APA yang
beberapa kali saya kritik (juga otokritik) dari tim editor majalah Time
Asia, yang memasang foto close up bagus dari Joko Widodo, sebenarnya
semata soal tajuk di sampul majalah paling ternama dunia itu, ”A New
Hope”.
Pertama, tajuk itu memberi kesan kuat bangsa yang sejak kemerdekaan
modernnya sudah bisa dianggap lanjut usia ini ternyata hanya sukses
memproduksi harapan. Sebagaimana masyarakat rajin menempatkan tajuk itu
dalam plang nama toko, media massa, perumahan, hingga bengkel dan panti
pijat.
Apa yang dilakukan oleh bangsa ini, mungkin, selebihnya hanya
pertikaian, konflik, dan tipu daya atau sekurangnya, bangsa ini belum
mampu bekerja untuk menghasilkan bukti yang mengisi karung-karung
harapan itu. Bangsa kalahan, yang selalu menghibur diri, ”Ah... masih
ada harapan, kok”, melulu sebagai basis apa yang disebut optimisme.
Hal kedua, yang saya semula tidak setuju, memosisikan Jokowi sekadar
sebuah harapan belaka, bukan sebagai kata atau hasil kerja. Artinya,
kita memilih presiden baru itu melulu dengan pertimbangan yang
spekulatif, imajinatif, bahkan kadang ilusif dan absurd sebagaimana
posisi harapan berada. Tidak. Jokowi (seharusnya) adalah sebuah kerja,
atau sekurangnya lokomotif dari gerbong-gerbong yang bergerak (bekerja)
ke satu tujuan yang sama. Bahwa hasilnya sesuai dengan harapan atau
keinginan (idealisme atau ideologi) adalah soal berikutnya. Yang utama
adalah bangsa ini berkeringat. Harus berkeringat, tidak hanya biologis,
tetapi juga psikologis, pun spiritualistis.
Sebagai pihak yang merasa menjadi kuncen kebudayaan, karena kebudayaan
sudah tiga perempat mati akibat percobaan pembunuhannya yang berulang
dan sistematik, saya merasa tergerak untuk (juga menghela banyak pihak)
lebih berkeringat untuk memberi kehidupan penuh, me-recharge, reviving
apa pun namanya, kebudayaan kita. Namun, begitu nomenklatur kabinet
baru—yang juga diberi julukan ”kerja”—diumumkan, saya sudah letih bahkan
sebelum tetes pertama keringat saya keluar.
Untuk pertama kalinya, dalam sejarah negeri ini, mungkin juga sejarah
pemerintahan dunia, ada satu kata (lema, terma) yang sama digunakan oleh
dua instansi atau kementerian dalam satu tim kerja atau kabinet. Saya
kehilangan akal untuk memaknai perbedaan dari penempatan atau penggunaan
nama atau istilah itu. Termasuk berpikir keras, apakah yang satu itu
sifatnya makro yang kedua mikro, yang satu abstrak satunya konkret, yang
satu suprastruktur, lainnya infrastruktur. Ajaib. Saya sungguh ingin
bertanya atau belajar dari the thinkers yang ada di balik separasi institusional itu.
Hal yang lebih dalam lagi, apa sebenarnya yang kita, terutama pengelola
negara (pemerintah keseluruhannya karena parlemen ikut menyetujui
nomenklatur baru itu), pahami tentang ”kebudayaan”. Apa pemahaman itu
mengimperasikan pemisahan yang akan menciptakan ”gegar”–sebagaimana
diindikasikan oleh banyak pengamat—kebudayaan dari pendidikan tinggi?
Ajaib. Banyak pemikir kebudayaan di balik presiden baru yang ajaib,
dalam arti memiliki pemahaman yang bisa jadi luar biasa atau penuh
terobosan sehingga ia bisa melanggar tradisi yang dioperasikan umat
manusia sepanjang usia peradabannya, di seluruh dunia.
Kebudayaan idealistik
Sebagai konservatif—mengikuti peristilahan ilmu kontinental—karena
menjadi pengikut dari tradisi yang menjunjung keluhuran kebudayaan
dengan manusia senantiasa menjadi subyek utama yang ditingkatkan
kualitas kemanusiaannya, maqam spiritual atau keilahiannya, saya
berpegang pada pemahaman bahari saya tentang kebudayaan sebagai sebuah
kerja idea(listik) dari satu kelompok (manusia) memusyawarahkan
(melakukan diskursus dalam terminologi modern) sebuah mufakat
(konsensus) hal-hal fundamental yang dapat dijadikan acuan utama (main references) bagi pemuliaan sub-spesies mamalia bernama manusia alias dirinya
sendiri.
sendiri.
Acuan fundamental dari hasil permufakatan itu tentu saja tidak bersifat material atau tangible.
Ia adalah ide-ide abstrak yang kemudian diformasi menjadi nilai,
norma-norma, moralitas, etika, dan akhirnya estetika. Seluruh pegangan
mental-spiritual, intelektual, dan fisikal manusia yang ingin
mengembangkan (aktualisasi) dirinya. Hingga kalau bisa menjadi ”tuhan”
dalam ambisi ilmu pengetahuan-terukur (sains) dalam tradisi pemikiran
kontinental.
Dengan semua acuan itulah, kemudian manusia yang berbudaya menciptakan
produk-produknya di semua dimensi kehidupan, yang ketika ia lengkap,
bertahan (sustainable), teruji, dan mapan (established),
lalu dapat menjadi landasan sebuah peradaban. Jadi, sebaiknya tidak
menggolongkan politik, perdagangan, kerajinan tangan, museum, bahkan
korupsi atau perjudian sebagai ”kebudayaan”. Semua itu produk, yang
karena dibuat oleh manusia, bisa berbentuk atau bersifat destruktif bisa
pula konstruktif.
Dalam sebuah analogi: sebuah gadget
atau mesin pemanas atau roket peluncur rudal tidaklah dapat disebut
teknologi apalagi sains atau ilmu pengetahuan. Semua itu adalah produk
keras dari teknologi, dengan sains adalah acuan di belakangnya.
Kebudayaan dalam analogi ini adalah sains atau ilmu pengetahuan yang
berisi ide-ide abstrak di mana sebuah kerja praktis dan nyata
dimungkinkan. Kebudayaan seperti ketentuan-ketentuan agama (syariah,
fikih, dan sebagainya) yang berisi ideal-ideal dari praksis religius
atau spiritual kita. Lebih luas lagi, kebudayaan semacam kitab suci yang
tidak berhenti pada cetakan dan kata-kata, tetapi ayatullah yang harus
dibaca (iqra) dari seluruh realitas dan fenomena yang ada di semesta, di
keseharian kita.
Semua hanya analogi, tidak harus diberi ukuran tingkat sakralitas atau
dominasinya secara struktural dalam hidup kita. Komprehensi semacam ini
hanya untuk membuat kita jernih, apa dan mengapa, di bagian mana, untuk
apa, dan bagaimana caranya kebudayaan itu (sebaiknya) dilangsungkan.
Termasuk menjadi urusan penyelenggara negara, termasuk sebagai job description dari sebuah kementerian, misalnya.
Pendidikan yang membudayakan
Melalui kejernihan komprehensi itu, antara lain, kita dapat mafhum
apabila kerja kebudayaan sesungguhnya dioperasikan oleh seluruh matra
kerja manusia. Di berbagai bidang dan dimensinya. Ada dalam persoalan
bisnis, berlaku politik atau memainkan manuver politik, berhubungan
dengan orang lain, membangun industri, sistem pertahanan, diplomasi
antarbangsa, hingga mengelola kehutanan atau aparatur negara.
Di dalam proses berbudaya itu, yang terjadi sebenarnya adalah (juga)
transmisi dari acuan-acuan fundamental itu (nilai hingga estetika) dari
yang lebih tahu, lebih kuasa, lebih tua, dan lebih dipercaya (dan
seterusnya) kepada mereka yang ”tidak lebih” atau kurang.
Maka, semua orang yang dipercaya menjadi pejabat negara/publik dituakan
(sesepuh, orangtua), atau bahkan orang yang secara sukarela mengabdi
(berdedikasi) pada kemaslahatan umum secara otomatis mendapat imperasi
sebagai transmitor dari kebudayaan kita bersama. Artinya, apabila mereka
yang tergolong dalam kategori-kategori sosial di atas tidak mampu
menunjukkan kapasitas dan kualitas yang ber(adab dan) budaya, dia adalah
minor atau ”tidak lebih” alias harus dikurangi bahkan disingkirkan dari
ketinggian posisi sosialnya tadi.
Paparan di atas hanya sekadar menunjukkan, dalam kata kebudayaan
sesungguhnya sudah terintegrasi sebuah kerja (dan pemahaman) tentang
pendidikan, dalam pengertian lapang pengajaran, tempat transmisi nilai
(juga pengetahuan) berlangsung. Insan yang berbudaya adalah insan yang
mendidik, langsung maupun tidak langsung. Lewat modul, sistem kelas,
sorogan, atau hanya sekadar contoh perbuatan (cara hidup).
Dalam dunia formal, katakanlah dalam lingkup penyelenggara negara,
kebudayaan adalah sebuah kerja mendidik atau mengajar (dalam proses
dialogis ajar- mengajar) yang dilangsungkan melalui institusi-institusi
legalnya (sekolah, madrasah, perguruan, dan lain-lain).
Makna ringkasnya, apa yang disebut pendidikan adalah proses
membudayakan atau—dalam bahasa gaulnya—melakukan transmisi kultural
antara seorang pengajar dan siswa ajar. Untuk semua hal atau bidang
kehidupan yang nyata (existence)
dalam keseharian kita. Sebuah kurikulum boleh saja mengkhususkan siswa
ajar pada bidang tertentu, tetapi jangan sampai ia lalai atau alpa
dengan dimensi-dimensi hidup lainnya. Karena, apabila tidak, ia akan
menjadi manusia-budaya (man of culture) yang tidak lengkap.
Kerja yang tak usai
Dengan penalaran sederhana di atas, tentu dengan mudah kita mafhumi
bahwa pendidikan dalam arti formal atau pengajaran dalam makna yang
lapang adalah sebuah kerja yang tak akan pernah selesai, juga tidak
memiliki yurisdiksi material atau fisikawinya. ”Belajarlah hingga ke
negeri Tiongkok”, ”Belajar itu hingga ke liang lahat” adalah peribahasa
yang arif kita miliki, baik dari tradisi agama maupun istiadat kita.
Entah apakah ini cukup memadai untuk memberi pemahaman, betapa muskil
apabila kita membayangkan proses pembudayaan manusia ini berhenti atau
terpisah setelah seseorang memasuki usia dewasa alias tergolong
mahasiswa. Apalagi membiarkan dan menyerahkan anak-anak kita, para siswa
ajar itu, ke dalam sebuah skema pengetahuan dan keahlian yang hanya
menjadi hamba industri atau pragmatisme dan oportunisme materialistik,
dengan libido keserakahan menjadi engine
utamanya. Apakah sebuah pemerintahan mampu bertanggung jawab pada
sejarah, konstitusi, apalagi anak-cucu-buyut mereka nanti, akan
terjerembabnya anak-anak kebudayaan kita menjadi motor atau mesin-mesin
dari the greediness of politic and economy saat ini?
Hal yang paling tentu, dan gampang sekali kita sadari, siapa pun orang
yang berada dalam tanggung jawab ”pembudayaan” (pendidikan dan
pengajaran) di atas, tentulah seseorang yang sudah selesai dengan
dirinya sendiri. Bukan mereka yang masih membutuhkan pemolesan atau
lipstik pencitraan diri, atau tokoh yang masih harus melakukan
”pembangunan manusia” (oh... kenapa frase ini terpisah dari kebudayaan
yang melingkupinya) atau ”revolusi mental” pada dirinya sendiri.
Apalagi, duh... betapa akan mengiriskan nasib generasi kita nanti jika
penanggung jawab kerja besar di atas mengerti tugas mereka sekadar
”memperbanyak tari-tarian” atau hanya ”banyak mengunjungi museum dan
situs purba”.
Janganlah rendahkan kehebatan kultural bangsa ini, yang tidak dikarbit
seperti Amerika Serikat, tetapi ditandur dan disemai dengan tekun oleh
nenek moyang melewati milenium yang lebih banyak dari sebagian besar
bangsa di atas bumi ini. Saya mafhum, sesungguhnya presiden baru kita
pun mafhum. Namun... (ah, saya mewajibkan diri untuk berhenti di sini).
Radhar Panca Dahana
Budayawan
0 komentar: