DUA puluh
lima tahun lalu, pada 20 November 1989, para pemimpin dunia membuat
komitmen besar. Dengan mengadopsi Konvensi Hak Anak, mereka berjanji
untuk melakukan apa saja dengan segala kemampuan guna memajukan dan
melindungi hak-hak semua anak di seluruh dunia.
Konvensi Hak Anak merupakan perjanjian internasional yang paling cepat
dan paling luas diratifikasi di sepanjang masa. Konvensi Hak Anak
memberikan pandangan baru yang mendasar tentang anak. Anak tidak lagi
dipandang sebagai obyek yang harus mendapatkan pengasuhan dan bantuan,
tetapi mereka sekarang merupakan subyek dalam menentukan hak mereka
sendiri.
Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang menandatangani
Konvensi Hak Anak. Sejak saat itu, Indonesia telah memulai reformasi
hukum secara komprehensif untuk menyesuaikan kerangka legislatif dengan
Konvensi Hak Anak. Undang-undang terakhir yang disahkan adalah UU Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Komitmen Indonesia untuk melaksanakan Konvensi Hak Anak telah
memberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk tumbuh sehat dan
mengembangkan potensi mereka. Tingkat kematian anak balita telah menurun
lebih dari setengah, dari 84 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada
1990 menjadi 29 kematian pada 2013. Hal ini telah menyelamatkan lebih
dari
5 juta anak Indonesia yang bisa meninggal jika angka kematian anak balita tetap berada di tingkat pada 1990.
5 juta anak Indonesia yang bisa meninggal jika angka kematian anak balita tetap berada di tingkat pada 1990.
Akan tetapi, banyak tantangan yang menghalangi upaya-upaya untuk
memastikan bahwa setiap anak Indonesia menikmati semua hak yang
dinyatakan dalam Konvensi Hak Anak. Perkembangan ekonomi Indonesia yang
pesat menjadi negara berpenghasilan menengah telah mengakibatkan banyak
anak mengalami ketertinggalan, terutama dalam masyarakat pedesaan dan di
daerah-daerah kumuh perkotaan. Selain itu, kesenjangan antara yang kaya
dan miskin juga semakin melebar.
Risiko kesehatan anak
Indeks Gini yang mengukur distribusi pendapatan dan pengeluaran
konsumsi di antara rumah tangga meningkat dari 29,2 tahun 1990 menjadi
38,1 tahun 2013, dengan 0 didefinisikan sebagai kesetaraan sempurna dan
100 sebagai ketimpangan absolut.
Dengan angka sebesar 37 persen, prevalensi nasional stunting
(pertumbuhan terhambat) cukup tinggi, dan di beberapa provinsi, seperti
Nusa Tenggara Timur, prevalensi tersebut mencapai lebih dari 50 persen.
Hal ini sangat memprihatinkan mengingat bahwa kekurangan gizi
berkontribusi terhadap hampir setengah dari semua kasus kematian anak.
Hampir setengah kematian anak terjadi pada empat minggu pertama
kehidupan, sementara penurunan kematian bayi baru lahir hampir tidak
mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Untuk mengatasi
persoalan ini, diperlukan pelayanan berkualitas selama 24 jam dengan
akses yang mudah. Namun, sejumlah 58 persen kabupaten di kawasan timur
Indonesia masih belum memiliki kapasitas untuk menangani komplikasi
obstetrik dan neonatal.
Penyakit seperti diare yang dapat dengan mudah dicegah dan diobati
tetap merupakan pembunuh anak yang utama di Indonesia, yang
mengakibatkan kematian sebesar 30.000 jiwa setiap tahun. Sanitasi yang
buruk dengan sekitar 55 juta orang yang masih mempraktikkan buang air
besar di tempat terbuka serta praktik-praktik higienis yang buruk dan
kurangnya air bersih berkontribusi terhadap kematian anak yang terkait
dengan diare, penyakit, atau gizi buruk.
Sekitar 25 persen anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 18
tahun, salah satu negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi di
Asia Timur dan Pasifik. Hal ini menyebabkan mereka mengalami risiko
kesehatan dari kehamilan dini dan mengakibatkan mereka kehilangan masa
kanak-kanak mereka sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan dan masa depan yang baik. Pernikahan usia anak
juga mengakibatkan anak perempuan berisiko menderita kekerasan dan
pelecehan.
Dalam usianya yang telah mencapai 25 tahun, Konvensi Hak Anak
memberikan kesempatan yang luar biasa kepada Pemerintah Indonesia yang
baru untuk menyatakan dan menegaskan kembali komitmennya terhadap
hak-hak anak dan untuk memperbarui kepemimpinan globalnya dalam
mendorong kemajuan bagi anak-anak.
Untuk mengatasi tantangan ini dan juga tantangan lainnya, diperlukan cara berpikir dan cara bertindak yang baru.
Tantangan jangka panjang
Pada 2010, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) memulai sebuah jejaring ambisius ”Innovation Labs”
untuk menemukan solusi nyata, terukur, dan berkesinambungan bagi
tantangan pembangunan jangka panjang, yang melibatkan masyarakat
setempat dan membangun jejaring kerja sama di dalam negeri. ”Innovation
Labs” tersebut bertujuan memfasilitasi dan mendukung adaptasi setempat
serta penggunaan teknologi dan pendekatan baru untuk mengidentifikasi
dan menyelesaikan berbagai persoalan.
Secara global, hal ini telah menghasilkan sejumlah inovasi luar biasa
yang telah meningkatkan kehidupan di negara-negara di seluruh dunia.
Inovasi tersebut mulai dari pengisi baterai (battery charger)
alat bantu dengar isi ulang tenaga surya pertama di dunia, sekolah
mengambang untuk memberikan akses sepanjang tahun ke pendidikan bagi
anak-anak yang tinggal di daerah rawan banjir di Banglades, sampai
dengan manajemen berbasis masyarakat tentang gizi kurang akut.
Laporan utama Unicef, The State of the World’s Children 2015-Re-imagine the future: Innovation for every child, yang diluncurkan pada 20 November, memberikan gambaran menarik tentang inisiatif-inisiatif tersebut.
Banyak dari inovasi-inovasi ini sesungguhnya diciptakan oleh anak-anak
remaja. Memang kami di Unicef percaya bahwa pemuda harus menjadi
pendorong bagi pendekatan inovatif untuk mengatasi berbagai tantangan
pembangunan yang sudah berjalan lama di Indonesia. Inovasi-inovasi
tersebut, selain dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi,
juga dapat menjadi alat yang kuat untuk meningkatkan dan memperkuat
sektor publik, mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan, serta
mempromosikan keterlibatan masyarakat sipil dalam tata kelola
pemerintahan.
Unicef Indonesia mendukung perkembangan-perkembangan ini, termasuk melalui inisiatifnya, U Report Indonesia,
sebuah platform media sosial (menggunakan Twitter) yang mempromosikan
keterlibatan remaja dan pemuda dalam pembangunan sosial, melalui
pertanyaan jajak pendapat dan berbagi pengetahuan untuk melakukan aksi.
Platform ini memiliki potensi yang sangat besar untuk meningkatkan peran
serta pemuda dan merupakan alat penting untuk meningkatkan
keterlibatan. Dukungan pemerintah untuk inisiatif ini sangat penting.
Visi Konvensi Hak Anak hanya dapat dicapai jika setiap orang bekerja
sama untuk mewujudkan hak-hak anak. Pengakuan terhadap pentingnya
melakukan aksi dan pengembangan iklim inovasi akan memperkuat upaya kita
untuk memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal.
Gunilla Olsson
Kepala Perwakilan Unicef di Indonesia
0 komentar: