bermacam jalur penerimaan mahasiswa, model pembayaran uang kuliah,
membuka program studi dan atau kegiatan yang laris manis. Pengelola
kampus akhirnya lebih fokus memikirkan strategi mencari dana daripada
strategi menghidupkan budaya ilmiah.
Kenyataan
ini diperparah sistem birokrasi di kementerian pengelola perguruan
tinggi (PT) yang rumit dan memerlukan duit dalam pengurusan berbagai
hal, terlebih bagi PT swasta. Mentalitas birokrat dan korporat
lalu menjalari berbagai aktivitas kampus, termasuk urusan akademik
dan pendidikan. Maka, jangankan kasmaran dengan kegiatan ilmiah, warga
kampus malah sering kali berperilaku irasional dan tak produktif baik
dalam interaksi pembelajaran maupun dalam pergaulan sehari-hari.
Dosen batu akik
Para
pemimpin perguruan tinggi, dosen, bahkan guru besar kebanyakan
masih berbudaya feodal dan jarang open minded. Padahal,
keterbukaan dan keingintahuan adalah ciri utama budaya akademik.
Tak jarang kita menyaksikan civitasacademica mengisi berjam-jam waktu
luangnya dengan beragam kegiatan yang tak terkait pengembangan diri
sebagai intelektual, seperti main gaple, game, dan (belakangan)
menggosok-gosok batu akik.
Rendahnya
publikasi ilmiah hanyalah simtom lemahnya budaya akademik-pemikiran,
spirit, dan tradisi-untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di perguruan
tinggi. Keunggulan akademik bergantung kepada budaya akademik. Oleh
sebab itu, menurut Daoed Joesoef (Suara Pembaruan, 2/3/2012)
masalah pokok yang harus segera ditangani untuk mengatasinya adalah
membina kampus menjadi komunitas ilmiah.
Budaya
akademik dapat diwujudkan melalui pola perilaku, peraturan, dan
fasilitas material pada perguruan tinggi (Xi Shen, 2012). Subyek
budaya akademik adalah orang-orang yang mendasarkan perilakunya kepada
nilai-nilai ilmu pengetahuan yang terbentuk dari kecintaan dan
kebiasaan pada (pencarian) kebenaran. Mereka penggerak utama
pembangunan budaya akademik melalui berbagai kegiatan yang mereka
lakukan. Skala dan tingkat penelitian, kuantitas, dan kualitas
prestasi akademik, sangat bergantung kepada kemampuan mereka.
Tanpa orang-orang ini kiranya tidak mungkin budaya akademik
dapat ditumbuhkan. Maka, memperbesar jumlah dan peran kelompok ini
merupakan langkah penting pertama dalam upaya membangun budaya
akademik.
Pembentukan
budaya akademik juga ditentukan oleh dasar dan orientasi kebijakan
(terhadap) PT. Ide-ide yang dijalankan, peraturan, dan filosofi
administrasi, manajemen, serta hubungan interpersonal berpengaruh
besar kepada pembentukan pandangan, spirit, etika, dan atmosfer
lingkungan akademik. Karena itu, setiap keputusan yang diambil harus
senantiasa melekat kepada fungsi utama pendidikan tinggi yang,
menurut Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
(Pasal 4), adalah mengembangkan kemampuan akal budi dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi melalui tridarma.
Tridarma
PT-pendidikan dan pengajaran; penelitian; dan pengabdian
masyarakat-adalah bentuk pengamalan fungsi dasar perguruan
tinggi. Pendidikan dan pengajaran di PT, selain
mentransmisikan pengetahuan dan informasi ilmiah, juga membentuk
pandangan dan sikap ilmiah. Fungsi ini sangat penting mengingat alumni
PT lebih berpeluang untuk menjadi pemimpin. Para pemimpin dan lulusan
PT diharapkan mendarmabaktikan dirinya kepada masyarakat dengan
melakukan pencerahan dan memecahkan berbagai masalah berdasarkan
pengalaman dan prinsip ilmiah yang diperolehnya sesuai dengan moto,
“Ilmu sebagai alat pengabdian”.
Pengabdian
masyarakat utamanya bukanlah kerja bakti sekelompok mahasiswa
dan atau dosen turun mengadvokasi dan melakukan hal remeh-temeh di
tengah masyarakat. Darma pengabdian sejatinya adalah bagaimana PT,
langsung atau tak langsung, menjalankan fungsi saintifik di
antaranya mengeksplanasi, memprediksi, serta mendorong
masyarakat agar terhindar dari petaka/kerugian atau memanfaatkan
peluang dari perkembangan perilaku alami dan manusiawi. PT dengan
pusat pengkajian dan penelitiannya seharusnya menjadi mitra tak
terpisahkan bagi pemerintah dan industri.
Kegiatan dasar
Penelitian
ilmiah adalah kegiatan dasar PT, yang selain bertujuan menguji,
mengembangkan, dan menghasilkan teori, juga sebagai pusat
habituasi akademik melalui keterlibatan dalam ilmu sebagai suatu
proses. Secara umum karena berbagai alasan, gairah penelitian PT
kita sangat lemah sehingga aura akademik redup dan karya ilmiah rendah.
Meskipun demikian, pada 4.265 PT kita terdapat bagian yang tradisi
penelitian dan budaya ilmiahnya bagus sehingga dapat dijadikan basis
pengembangan.
Penggabungan
pengelolaan PT dengan kementerian riset dan teknologi seyogianya
bukan sekadar menempelkan bagian terpisah, tetapi membentuk
entitas baru yang melahirkan strategi besar riset nasional yang
berpusat kepada PT sehingga selain berbagai masalah teratasi-utamanya
material dan finansial -juga penelitian PT mengalami pembaruan.
Selanjutnya pembentukan budaya akademik menuntut kondisi material dan
finansial tertentu. Bagi penelitian, kondisi kedua hal itu adalah
seperti akar pada pohon dan air pada ikan. Bagian penelitian, di
antaranya, memerlukan ruang khusus (sering dikeluhkan para guru besar
dan peneliti senior tak memiliki ruang), buku-buku, data informasi,
instrumen eksperimental, sistem jaringan, dan alokasi dana yang
memadai. Dengan dana penelitian memadai, instrumen dan peralatan
canggih, sumber daya andal, data yang dibutuhkan dapat
diejawantahkan. Tanpa dukungan material dan finansial tertentu,
tak ada budaya akademik yang dapat dimungkinkan dan tak ada prestasi
akademik yang patut diharapkan.
Akhirulkalam,
untuk memulai “gerakan” membangun budaya akademik, diperlukan
prakondisi utama: komitmen pemerintah dan pemimpin PT.
Kemudian di kalangan civitas academica lainnya komitmen itu
dapat dimunculkan melalui pengondisian motif dan insentif.
Pemerintah telah memberikan insentif, seperti tunjangan profesi,
tunjangan kehormatan, dan lain-lain. Namun, pengelolaan motif yang
berpangkal kepada trust kurang dilakukan dan masih menjadi tantangan
di tengah situasi pemerintah dan masyarakat kita yang kian
materialistik dan terdemoralisasi.
Mohammad Abduhzen
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI
0 komentar: