Merdeka adalah Pernyataan Budaya

TUNTUTAN kemerdekaan mentransformasi diri sebagai tudingan terhadap Majelis Hakim di Pengadilan Den Haag (1928): ”…lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada menjadi embel-embel bangsa lain…”.

Joan Robinson (1962), ekonom Cambridge, mengatakan: ”…ilmu ekonomi sebenarnya berakar pada nasionalisme… mazhab klasik menjagoi perdagangan bebas karena menguntungkan bagi Inggris, bukan karena bermanfaat bagi seluruh dunia….”

Sementara Leah Greenfeld (2001), ekonom Harvard, mengatakan: ”…pertumbuhan berkesinambungan perekonomian modern ternyata tidak dengan sendirinya berlangsung berkelanjutan, pertumbuhan hanya akan berkelanjutan jika didorong dan ditopang oleh nasionalisme....”
 Widjojo Soejono (2012): kewaspadaan (vigilance) adalah hanya kemerdekaan.

Pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan kemerdekaan tak lain suatu pernyataan budaya, budaya untuk menegakkan onafhankelijkheid—melepaskan diri dari keter¬gan¬tungan, tak lagi berlindung dari belas kasihan penjajahan, keberanian melepaskan diri dari ketertundukan sebagai koelie di negeri sendiri, menegaskan diri sebagai tuan di negeri sendiri, suatu pernyataan budaya meninggalkan underdog mentality-nya kaum inlander.

Kesadaran-kedaulatan berdaulat, mandiri, berharkat martabat, berke¬hidupan cerdas (tak sekadar berotak cerdas), tangguh, digdaya, dan mandraguna merupakan tuntutan budaya yang harus dipenuhi sebagai bangsa merdeka. Barangkali kita gagal unlearning untuk memenuhi tuntutan budaya itu. Kita alpa tak segera menggariskan strategi budaya sebagai bangsa merdeka. Kita lengah-budaya menerima liberalisme dan kapitalisme.

Kita terjerumus mengejar-ngejar to have more, lupa mengejar to be more. Kita terjerumus menge¬jar ”nilai tambah ekonomi”. Pembangunan nasional harusnya mengejar pula ”nilai tambah sosial-kultural” agar mampu meraih makna to be more. Akibatnya hasil utama pembangunan adalah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), itu pun cuma 6 persen. Beginilah jika pembangunan lebih mengutamakan ”daulat-pasar”-nya liberalisme dan kapitalisme, bukan mengutamakan ”daulat-rakyat”.

Dengan pertumbuhan PDB sekadarnya itu, kita sebaliknya banyak kehilangan kedaulatan nasional: kita tak berdaulat dalam pangan, bibit, obat dasar, teknik industri, ekspor-impor, energi, teknologi, transportasi, kelautan, pertahanan (mesiu), tata guna bumi/air/kekayaan alam, bahkan kita tak berdaulat dalam legitasi nasional. Bambang Ismawan (15/10/2014) sempat mencemaskan 60 persen penguasaan industri penting di tangan asing. Bagaimana keterjajahan ini bisa terjadi? Apa yang sebenarnya kita ajarkan di kelas-kelas ratusan fakultas ekonomi di Indonesia? Berapa banyak lagi kedaulatan nasional akan terenggut oleh keterjajahan akademis ini?

Koreksi kelemahan budaya
Keterjajahan baru ini seharusnya menumbuhkan perlawanan, bukan kepasrahan, selama nasionalisme masih di kandung badan. Seharusnya kita tak perlu cemas sebagaimana dicemaskan Wakil Bupati Sleman (17/10/2014): ”…jangan heran orang-orang Singapura nanti berjualan buah di Sleman… jangan kaget orang-orang Malaysia berjualan di pasar tradisional kita….” Kita harus selekasnya koreksi kelengahan-budaya ini dengan mengakhiri servilisme diri.

Kita tidak anti asing, tetapi kita tidak boleh membiarkan dan harus menolak ekonomi asing mendominasi ekonomi nasional. Globalisasi bukan ajang penyerahan kedaulatan. Masyarakat Ekonomi ASEAN harus tetap merupakan forum kerja sama, bukan forum persaingan, apalagi pengangkangan dan ajang perampokan predatorik aset dan kepentingan nasional kita.

Seharusnyalah kita mampu mewujudkan ”pembangunan Indonesia”, bukan sekadar ”pembangunan di Indonesia”. Kita sendiri harus mampu menjadi aktor-aktor proaktif pembangunan nasional, bukan sekadar menjadi penonton. Para pemimpin kita tidak seharusnya tiba-tiba saja kagum kepada investor asing seolah-olah investor asing adalah Deus ex machina—dewa penolong, lalu lupa tanggung jawab untuk mandiri dan menyelamatkan penderitaan rakyat.

Kita mengibar-ngibarkan bendera ekstravaganza Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang asal-usulnya karya rekaan mancanegara, yang bukan karya anak negeri melalui Bappenas. Di situlah Indonesia ”menari atas kendang orang lain”. Di MP3EI ada puncak pimpinan (presiden, wakil presiden, dan ketua harian), ada pula badan koordinasi, ada komite (KP3EI yang didirikan 20/5/2011), dan ada keanggotaannya yang berisi hampir semua anggota kabinet, ada badan pelaksana, ada tim kerja wilayah, dan seterusnya.

Namun, hingga kini kita belum menyaksikan hasil menakjubkan MP3EI, kecuali perkembangan infrastruktur secara rutin-rutin saja selama 2011-2014. Barangkali ini justru merupakan berkah karena MP3EI menawarkan kegiatan dan sarana strategis pembangunan nasional kepada investor-investor asing, menjadikan kita malah bisa tergantung atau tergadai dalam sistem pengelolaan asing. Amat terasa, berkat ke-inlander-an kita, investor asing diposisikan sebagai Deus ex machina—dewa penolong bagi Indonesia.

Kita beruntung bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah bersumpah setia pada Doktrin Trisakti sehingga MP3EI gaya baru yang apa pun tak membuat Indonesia jadi ajang bancaan dan jarahan asing, kita bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Tidak boleh lagi ada menteri yang manufacturing hope, tetapi harus bisa manufacturing miracles.

Semangat kerja sama
Nasionalisme dan rasa berkedaulatan harus menjadi panduan bagi birokrasi Indonesia menghadapi globalisasi. Dalam pertemuan KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di pinggiran Beijing baru-baru ini, suasana batin APEC tercemari semangat kompetisi ekonomi, di mana seorang kepala negara sempat tergelincir lidah, melenceng dari mindset kerja sama, menggunakan istilah ”bersaing”, mengucapkan perkataan fair competition dalam APEC yang sebenarnya forum kerja sama.

Berdasar titik tolak di atas, globalisasi harus kita hadapi melalui pendekatan beraliansi dalam skema kerja sama pula, baik substansi maupun mekanismenya. Kita harus proaktif ikut berperan dalam PBB, WTO, APEC, Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan lain-lain, yang pada hakikatnya masing-masing merupakan ”forum kerja sama”—bukan ”forum bersaing”, semua paket kerja sama harus disetujui in good faith oleh semua pihak yang bekerja sama.

Prinsip kerja sama harus saling mengamankan konstitusi, kedaulatan dan kepentingan nasional setiap negara. Dalam kerja sama ekonomi internasional, proteksi dan subsidi tidak perlu diha¬ramkan. Keduanya harus tetap merupakan pilihan sebagai stimulus dan motivasi melaksanakan pembangunan nasional kita.

Persaingan global yang tidak ramah harus ditangkal melalui semangat kebersamaan. Sebaliknya kerja sama global harus lebih ditonjolkan demi meredam persaingan yang saling merugikan. Kerja sama bukanlah suatu konspirasi. Kerja sama adalah upaya bersama untuk dukung-mendukung bergotong royong demi mencari manfaat bersama dan bukan untuk mencari kelemahan atau mengintip kelengahan pihak lain, tidak untuk menunggangi dan merampok pihak lain yang lebih lemah dan lengah.

Nasionalisme mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab global.

Sri-Edi Swasono 
Guru Besar UI; Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa

0 komentar:

Mufakat untuk Kebudayaan

SETIAP pagi dini sekali, setelah siuman dari tidurnya, sebelum ia melakukan kegiatan, bahkan shalat sebagaimana diajarkan ayah dan ustaznya, Tuan Fulan akan keluar rumahnya, memasuki taman kecil di depan, berjongkok, membungkuk, dan bersujud untuk mencium tanah. Tuan ini tidak begitu tahu persis kapan ia mulai kegiatan itu, tetapi jelas sudah sangat lama, mungkin sejak ia akil balig.
Seperti dorongan tak tertahan, Tuan yang berasal dari sebuah pulau purba di timur negeri ini merasakan tanah sebagai bagian “tak terhindar” dari dirinya, diri kemanusiaannya. Dengan menyentuh semua yang paling murni dari kehidupan: tanah pagi, udara bersih, dan embun sebagai H2O termurni yang dihasilkan alam. Jika itu berkesesuaian dengan cerita para tetua di desanya, bahwa ia keturunan akhir salah satu nenek moyang warga adat setempat yang muncul dari tanah, laut (air), dan udara, Tuan Fulan tak begitu peduli.
Dalam pengertian kita, manusia modern, Tuan Fulan mewakili jutaan dan miliaran manusia di muka bumi ini, sebagaimana juga Anda yang jika memeriksa diri memiliki kegiatan serupa. Kegiatan yang secara personal berisi sebuah pegangan atau acuan abstrak dan idealistis bernama: nilai (value). Inilah dasar awal kesadaran manusia mengetahui diri dan hidupnya cukup berharga untuk dipertahankan menghadapi segala tantangan zaman; manusia perlu menjaga bukan hanya keberadaan, melainkan juga kemuliaan.
Apa yang terjadi pada Tuan Fulan—juga Anda—sebenarnya sebuah langkah pertama dalam upaya manusia secara kolektif membangun apa yang kita sebut kemudian sebagai kebudayaan. Kegiatan rutin yang kemudian jadi tradisi atau adat (keduanya berasal dari bahasa asing, tetapi maknanya kongruen), yang jika dilakukan secara kolektif, dari sebuah masyarakat atau komunitas akan menciptakan tingkat kedua dari proses pembudayaan: norma (norms). Sebuah tingkat, sebagaimana yang pertama, tak membutuhkan bahkan belum muncul penilaian sosial (social judgement) apakah tradisi normatif itu bersifat negatif (destruktif) atau positif (konstruktif). Bisa salah satu, bisa keduanya.
Baru di tingkat kedua ini saja, kita, warga dari sebuah bangsa dan sebuah negara, dapat meninjau diri sendiri—sebagai individu, komunitas, dan seterusnya—apakah ia berada dalam sebuah norma—yang merupakan mufakat (konsensus) secara sadar maupun bawah-sadar—dengan bentuk dan dampak yang membangun (positif) atau merusak (negatif)? Ketika kita, misalnya, mengambil dua buah lembar kertas dari laci simpanan kertas kantor kita (milik perusahaan atau negara) untuk katakanlah menulis surat pribadi atau membungkus makanan, apa yang terasa signifikan dalam diri kita? Sebuah kewajaran normal (yang secara etimologis berakar pada norms) karena dilakukan hampir seluruh orang tanpa perasaan bersalah, atau sadar betapapun itu hanya dua lembar kertas sebenarnya ia contoh nyata perilaku yang koruptif?
Maka mari kita jadikan dunia sekeliling cermin reflektif untuk memahami realitas diri kita sendiri? Bagaimana kita dan ribuan orang lain bersepeda motor di lalu lintas padat Ibu Kota, mengantre tiket sepak bola, berebut proyek yang ditawarkan pemerintah, berkompetisi di lapangan olahraga, bersaing dengan toko/pedagang yang punya komoditas serupa dengan dagangan kita. Apakah secara normatif Anda melakukan tindakan yang tampaknya secara kolektif lumrah, alamiah—sehingga tak menerbitkan rasa bersalah atau “dosa”—padahal sesungguhnya dalam norma lain keliru, a-sosial, bahkan kejahatan?
Berbudaya satu, Indonesia
Sebuah kebudayaan pada intinya sebuah kerja dari agregat-agregat tradisi atau adat yang dilakukan manusia, baik di tingkat personal, komunal, hingga nasional. Kerja kebudayaan yang semula hanya bermaksud untuk kebertahanan (survivality) dari hidup makhluk bernama manusia, menjadi niat untuk memuliakan (honor, dignity) ketika mereka, gerombolan (crowd) yang kemudian menjadi masyarakat (society) itu meninggikan level kebudayaannya dari norma sektoral yang mereka tradisikan menjadi sebuah kumpulan kebenaran dan kebaikan bernama moralitas. Sebuah acuan abstrak-idealistis yang dimufakatkan sejumlah gerombolan normatif (normative crowds) untuk terciptanya kerja sama, harmoni, atau sebuah keteraturan hidup (order), di mana kecenderungan individual atau kelompok/sektarian tak ganggu keseluruhan.
Di tingkat ketiga mufakat maya (abstractive consensus) inilah sebuah kebudayaan pada tingkat awal tercipta dalam diri sebuah masyarakat atau bangsa. Inilah argumen kunci, bagaimana bangunan sebuah bangsa tak akan tercipta tanpa fondasi kebudayaan yang menegakkan tiang-tiangnya. Dalam kasus negeri ini, betapapun saya kerap menyatakan Sumpah Pemuda 1928 adalah sebuah pernyataan kebudayaan, ketimbang maklumat politik, tetap saja akan terasa tak sempurna karena ia mengabsensi frase krusial dan vital: “berbudaya satu, budaya Indonesia”.
Frase vital inilah yang akan memberi signifikansi atau penjelasan kuat apa makna, posisi, dan peran dari tiga frase sebelumnya. Dan harus kita akui bersama, setelah hampir 70 tahun negeri ini merdeka dengan fait accompli berupa proklamasi 1945, kita belum pernah berhasil menunaikan PR atau tugas penting yang jauh lebih tua dari kemerdekaan itu sendiri: memufakatkan apa yang kita bayangkan (baca: harapkan) tentang kebudayaan (nasional) Indonesia (KNI). Karena sesungguhnya, dari komprehensi kolektif yang adekuat tentang KNI itulah tersimpan jawaban-jawaban krusial dan fundamental dari persoalan-persoalan yang mengguncang dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan kita di tengah kerumitan zaman mutakhir ini.
Kita menyadari, pemerintah—di semua sektornya—sebagai penyelenggara negara, dengan pergantian pimpinan, kabinet atau lembaganya yang aneka rupa, ternyata senantiasa lalai mengerjakan PR kebangsaan ini. Secara sadar kita pun menyesalkan aparatus sipil, termasuk kaum intelektual, rohaniwan, hingga para seniman, juga tak merasa kebutuhan ini hal emerjensial dalam realitas hidup kita kini.
Terlebih generasi kita saat ini, di mana tingkat dan fasilitas hidup sudah jauh meningkat ketimbang—setidaknya—para pendiri bangsa, baik dalam kecukupan ekonomis, kesehatan, kekuatan daya pikir dan emosi, maupun limpahan data yang berjuta kali lipat dari apa yang bisa diakses oleh bapak-ibu bangsa kita dahulu, ternyata belum juga berhasil membuahkan karya kebudayaan terbaiknya: gagasan. Sebuah nebula abstrak yang sebenarnya menjadi ruh dari kebudayaan di tiga tingkatan di atas (plus dua tingkatan sesudahnya, etika dan estetika, di mana sebuah kebudayaan bermetamorfosa menjadi (per)adab(an)), yang laiknya menjadi warisan (legacy) penting lain pada generasi-generasi mendatang, di samping warisan material kita yang memalukan.
Warisan gagasan kita
Bagaimana tidak memalukan jika dalam segi material kita hanya mewarisi artefak dalam monumen-monumen rapuh dan jiplakan, berupa gedung pencakar langit, jalan raya, jembatan, hingga tarian, puisi, atau kebiasaan hingga kejahatan sebagai produk-produk budaya mutakhir yang sama sekali tak merefleksikan harta karun budaya yang ditinggalkan nenek moyang kita di 600 suku bangsa negeri ini. Bahkan, dengan bangga kita memasang reklame di jidat kebudayaan kita, nama-nama yang diproduksi secara masif dan global oleh kebudayaan lain, notabene kontinental, baik oksidental atau oriental.
Terlebih sumber daya material yang dimiliki alam negeri ini, dengan pendaman waktu jutaan dan miliaran tahun, yang ternyata hanya dalam hitungan dekade menjadi kerusakan tak terperbaiki, limbah, dan bencana karena kerakusan kontinental kita. Inikah bentuk pertanggungjawaban generasi kita pada anak cucu, meninggalkan tak hanya peninggalan natural dan nurtural yang apkir bahkan secara sistemik merusak? Menciptakan warisan beban yang demikian beratnya, sehingga membuat anak cucu sangat kewalahan dan akhirnya terdesak untuk menerima kenyataan eksistensialnya hanya jadi korban dari zaman yang lebih kejam dari semua jenis kolonialisme masa lalu?
Rasa prihatin terhadap semua masalah fundamental, rasa bersalah pada generasi pendahulu dan penerus itulah yang mendorong Mufakat Budaya Indonesia (MBI), tergerak untuk menunaikan tugas sederhana tetapi besar itu, memufakatkan di antara para penggerak dan pekerja sebuah gagasan tentang lantai fondasi dari kebangsaan dan kenegaraan kita: kebudayaan nasional Indonesia. Majemuk kecil yang berimplikasi besar dan luas ini diharapkan dapat menjadi sekadar warisan idea(listis) yang mungkin menjadi jalan setapak bagi generasi berikut dalam menghadapi rimba hidup yang kembali pada hukum-hukum purbanya yang primitif.
Betapapun mungkin tidak cukup representatif bagi khazanah pemikiran, modern, tradisional hingga spiritual, 150 cendekiawan, budayawan, tokoh spiritual, dan tetua adat akan berkumpul dan berkeringat untuk mencapai mufakat pada 28-30 November 2014 tentang tema besar di atas bersama elaborasi tematiknya.
Ini temu akbar kedua di mana Deklarasi Cikini 2009 yang dihasilkan temu akbar pertama (diikuti 80-an peserta) jadi landasan gagasan di mana ternyatakan di dalamnya: kebudayaan nasional Indonesia berbasis realitas historis, geografis, hingga arkeologis sebagai kebudayaan maritim. Apakah 150 peserta dari berbagai kalangan di tengah kebebasan preferensial hingga di tingkat pemikiran dan klaim kebenaran ini mampu bermufakat?
Inilah sebuah ujian laboratoris bagi kebudayaan kita, kebudayaan yang konon menjadi faktor tunggal kita berbangga dan merasa berdaulat, di tengah semua sektor yang melulu jadi pecundang bahkan di level regional kecil, seperti ASEAN. Apa pun yang dapat dihasilkan, sebuah langkah dari upaya besar yang mesti berlanjut ke masa depan telah kita tapakkan.
Radhar Panca Dahana
Budayawan

0 komentar:

Janji Bagi Semua Anak di Dunia

 
DUA puluh lima tahun lalu, pada 20 November 1989, para pemimpin dunia membuat komitmen besar. Dengan mengadopsi Konvensi Hak Anak, mereka berjanji untuk melakukan apa saja dengan segala kemampuan guna memajukan dan melindungi hak-hak semua anak di seluruh dunia.

Konvensi Hak Anak merupakan perjanjian internasional yang paling cepat dan paling luas diratifikasi di sepanjang masa. Konvensi Hak Anak memberikan pandangan baru yang mendasar tentang anak. Anak tidak lagi dipandang sebagai obyek yang harus mendapatkan pengasuhan dan bantuan, tetapi mereka sekarang merupakan subyek dalam menentukan hak mereka sendiri.
Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang menandatangani Konvensi Hak Anak. Sejak saat itu, Indonesia telah memulai reformasi hukum secara komprehensif untuk menyesuaikan kerangka legislatif dengan Konvensi Hak Anak. Undang-undang terakhir yang disahkan adalah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

Komitmen Indonesia untuk melaksanakan Konvensi Hak Anak telah memberikan kesempatan besar kepada anak-anak untuk tumbuh sehat dan mengembangkan potensi mereka. Tingkat kematian anak balita telah menurun lebih dari setengah, dari 84 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada 1990 menjadi 29 kematian pada 2013. Hal ini telah menyelamatkan lebih dari
5 juta anak Indonesia yang bisa meninggal jika angka kematian anak balita tetap berada di tingkat pada 1990.

Akan tetapi, banyak tantangan yang menghalangi upaya-upaya untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia menikmati semua hak yang dinyatakan dalam Konvensi Hak Anak. Perkembangan ekonomi Indonesia yang pesat menjadi negara berpenghasilan menengah telah mengakibatkan banyak anak mengalami ketertinggalan, terutama dalam masyarakat pedesaan dan di daerah-daerah kumuh perkotaan. Selain itu, kesenjangan antara yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Risiko kesehatan anak

Indeks Gini yang mengukur distribusi pendapatan dan pengeluaran konsumsi di antara rumah tangga meningkat dari 29,2 tahun 1990 menjadi 38,1 tahun 2013, dengan 0 didefinisikan sebagai kesetaraan sempurna dan 100 sebagai ketimpangan absolut.

Dengan angka sebesar 37 persen, prevalensi nasional stunting (pertumbuhan terhambat) cukup tinggi, dan di beberapa provinsi, seperti Nusa Tenggara Timur, prevalensi tersebut mencapai lebih dari 50 persen. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat bahwa kekurangan gizi berkontribusi terhadap hampir setengah dari semua kasus kematian anak.

Hampir setengah kematian anak terjadi pada empat minggu pertama kehidupan, sementara penurunan kematian bayi baru lahir hampir tidak mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan pelayanan berkualitas selama 24 jam dengan akses yang mudah. Namun, sejumlah 58 persen kabupaten di kawasan timur Indonesia masih belum memiliki kapasitas untuk menangani komplikasi obstetrik dan neonatal.

Penyakit seperti diare yang dapat dengan mudah dicegah dan diobati tetap merupakan pembunuh anak yang utama di Indonesia, yang mengakibatkan kematian sebesar 30.000 jiwa setiap tahun. Sanitasi yang buruk dengan sekitar 55 juta orang yang masih mempraktikkan buang air besar di tempat terbuka serta praktik-praktik higienis yang buruk dan kurangnya air bersih berkontribusi terhadap kematian anak yang terkait dengan diare, penyakit, atau gizi buruk.

Sekitar 25 persen anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun, salah satu negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi di Asia Timur dan Pasifik. Hal ini menyebabkan mereka mengalami risiko kesehatan dari kehamilan dini dan mengakibatkan mereka kehilangan masa kanak-kanak mereka sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan masa depan yang baik. Pernikahan usia anak juga mengakibatkan anak perempuan berisiko menderita kekerasan dan pelecehan.

Dalam usianya yang telah mencapai 25 tahun, Konvensi Hak Anak memberikan kesempatan yang luar biasa kepada Pemerintah Indonesia yang baru untuk menyatakan dan menegaskan kembali komitmennya terhadap hak-hak anak dan untuk memperbarui kepemimpinan globalnya dalam mendorong kemajuan bagi anak-anak.

Untuk mengatasi tantangan ini dan juga tantangan lainnya, diperlukan cara berpikir dan cara bertindak yang baru.

Tantangan jangka panjang

Pada 2010, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) memulai sebuah jejaring ambisius ”Innovation Labs” untuk menemukan solusi nyata, terukur, dan berkesinambungan bagi tantangan pembangunan jangka panjang, yang melibatkan masyarakat setempat dan membangun jejaring kerja sama di dalam negeri. ”Innovation Labs” tersebut bertujuan memfasilitasi dan mendukung adaptasi setempat serta penggunaan teknologi dan pendekatan baru untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai persoalan.

Secara global, hal ini telah menghasilkan sejumlah inovasi luar biasa yang telah meningkatkan kehidupan di negara-negara di seluruh dunia. Inovasi tersebut mulai dari pengisi baterai (battery charger) alat bantu dengar isi ulang tenaga surya pertama di dunia, sekolah mengambang untuk memberikan akses sepanjang tahun ke pendidikan bagi anak-anak yang tinggal di daerah rawan banjir di Banglades, sampai dengan manajemen berbasis masyarakat tentang gizi kurang akut.

Laporan utama Unicef, The State of the World’s Children 2015-Re-imagine the future: Innovation for every child, yang diluncurkan pada 20 November, memberikan gambaran menarik tentang inisiatif-inisiatif tersebut.

Banyak dari inovasi-inovasi ini sesungguhnya diciptakan oleh anak-anak remaja. Memang kami di Unicef percaya bahwa pemuda harus menjadi pendorong bagi pendekatan inovatif untuk mengatasi berbagai tantangan pembangunan yang sudah berjalan lama di Indonesia. Inovasi-inovasi tersebut, selain dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, juga dapat menjadi alat yang kuat untuk meningkatkan dan memperkuat sektor publik, mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan, serta mempromosikan keterlibatan masyarakat sipil dalam tata kelola pemerintahan.

Unicef Indonesia mendukung perkembangan-perkembangan ini, termasuk melalui inisiatifnya, U Report Indonesia, sebuah platform media sosial (menggunakan Twitter) yang mempromosikan keterlibatan remaja dan pemuda dalam pembangunan sosial, melalui pertanyaan jajak pendapat dan berbagi pengetahuan untuk melakukan aksi. Platform ini memiliki potensi yang sangat besar untuk meningkatkan peran serta pemuda dan merupakan alat penting untuk meningkatkan keterlibatan. Dukungan pemerintah untuk inisiatif ini sangat penting.

Visi Konvensi Hak Anak hanya dapat dicapai jika setiap orang bekerja sama untuk mewujudkan hak-hak anak. Pengakuan terhadap pentingnya melakukan aksi dan pengembangan iklim inovasi akan memperkuat upaya kita untuk memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal.

Gunilla Olsson

Kepala Perwakilan Unicef di Indonesia

0 komentar:

Berpikir Arif


KETIKA terus-menerus menyaksikan di tayangan televisi bagaimana anggota-anggota DPR berperilaku, berseteru, dan membanting meja yang pasti bukan miliknya, orang-orang bertanya, ”Apakah mereka tidak pada berpikir?”
Jawaban terhadap pertanyaan ini bisa ”ya” dan bisa ”tidak”. Sulit untuk mengatakan bahwa mereka tidak berpikir. Bukankah mereka rata-rata punya pendapat, mengajukan opini, dan menawarkan ide tentang sesuatu atau keadaan, merasionalkan, membentuk serangkaian premis yang menjurus pada kesimpulan yang berargumen.
Semua itu adalah bukti-bukti valid dari adanya kegiatan berpikir. Lagi pula, mereka rata-rata adalah warga negara terpelajar, di antaranya ada lulusan jenjang S-3, bahkan pernah menjadi dosen.
Brutal dan barbar
Apabila demikian, mengapa olah pikir mereka jadi begitu rupa hingga membuat DPR menjadi ajang keributan brutal, kalaupun bukan barbarisasi, dan akhirnya pecah menjadi dua kubu yang terpisah, saling menandingi. Ternyata dalam berpikir itu mereka telah melupakan sesuatu yang sangat fundamental bagi pelaksanaan profesi politis mereka, yaitu bahwa mereka adalah wakil rakyat.
Protokol mengharuskan kita—termasuk presiden, wakil presiden, dan menteri—menyapa mereka dengan ucapan ”yang terhormat”. Ini suatu keharusan yang tidak diberlakukan terhadap anggota-anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), padahal para ilmuwan itu merupakan tokoh-tokoh yang dianggap merupakan the best brains of the country.
Jadi, para anggota DPR perlu menyadari, dalam berpikir dan berbuat, bahwa mereka mewakili rakyat. Kesadaran ini, pada gilirannya, menuntut mereka berpikir lain daripada cara berpikir individual biasa. Hal inilah yang persis tidak mereka lakukan.
Mereka memang berpikir, tetapi tidak sebagaimana seharusnya berpikir seorang wakil rakyat. Seharusnya mereka perlakukan olah pikir itu sebagai respons terhadap aspirasi rakyat, yang berasaldari sanubari warga negara yang telah memilih mereka selaku wakilnya. La noblesse oblige!
Berpikir seperti yang diniscayakan itu dapat kiranya dikualifikasi sebagai berpikir arif, wise thinking. Hal ini ada dinarasikan di dalam Alkitab berupa cara berpikir Salomo, anak Daud. Pada suatu hari datang menghadap sang raja dua perempuan yang sama-sama mendaku seorang bayi sebagai anak kandungnya. Hakim-hakim di seluruh negeri tidak bisa dan tidak berani mengambil keputusan karena ketiadaan bukti. Lagi pula, peristiwa ini terjadi pada zaman sebelum Masehi ketika pengetahuan dan penelitian tentang DNA belum dikenal.
Setelah Salomo mendengar keterangan setiap ibu, katakanlah Ibu-A dan Ibu-B, dia memberi perintah untuk mengambilkan pedangnya. Sebagai keputusan perkara, dia akan membelah tubuh bayi menjadi dua dan setiap ibu akan mendapat sebagian untuk dibawa pulang. Adil, bukan?
Begitu mendengar keputusan sang raja, Ibu-A langsung menjerit dan bersujud menyembah Salomo. Perempuan ini bersumpah akan mengikhlaskan sang bayi diberikan kepada Ibu-B asalkan anak ini dibiarkan hidup. Mendengar ratapan dan permohonan Ibu-A, Salomo bersabda, ”Ya, bayi ini akan dibiarkan hidup dan bawalah dia pulang bersamamu! Kamu adalah ibu sejati dari bayi ini.”
Untuk bisa menerka dengan tepat siapa sebenarnya ibu dari bayi yang menjadi rebutan, demi pengambilan keputusan yang adil, dalam berpikir Salomo berusaha mengumpulkan dirinya seorang ibu, bukan seorang raja. Ketika menempatkan dirinya begitu, dia menyadari bahwa konsen pertama dan utama dari seorang ibu, di mana pun dan kapan pun, adalah supaya anaknya selamat, panjang umur.
Dengan berpikir begini, Salomo dapat menyerap cinta-kasih dan kepribadian seorang ibu sejati. Dengan kata lain, Salomo mampu membuat keputusan yang adil dan tepat karena dia menganggap olah pikir sebagai respons terhadap aspirasi ibu yang telah memercayai dia untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan harapan keadilan human. Begitulah kiranya jalannya proses pembentukan berpikir arif yang dinarasikan di dalam Alkitab.
Namun, melalui proses serupa dapat kita membayangkan kemungkinan yang lain dari bentuk keputusan yang adil dan tepat seperti, misalnya, mengenai kebijakan keluarga berencana (KB).
Setelah menyerap pendapat sebagian warga yang menolak KB dengan alasan bahwa penetapan besar-kecilnya keluarga merupakan hak asasi manusia yang dibenarkan oleh kepercayaan religius, multiply yourself, dan kepasrahan pada takdir, ono dino ono upo, penguasa negeri justru bertekad melaksanakan kebijakan KB.
Sebab, apabila pendapat itu dibenarkan, demi popularitas politik, ia bisa menghambat usaha kesejahteraan umum dan menimbulkan beban ekstra kepada kelompok warga yang sudah tercerahkan dan pada bumi berdasarkan kondisi alami kontemporer.
Keluarga juga saksi
Maka, alangkah baiknya apabila para anggota DPR berusaha mengembangkan cara berpikir arif, tidak pernah lupa barang sedetik bahwa mereka adalah wakil-wakil rakyat. Mereka bisa saja terus bertingkah laku yang tidak terpuji di ruang sidang gedung parlemen, tidak peduli pada tanggapan reaktif rakyat yang sangat negatif, sebab mereka beraja kepada kehendak partai masing-masing, bukan kepada rakyat, asalkan mereka tahu bahwa yang menyaksikan proses barbarisasi itu tidak hanya masyarakat luas, tetapi juga keluarga terdekat mereka sendiri, yaitu istri atau suami, dan anak serta cucu mereka. Pernahkah mereka berkonsultasi pada bisikan jujur hati nurani keluarga terdekatnya masing-masing?
Atau keluarga terdekat tersebut juga sudah tidak peduli lagi pada bisikan hati nuraninya karena desakan realitas kehidupan. Buat mereka, yang penting ada rumah berfasilitas memuaskan, ada kendaraan, makanan terjamin karena bergaji lumayan, dan sesekali bisa gratis bepergian menemani suami atau istri berstudi banding ke mana saja, di dalam atau, lebih-lebih, ke luar negeri.
Apabila keadaan mental para politikus, tokoh-tokoh parpol, serta keluarganya memang sudah separah itu, Ibu Pertiwi pasti berurai air mata. Sesudah 69 tahun kita merdeka, kok keadaan masih begitu memprihatinkan? Dia tetap bertatih-tatih seorang diri, tanpa panduan, dalam kondisi semakin tua.
Padahal, pada setiap upacara resmi, termasuk seremoni pengambilan sumpah wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, himne nasional ”Indonesia Raya” selalu dinyanyikan. Rupanya bait ”... di sanalah aku berdiri menjadi pandu ibuku...” hanya berupa bunyi di mulut, bukan berasal dari nurani dan spirit kebangsaan.
Ibu Pertiwi pantas menangis. Biarkan dia tidak menyeka air matanya dengan ujung kebayanya yang sudah kumal. Sebab, hanya dengan mata yang basah, jiwa masih berpeluang melihat pelangi.
Had the eyes no tears, the soul would have no rainbow.
Daoed Joesoef

Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

0 komentar:

Kebudayaan yang Mendidik

APA yang beberapa kali saya kritik (juga otokritik) dari tim editor majalah Time Asia, yang memasang foto close up bagus dari Joko Widodo, sebenarnya semata soal tajuk di sampul majalah paling ternama dunia itu, ”A New Hope”.

Pertama, tajuk itu memberi kesan kuat bangsa yang sejak kemerdekaan modernnya sudah bisa dianggap lanjut usia ini ternyata hanya sukses memproduksi harapan. Sebagaimana masyarakat rajin menempatkan tajuk itu dalam plang nama toko, media massa, perumahan, hingga bengkel dan panti pijat.

Apa yang dilakukan oleh bangsa ini, mungkin, selebihnya hanya pertikaian, konflik, dan tipu daya atau sekurangnya, bangsa ini belum mampu bekerja untuk menghasilkan bukti yang mengisi karung-karung harapan itu. Bangsa kalahan, yang selalu menghibur diri, ”Ah... masih ada harapan, kok”, melulu sebagai basis apa yang disebut optimisme.

Hal kedua, yang saya semula tidak setuju, memosisikan Jokowi sekadar sebuah harapan belaka, bukan sebagai kata atau hasil kerja. Artinya, kita memilih presiden baru itu melulu dengan pertimbangan yang spekulatif, imajinatif, bahkan kadang ilusif dan absurd sebagaimana posisi harapan berada. Tidak. Jokowi (seharusnya) adalah sebuah kerja, atau sekurangnya lokomotif dari gerbong-gerbong yang bergerak (bekerja) ke satu tujuan yang sama. Bahwa hasilnya sesuai dengan harapan atau keinginan (idealisme atau ideologi) adalah soal berikutnya. Yang utama adalah bangsa ini berkeringat. Harus berkeringat, tidak hanya biologis, tetapi juga psikologis, pun spiritualistis.

Sebagai pihak yang merasa menjadi kuncen kebudayaan, karena kebudayaan sudah tiga perempat mati akibat percobaan pembunuhannya yang berulang dan sistematik, saya merasa tergerak untuk (juga menghela banyak pihak) lebih berkeringat untuk memberi kehidupan penuh, me-recharge, reviving apa pun namanya, kebudayaan kita. Namun, begitu nomenklatur kabinet baru—yang juga diberi julukan ”kerja”—diumumkan, saya sudah letih bahkan sebelum tetes pertama keringat saya keluar.

Untuk pertama kalinya, dalam sejarah negeri ini, mungkin juga sejarah pemerintahan dunia, ada satu kata (lema, terma) yang sama digunakan oleh dua instansi atau kementerian dalam satu tim kerja atau kabinet. Saya kehilangan akal untuk memaknai perbedaan dari penempatan atau penggunaan nama atau istilah itu. Termasuk berpikir keras, apakah yang satu itu sifatnya makro yang kedua mikro, yang satu abstrak satunya konkret, yang satu suprastruktur, lainnya infrastruktur. Ajaib. Saya sungguh ingin bertanya atau belajar dari the thinkers yang ada di balik separasi institusional itu.

Hal yang lebih dalam lagi, apa sebenarnya yang kita, terutama pengelola negara (pemerintah keseluruhannya karena parlemen ikut menyetujui nomenklatur baru itu), pahami tentang ”kebudayaan”. Apa pemahaman itu mengimperasikan pemisahan yang akan menciptakan ”gegar”–sebagaimana diindikasikan oleh banyak pengamat—kebudayaan dari pendidikan tinggi? Ajaib. Banyak pemikir kebudayaan di balik presiden baru yang ajaib, dalam arti memiliki pemahaman yang bisa jadi luar biasa atau penuh terobosan sehingga ia bisa melanggar tradisi yang dioperasikan umat manusia sepanjang usia peradabannya, di seluruh dunia.

Kebudayaan idealistik
Sebagai konservatif—mengikuti peristilahan ilmu kontinental—karena menjadi pengikut dari tradisi yang menjunjung keluhuran kebudayaan dengan manusia senantiasa menjadi subyek utama yang ditingkatkan kualitas kemanusiaannya, maqam spiritual atau keilahiannya, saya berpegang pada pemahaman bahari saya tentang kebudayaan sebagai sebuah kerja idea(listik) dari satu kelompok (manusia) memusyawarahkan (melakukan diskursus dalam terminologi modern) sebuah mufakat (konsensus) hal-hal fundamental yang dapat dijadikan acuan utama (main references) bagi pemuliaan sub-spesies mamalia bernama manusia alias dirinya
sendiri.

Acuan fundamental dari hasil permufakatan itu tentu saja tidak bersifat material atau tangible. Ia adalah ide-ide abstrak yang kemudian diformasi menjadi nilai, norma-norma, moralitas, etika, dan akhirnya estetika. Seluruh pegangan mental-spiritual, intelektual, dan fisikal manusia yang ingin mengembangkan (aktualisasi) dirinya. Hingga kalau bisa menjadi ”tuhan” dalam ambisi ilmu pengetahuan-terukur (sains) dalam tradisi pemikiran kontinental.

Dengan semua acuan itulah, kemudian manusia yang berbudaya menciptakan produk-produknya di semua dimensi kehidupan, yang ketika ia lengkap, bertahan (sustainable), teruji, dan mapan (established), lalu dapat menjadi landasan sebuah peradaban. Jadi, sebaiknya tidak menggolongkan politik, perdagangan, kerajinan tangan, museum, bahkan korupsi atau perjudian sebagai ”kebudayaan”. Semua itu produk, yang karena dibuat oleh manusia, bisa berbentuk atau bersifat destruktif bisa pula konstruktif.

Dalam sebuah analogi: sebuah gadget atau mesin pemanas atau roket peluncur rudal tidaklah dapat disebut teknologi apalagi sains atau ilmu pengetahuan. Semua itu adalah produk keras dari teknologi, dengan sains adalah acuan di belakangnya. Kebudayaan dalam analogi ini adalah sains atau ilmu pengetahuan yang berisi ide-ide abstrak di mana sebuah kerja praktis dan nyata dimungkinkan. Kebudayaan seperti ketentuan-ketentuan agama (syariah, fikih, dan sebagainya) yang berisi ideal-ideal dari praksis religius atau spiritual kita. Lebih luas lagi, kebudayaan semacam kitab suci yang tidak berhenti pada cetakan dan kata-kata, tetapi ayatullah yang harus dibaca (iqra) dari seluruh realitas dan fenomena yang ada di semesta, di keseharian kita.

Semua hanya analogi, tidak harus diberi ukuran tingkat sakralitas atau dominasinya secara struktural dalam hidup kita. Komprehensi semacam ini hanya untuk membuat kita jernih, apa dan mengapa, di bagian mana, untuk apa, dan bagaimana caranya kebudayaan itu (sebaiknya) dilangsungkan. Termasuk menjadi urusan penyelenggara negara, termasuk sebagai job description dari sebuah kementerian, misalnya.

Pendidikan yang membudayakan
Melalui kejernihan komprehensi itu, antara lain, kita dapat mafhum apabila kerja kebudayaan sesungguhnya dioperasikan oleh seluruh matra kerja manusia. Di berbagai bidang dan dimensinya. Ada dalam persoalan bisnis, berlaku politik atau memainkan manuver politik, berhubungan dengan orang lain, membangun industri, sistem pertahanan, diplomasi antarbangsa, hingga mengelola kehutanan atau aparatur negara.

Di dalam proses berbudaya itu, yang terjadi sebenarnya adalah (juga) transmisi dari acuan-acuan fundamental itu (nilai hingga estetika) dari yang lebih tahu, lebih kuasa, lebih tua, dan lebih dipercaya (dan seterusnya) kepada mereka yang ”tidak lebih” atau kurang.

Maka, semua orang yang dipercaya menjadi pejabat negara/publik dituakan (sesepuh, orangtua), atau bahkan orang yang secara sukarela mengabdi (berdedikasi) pada kemaslahatan umum secara otomatis mendapat imperasi sebagai transmitor dari kebudayaan kita bersama. Artinya, apabila mereka yang tergolong dalam kategori-kategori sosial di atas tidak mampu menunjukkan kapasitas dan kualitas yang ber(adab dan) budaya, dia adalah minor atau ”tidak lebih” alias harus dikurangi bahkan disingkirkan dari ketinggian posisi sosialnya tadi.

Paparan di atas hanya sekadar menunjukkan, dalam kata kebudayaan sesungguhnya sudah terintegrasi sebuah kerja (dan pemahaman) tentang pendidikan, dalam pengertian lapang pengajaran, tempat transmisi nilai (juga pengetahuan) berlangsung. Insan yang berbudaya adalah insan yang mendidik, langsung maupun tidak langsung. Lewat modul, sistem kelas, sorogan, atau hanya sekadar contoh perbuatan (cara hidup).

Dalam dunia formal, katakanlah dalam lingkup penyelenggara negara, kebudayaan adalah sebuah kerja mendidik atau mengajar (dalam proses dialogis ajar- mengajar) yang dilangsungkan melalui institusi-institusi legalnya (sekolah, madrasah, perguruan, dan lain-lain).

Makna ringkasnya, apa yang disebut pendidikan adalah proses membudayakan atau—dalam bahasa gaulnya—melakukan transmisi kultural antara seorang pengajar dan siswa ajar. Untuk semua hal atau bidang kehidupan yang nyata (existence) dalam keseharian kita. Sebuah kurikulum boleh saja mengkhususkan siswa ajar pada bidang tertentu, tetapi jangan sampai ia lalai atau alpa dengan dimensi-dimensi hidup lainnya. Karena, apabila tidak, ia akan menjadi manusia-budaya (man of culture) yang tidak lengkap.

Kerja yang tak usai
Dengan penalaran sederhana di atas, tentu dengan mudah kita mafhumi bahwa pendidikan dalam arti formal atau pengajaran dalam makna yang lapang adalah sebuah kerja yang tak akan pernah selesai, juga tidak memiliki yurisdiksi material atau fisikawinya. ”Belajarlah hingga ke negeri Tiongkok”, ”Belajar itu hingga ke liang lahat” adalah peribahasa yang arif kita miliki, baik dari tradisi agama maupun istiadat kita.

Entah apakah ini cukup memadai untuk memberi pemahaman, betapa muskil apabila kita membayangkan proses pembudayaan manusia ini berhenti atau terpisah setelah seseorang memasuki usia dewasa alias tergolong mahasiswa. Apalagi membiarkan dan menyerahkan anak-anak kita, para siswa ajar itu, ke dalam sebuah skema pengetahuan dan keahlian yang hanya menjadi hamba industri atau pragmatisme dan oportunisme materialistik, dengan libido keserakahan menjadi engine utamanya. Apakah sebuah pemerintahan mampu bertanggung jawab pada sejarah, konstitusi, apalagi anak-cucu-buyut mereka nanti, akan terjerembabnya anak-anak kebudayaan kita menjadi motor atau mesin-mesin dari the greediness of politic and economy saat ini?

Hal yang paling tentu, dan gampang sekali kita sadari, siapa pun orang yang berada dalam tanggung jawab ”pembudayaan” (pendidikan dan pengajaran) di atas, tentulah seseorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Bukan mereka yang masih membutuhkan pemolesan atau lipstik pencitraan diri, atau tokoh yang masih harus melakukan ”pembangunan manusia” (oh... kenapa frase ini terpisah dari kebudayaan yang melingkupinya) atau ”revolusi mental” pada dirinya sendiri. Apalagi, duh... betapa akan mengiriskan nasib generasi kita nanti jika penanggung jawab kerja besar di atas mengerti tugas mereka sekadar ”memperbanyak tari-tarian” atau hanya ”banyak mengunjungi museum dan situs purba”.

Janganlah rendahkan kehebatan kultural bangsa ini, yang tidak dikarbit seperti Amerika Serikat, tetapi ditandur dan disemai dengan tekun oleh nenek moyang melewati milenium yang lebih banyak dari sebagian besar bangsa di atas bumi ini. Saya mafhum, sesungguhnya presiden baru kita pun mafhum. Namun... (ah, saya mewajibkan diri untuk berhenti di sini).

Radhar Panca Dahana
Budayawan

0 komentar:

Menunggu Gebrakan Pendidikan

Setelah menunggu lama, publik tetap saja tidak menemukan satu pernyataan yang kuat tentang gebrakan yang akan dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk mendongkrak kualitas pendidikan. Padahal, gebrakan banyak menteri lain luar biasa.
Revolusi mental yang digagas Presiden Joko Widodo sesungguhnya adalah sebuah gerakan ke dalam, yaitu perbaikan sikap diri sebagai individu, dan perbaikan evaluasi diri sistem yang sudah rusak karena korup, tidak adil, dan malah bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Satu-satunya individu yang sekaligus mewakili sistem pendidikan nasional sekarang adalah Anies. Sungguh mengherankan mengapa Anies malah ragu bertindak?
Jika Anies ragu-ragu, arah pendidikan nasional ke depan akan semakin runyam dan tidak jelas. Padahal, posisi Anies sangatlah strategis dalam mengaktualisasikan revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi.
Persoalan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, apabila kita petakan, sudah jelas merujuk pada lima pokok persoalan yang sering dikaji para praktisi, akademisi, dan pemerhati pendidikan. Lima tema itu adalah ujian nasional, Kurikulum 2013, lunturnya nilai-nilai keragaman dalam pendidikan, kekerasan dalam pendidikan, dan korupsi pendidikan.
Apabila mau melakukan revolusi mental, sebagai awal, Anies bisa memilih salah satu dari lima prioritas persoalan ini.
Ujian nasional
Ujian nasional (UN) jelas sebuah kebijakan yang akan berat disentuh Anies sebab di sana ada Jusuf Kalla sebagai penggagas UN. Namun, persoalan ini sebenarnya jelas ditilik dari sudut pandang moral. Sebuah kebijakan yang telah terbukti tidak meningkatkan kualitas pendidikan nasional tidak pantas untuk dilanjutkan.
Masalahnya adalah kita sering mencampurkan pilihan politis dengan pilihan moral. Jika Anies memilih pilihan politis, artinya dia akan tunduk kepada Jusuf Kalla sebagai penggagas UN. Ini berarti membiarkan bangsa ini semakin terpuruk kualitas pendidikannya, bahkan di tingkat internasional. Jika berani mengambil pilihan moral, ia akan segera menghentikan ujian nasional sebagai syarat kelulusan, melakukan moratorium UN (bukankah sebelum menjadi menteri, Anies juga menyuarakan moratorium UN?) dan untuk sementara, menyerahkan penilaian kelulusan kepada guru dan sekolah.
Untuk proses seleksi ke perguruan tinggi, Anies perlu kerja sama dengan perguruan tinggi agar dihasilkan sistem seleksi yang sifatnya meritokratis, adil, independen, dan terbuka bagi semua. Sistem seleksi jalur undangan yang sering jadi sumber manipulasi nilai perlu dihentikan, digantikan dengan seleksi jalur mandiri yang sungguh independen dan tidak diskriminatif pada penyandang disabilitas.
Kurikulum 2013
Banyak kajian tentang Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa kurikulum ini tidak pantas diteruskan. Bagaimana solusinya? Apakah upaya berbiaya triliunan rupiah tersebut akan dibiarkan sia-sia?
Pilihan politis atas hal ini tidak mudah. Namun, pilihan moral bisa menjadi alternatifnya. Adalah semakin mencederai keadilan dan melanggar prinsip moral apabila kita tahu sebuah program yang jelas-jelas buruk tetap kita biayai dengan biaya negara. Sudah hilang uang banyak, hasil pun tidak ada.
Solusi praktisnya adalah kembali saja dulu ke KTSP 2006, yang sudah ada buku yang tersedia. Untuk itu, Anies hanya perlu membatalkan berbagai macam peraturan yang mengatur Kurikulum 2013 serta mengevaluasinya untuk mencari yang perlu dihilangkan dan yang perlu dilanjutkan. Konsep pedagogis, landasan filosofis, dan sistem penilaian yang tidak relevan bisa dihilangkan, sedangkan kebutuhan pelatihan guru diteruskan.
Lunturnya nilai-nilai keragaman dan kebangsaan semakin nyata kita saksikan bahwa sekolah-sekolah negeri yang mestinya menyemai benih-benih keragaman kini mengutamakan kultur agama mayoritas. Kecenderungan intoleransi antaragama meningkat dan ironisnya ini justru disemai dalam lembaga pendidikan.
Di Jakarta, ada siswa dari kelompok agama tertentu yang tak boleh merayakan hari besar agama di lingkungan sekolah. Yang lebih memprihatinkan adalah mulai masuknya kelompok radikal teroris yang menunggangi paham agama untuk merekrut anak-anak sekolah sebagai pelaku teror, pembuat bom.
Situasi ini semakin menjadi-jadi dengan munculnya politisasi yang menyegregasi beragam kebijakan sekolah. Para guru yang memiliki afiliasi politik tertentu berusaha menanamkan paham-pahamnya dalam praktik pendidikan di sekolah. Jika sekolah sudah disesaki dengan para politisi yang mau menanamkan ideologinya, fungsi pendidikan sebagai proses pembentukan watak hilang karena yang terjadi adalah indoktrinasi dan matinya berpikir kritis.
Matinya kemampuan berpikir kritis akan membuat para siswa mudah dimobilisasi untuk melakukan tindak kekerasan, bahkan atas nama agama.
Lunturnya nilai-nilai keragaman ini hanya bisa dihentikan dengan cara bersinergi antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri. Politisasi pendidikan yang melahirkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif terjadi karena otonomi daerah sehingga banyak peraturan daerah pendidikan yang melanggar nilai-nilai Pancasila.
Di antaranya fokus pada pengembangan keagamaan sempit dan mengutamakan ritual dan simbol. Ini yang perlu diselesaikan dengan membangun kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama sehingga tidak ada peraturan dari Kementerian Agama yang bertentangan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, apalagi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Lunturnya keragaman ini, apabila tak diselesaikan, akan menjadikan pendidikan sebagai tempat berebut pengaruh dan kuasa dalam memperjuangkan ideologi sektarian politisi dan teroris yang memanfaatkan kelemahan kebijakan pendidikan.
Kekerasan
Kekerasan dalam pendidikan sudah berada pada tingkat darurat. Banyak siswa meninggal karena kegiatan sekolah yang tidak terpantau dengan baik. Perundungan (bullying) dalam lembaga pendidikan dan tawuran pelajar sampai sekarang tidak pernah kita garap serius. Akibatnya, akan selalu muncul korban jiwa sia-sia.Zero tolerance terhadap kekerasan harus menjadi fokus pengembangan kebijakan dalam pendidikan.
Korupsi dalam lembaga pendidikan jelas melukai keadilan publik. Uang anggaran negara yang semestinya dipergunakan sekolah untuk melayani dan menyediakan pendidikan bermutu hilang dicuri para koruptor.
Laporan ICW tentang korupsi pendidikan selama sepuluh tahun, yang jumlah kerugiannya tidak mencapai Rp 1 triliun bukanlah representasi dari gurita korupsi yang menghancurkan pendidikan kita.
Sekadar gambaran, Dinas Pendidikan DKI, setelah dalam delapan bulan mengevaluasi program pendidikan di DKI, akhirnya mengembalikan uang negara Rp 2,4 triliun karena berbagai program pendidikan yang ada dianggap tidak relevan. Bahkan setelah diselidiki, pada beberapa sekolah swasta di Jakarta indikasi korupsi itu sangat jelas terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Beberapa sekolah dipaksa mengembalikan uang ke negara yang besarnya ratusan juta sampai miliaran rupiah.
Dana pendidikan memang paling menarik bagi para koruptor untuk mencurinya karena di sana tersedia banyak sekali ruang bebas untuk menjarah anggaran negara. Tentu, hal seperti ini tak dilakukan sendirian, tetapi ada semacam sistem yang terstruktur dan sistematis, mulai dari proses seleksi kepala sekolah, pengawas, dan kepala dinas. Revolusi mental harus menghancurkan sistem pendidikan yang korup seperti ini.
Jelas bahwa tantangan pendidikan tidak mudah. Namun, ini semua tergantung dari Anies dalam menempatkan dirinya sendiri. Apakah ia akan lebih memilih sebagai politisi atau individu yang memiliki pilihan moral sekaligus menjadi representasi kekuatan perubahan dalam pendidikan.
Jika ia lebih memilih dirinya sebagai politisi, gebrakan pendidikan tidak akan terlahir dalam pemerintah Jokowi ini, dan ini berarti Jokowi telah salah memilih Mendikbud.
Namun, apabila pertimbangan Presiden Jokowi memilih Anies adalah karena Anies memiliki kredibilitas moral, dan dengan demikian, pilihan-pilihan morallah yang diharapkan keluar dari sosok Anies sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah, mestinya Anies tidak perlu ragu mengambil keputusan dan segera melakukan gebrakan pendidikan.
Doni Koesoema
Pemerhati Pendidikan

0 komentar:

Pendidikan dan Kebudayaan



SETELAH menanti selama sepekan penuh, the longest week that ever exist, Presiden Joko Widodo mengumumkan komposisi pemerintahannya. Setelah menyaksikan di layar televisi susunan Kabinet Kerja-nya, saya sangat kecewa.

Presiden cum pemimpin baru Indonesia betul-betul telah keliru memahami ”pendidikan” dan ”kebudayaan”, yang saya pikir bukan merupakan konsen saya saja, melainkan adalah masalah masa depan Indonesia selaku satu negara-bangsa.

Padahal, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Tanah Air tercatat jelas bahwa Indonesia adalah satu-satunya bangsa yang sewaktu masih dijajah berani mendirikan sekolah bersistem nasional berhadapan dengan sekolah kolonial Belanda. Sekolah nasional itu adalah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Ada Indonesische Nijverheid Schoolyang didirikan Moh Syafei di Kayu Tanam dan Normal School yang didirikan oleh Willem Iskander di Tano Bato.

Semua lembaga pendidikan nasional tersebut secara esensial membelajarkan aneka pengetahuan yang dikemas dalam budaya nasional dan bermental perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain, para pendiri bangsa itu sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Bagian dari sistem nilai yang dihayati oleh manusia. Pendidikan bertugas mengembangkan manusia menjadi pencipta nilai dan pemberi makna pada nilai.
Satu menteri

Kini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memecah belah keutuhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Yang dibenarkan masih ”berbudaya” adalah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan sempalannya, pendidikan tinggi, digabung ke Kementerian Riset dan Teknologi, tanpa kebudayaan. Kebijakan ini sungguh merisaukan karena kekeliruan kecil bisa berakibat besar yang tak terelakkan, suatu bahaya fatal yang dahulu sudah diingatkan oleh Aristoteles.

Betapa tidak. Pendidikan adalah satu keseluruhan walaupun dibuat berjenjang, secara formal sejak TK hingga S-3. Pendidikan (education) beda dengan persekolahan (schooling). Persekolahan mengurus (memikirkan) semua bahan pelajaran yang diperlukan oleh anak didik untuk mampu survive dalam menempuh kehidupan. 

Pendidikan bertanggung jawab atas perkembangan keseluruhan pribadi anak—the development of the whole child. Maka, penting sekali bahwa pendidikan formal anak bangsa ditetapkan di bawah tanggung jawab satu orang menteri, siapa pun dia.

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tidak dikaitkan dengan kebudayaan. Lalu, bagaimana dengan ”nasib” Fakultas Ilmu Budaya, Akademi Seni Rupa dan Musik serta Karawitan, serta Fakultas Seni Rupa dan Desain dari ITB, yang notabene membelajarkan teknologi? Bukankah semua lembaga pendidikan yang disebut tadi tergolong pada perguruan tinggi? Apakah akan dimatikan begitu saja? Kalau dibiarkan hidup, mereka ”berinduk” ke mana? Masak urusannya akan diserahkan begitu saja kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, yang masih ”berbudaya”.

Proses pendidikan tinggi di mana pun di dunia berusaha menghasilkan ”budayawan” (man of culture), bukan ”ilmuwan” (man of science), walaupun tidak selalu dinyatakan secara eksplisit. Sebab, ilmu pengetahuan tanpa budaya bisa tergelincir ke teknologi (applied science) yang menghancurkan manusia itu sendiri. 

”It is not the business of science to inherit the earth,” kata Prof Bronowski, ”but to inherit the moral imagination; because without that, man and belief and science will perish together.”

Sementara yang konsen pada moral dan moralitas adalah budaya, sebagai salah satu nilai yang terus-menerus menjadi urusannya para excellence. Dan, kita selaku satu bangsa diniscayakan mengembangkan kebudayaan demi bisa mencapai peradaban. Bukankah sila kedua dari Pancasila berbunyi: ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Unsur yang membentuk peradaban adalah kebijakan, pengetahuan, dan keindahan.

Ini bukan berarti bahwa riset tidak perlu. Kita menghadapi masa depan dengan suatu senjata yang tidak dikenal oleh penguasa negeri puluhan tahun yang lalu. Senjata ini berupa pengetahuan ilmiah dan kapasitas menyempurnakannya tanpa batas melalui riset ilmiah pula. Sejauh yang mengenai Indonesia dewasa ini, hal ini dapat dilaksanakan di lingkungan satu lembaga formal, yaitu Kemendikbud.

Kementerian ini membawahi kegiatan pendidikan tinggi yang sudah mengurus pendidikan penelitian dan pengabdian masyarakat. Kalau kegiatan penelitian ini perlu lebih diintensifkan dan, karena itu, dianggap perlu ada Kementerian Riset tersendiri, silakan saja. Namun, jangan merusak lembaga yang sudah berjalan. 

Kementerian Riset seharusnya memanfaatkan lembaga-lembaga riset yang sudah ada, yaitu LIPI, BPPT, bila perlu Bappenas. Sambil lalu perlu dipertanyakan apakah pemecahan Kemendikbud sudah dikonsultasikan lebih dahulu pada Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)?

Segera koreksi

Ide pemecahan Kemendikbud ini konon datang dari Forum Rektor Indonesia. Kalau hal ini benar, sungguh disayangkan. Ternyata para rektor ini tidak menyadari ide humanitarian yang membentuk lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini mereka pimpin. 

Mereka ternyata adalah ”guru” dan ”besar”, tetapi bukan pendidikin spite of kebesarannya itu. Mereka menganggap jabatannya semata- mata sebagai suatu profesi teknis, bukan vokasi (suatu panggilan nurani). Mereka sungguh tega mempermainkan pendidikan.

Maka, ada baiknya para rektor dan dekan membaca tulisan yang penuh dengan kearifan dari Prof Dr Tjipta Lesmana berjudul Jangan Pecah Kemendikbud. Selama 40 tahun dia memberi kuliah di beberapa universitas/perguruan tinggi dan pernah ikut riset di LPPM yang ketika itu dipimpin seorang teknikus picik. Berdasarkan pengalamannya itu, Tjipta Lesmana berpendapat, penggabungan perguruan tinggi ke riset dan teknologi mengandung dua kesalahan berpikir yang fatal.

Pertama, riset tidak mesti selalu diarahkan ke kebutuhan pasar dan industri. Keharusan riset seperti ini adalah pandangan Marxis yang serba materialistis dan kurang memandang manusia sebagai”thinking thing”, sebagaimana dinyatakan oleh Descartes: cogito ergo sum, aku berpikir, maka aku ada.

Peradaban Barat amat mencerahkan bukan berkat penelitian materialistis, melainkan karena karya-karya besar dari ”the thinking thing”, berupa hasil penelitian sosial, terutama penelitian filosofi. Budaya Indonesia ”rusak” karena negara kita kekurangan ahli pikir. Sementara nenek moyang kita telah berpepatah, ”pikir itu pelita hati, salah pikir binasa diri”.

Masih menurut Pak Tjipta, teknolog-pemimpin riset cenderung melupakan nama-nama besar, seperti John Lock, John Milton, Mintesquieu, Rousseau, James Madison, dan Paine Burke, apalagi trio filosof nomor wahid di zaman Yunani Kuno: Socrates, Plato, dan Aristoteles, mereka semua jadi besar namanya di manca dunia karena kehebatannya berpikir dan berfilosofi sepanjang hayatnya.

Kesalahan pemikiran fatal kedua dari penguasa Indonesia kini adalah memecah kesatuan pendidikan dasar, menengah dan tinggi, dengan alasan yang sama seperti yang telah saya ajukan di atas.

Ada dikatakan bahwa pemecahan Kemendikbud setelah dilakukan perbandingan dengan keadaan pendidikan di luar negeri. Jangan sekali-kali membuat perbandingan dua kondisi yang tidak setara. Bandingkan kondisi kita dengan kondisi negeri maju ketika dahulu masih tertinggal seperti kita sekarang.

Di Perancis, misalnya, guru sekolah menengah (sudah) disebut professeur. Mereka adalah lulusan sekolah guru yang bernama Ecole Normale. Mereka sudah menjadi profesional begitu rupa hingga tanpa menteri atau kementerian apa pun di atasnya, proses pendidikan tetap berjalan sebagaimana seharusnya. 

Mereka inilah pelaksana sejati dari sistem pendidikan nasional bangsanya. Mereka sadar bahwa le gouvernement passe, les professeurs restent—pemerintah (boleh) silih berganti, tetapi para guru tetap di tempat. Di Indonesia belum terbentuk ketegasan profesionalisme di kalangan korps guru-guru kita. Mereka masih berupa pencari nafkah halal di bidang pendidikan.

Wahai Presiden dan Wakil Presiden, sebelum terlambat, masih ada kesempatan emas untuk mengoreksi kekeliruan kebijakan mumpung nasi belum telanjur menjadi bubur. Kembalikanlah keutuhan Kemendikbud, jangan main-main dengan pendidikan dan kebudayaan. Pikirkan baik-baik.

Nenek moyang kita telah berpepatah: ”pikir itu pelita hati, salah pikir binasa diri”. Sementara itu, kaum intelektual dan para orangtua murid yang terdidik hendaknya tidak bersikapindifferent. Masa depan anak-anak Anda yang menjadi taruhan dan para masa depan mereka tergantung dari masa depan Indonesia.

Daoed Joesoef
Alumnus Université Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

0 komentar:

Trilogi Ristek-Dikti-Industri

Ketika riset dan teknologi serta pendidikan tinggi disatupadukan dalam suatu lembaga tunggal, akan ada dua kemungkinan besar yang dapat terjadi.

Kemungkinan pertama adalah riset dan teknologi (ristek) akan menjadi ujung tombak penyelenggaraan pendidikan tinggi sehingga ristek akan menjadi pemandu ke depan arah dan warna pendidikan tinggi.

Kemungkinan kedua adalah premis-premis besar yang selama ini telah dibangun dan dihasilkan oleh pendidikan tinggi dituntut memiliki implikasi verifikatif dan inovatif sehingga ristek menjadi jalan bagi pendaratan empiris pikiran-pikiran besar keilmuan pendidikan tinggi.

Paradigma induktif
Kemungkinan yang pertama akan membawa implikasi pada perubahan struktur kurikulum atau paling tidak pada silabi penyelenggaraan pendidikan tinggi yang akan memberikan porsi lebih besar beban satuan kredit semester (SKS) riset bagi proses pembelajaran di perguruan tinggi daripada porsi untuk beban SKS teori. Paradigma dari penyelenggaraan perguruan tinggi untuk kemungkinan pertama ini layak disebut sebagai ”paradigma induktif”, artinya mahasiswa diajak membangun ilmu-ilmu induktif melalui proses kerja riset.

Pendek kata, paradigma ini mengajak dan membawa mahasiswa untuk ”berani membangun pikirannya sendiri melalui riset” atau ”berani membangun personal view melalui riset”. Paradigma ini diharapkan akan melahirkan manusia-manusia Indonesia yang ”percaya diri”, ”bermental penemu sekaligus pemandu”, dan ”memiliki kapasitas mempelita” mirip dengan kualitas manusia-manusia hasil karya abad renaisans di Eropa.

Paradigma ini akan membawa perguruan tinggi bersetubuh dengan realitas empiris di lapangan dan akan membangkitkan kembali tema-tema besar kedaulatan bangsa dan negara yang selama ini telah terabaikan, termasuk tema besar kemaritiman, pangan, kesehatan, kemanusiaan, teknologi, serta energi.

Paradigma deduktif
Kemungkinan kedua yang bisa terjadi adalah penggabungan ini akan membawa implikasi pada ”penguatan”, ”peneguhan”, dan ”penegasan” tentang apa yang selama ini sudah berjalan dengan mapan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Riset atau ”penelitian” telah ditetapkan menjadi digit kedua di dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Digit kesatu diduduki oleh ”pendidikan dan pengajaran” dan digit ketiga diisi oleh ”pengabdian kepada masyarakat”.

Penyelenggaraan riset dalam praktik pendidikan tinggi di Indonesia telah berhasil membawa perguruan-perguruan tinggi membangun jaringan dan jalinan riset internasional, sehingga peneliti-peneliti di perguruan tinggi Indonesia telah terintegrasi dengan baik dengan sejawat-sejawat keilmuan di seluruh dunia. Ketika tema-tema besar penelitian di dunia berubah, dengan cepat peneliti-peneliti perguruan tinggi di Indonesia menyesuaikan dan meneguhkannya.

Paradigma penyelenggaraan perguruan tinggi seperti ini barangkali bisa disebut sebagai ”paradigma deduktif”, artinya kerja riset di perguruan tinggi mengarah pada ”pembuktian”, ”verifikasi”, dan ”peneguhan” premis-premis besar dunia melalui riset dan kasus-kasus yang ada di Indonesia. Paradigma ini telah memosisikan perguruan tinggi di Indonesia menjadi bagian penting dari tema-tema besar jaringan keilmuan dunia. Namun, sayangnya tema- tema besar dan sangat konkret yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia menjadi ”agak terabaikan”.

Paradigma tengah
Di luar dari kedua kemungkinan di atas, ada kemungkinan ketiga yang ”bisa terjadi”, yakni kemungkinan Indonesia berani membuat ”Piramida Bidang Keilmuan” dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Artinya, bidang-bidang ilmu yang sudah terlalu kegemukan lulusannya, sehingga menimbulkan pengangguran samar, perlu dirampingkan sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan (sebagai catatan tebal bahwa perampingan bukan diartikan penghapusan bidang ilmu, karena tugas utama perguruan tinggi adalah pemelihara dan pengembang ilmu; perampingan yang dimaksud adalah perampingan jumlah mahasiswa yang diterima dan lulusan yang dihasilkan).

Di sisi lain, untuk bidang-bidang ilmu yang terkait dengan tema-tema besar yang dihadapi bangsa, jumlah lulusan yang dihasilkan perlu digemukkan disesuaikan dengan kebutuhan nyata di lapangan. Paradigma untuk kemungkinan ketiga ini sementara kita sebut sebagai ”paradigma tengah” atau tepatnya ”paradigma pragmatis”. Di dalam paradigma ini unsur ketiga, yakni industri, perlu diikatkan dalam penggabungan ristek dan dikti. Hal ini mirip yang terjadi di Jepang saat Restorasi Meiji pada tahun 1870, Korea pada 1971, dan Taiwan pada 1978. Trilogi yang terdiri dari ristek-dikti-industri telah mengubah ketiga negara tersebut menjadi negara industri yang sangat disegani.

Dalam konteks Indonesia, industri-industri seperti PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT PAL Indonesia, PT INKA, PT Perkebunan, PT Biofarma, Lembaga Eijkman, serta lembaga dan PT industri lainnya perlu disatupadukan dengan ristek dan dikti dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan demikian, industri bukan sebagai ruang praktikum saja, melainkan menjadi muara akhir karya ristek dan dikti.

Artinya, industri-industri tersebut akan menjadi busur lepas bagi karya-karya mahasiswa, dosen, dan peneliti ke tengah-tengah pasar industri Indonesia maupun dunia (lihat pidato dies UGM, Desember 2013). Dengan demikian, konsep dan kriteria perekrutan dosen akan berubah sehingga dimungkinkan praktisi dapat menjadi dosen di perguruan tinggi ketika mereka memiliki kapasitas membawa riset dan dikti ke tataran praksis berupa produk-produk industri. Melalui trilogi tersebut, Indonesia dibangkitkan menjadi negara ”swa-industri” dan bukannya negara ”pasar industri” bagi produk-produk negara lain.

Dalam paradigma pragmatis atau paradigma tengah ini dinding-dinding perguruan tinggi diruntuhkan sehingga mahasiswa dapat berlari kencang di udara bebas keilmuan. Demikian juga dinding-dinding perseroan industri juga harus dirobohkan untuk dimasuki mahasiswa-mahasiswa yang belajar sekaligus berkarya sehingga tidak ada dikotomi atau separasi antara perguruan tinggi dan lembaga-lembaga industri di luar perguruan tinggi (khususnya industri yang tergabung dalam badan usaha milik negara).

Dalam paradigma ketiga ini, pengertian-konsep-definisi tentang kampus diperluas sampai menyusup ke lembaga-lembaga yang terkait dan berada di luar perguruan tinggi, sehingga Tri Dharma Perguruan Tinggi diubah urutannya menjadi: (1) Pengabdian kepada Masyarakat, melalui (2) Penelitian dan Pengembangan, dan (3) Pendidikan dan Pengajaran.

Tipologi pendidikan tinggi
Kemungkinan keempat yang dapat terjadi adalah apabila keseluruhan kemungkinan tersebut terjadi. Artinya, kemungkinan satu, dua, dan tiga menjadi kenyataan praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia sehingga penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia memiliki tiga tipologi.

Tipologi pertama adalah kelompok perguruan tinggi yang meletakkan riset sebagai tulang punggung sekaligus ujung tombak penyelenggaraan kegiatan pendidikan sehingga struktur dan substansi kurikulumnya memberikan porsi besar kepada kegiatan riset. Untuk itu nomenklatur mata kuliah baru yang berbasis riset  perlu menjadi pekerjaan rumah nasional untuk dirumuskan melalui forum konsorsium-konsorsium bidang ilmu. Urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi: (1) Penelitian dan Pengembangan, (2) Pendidikan dan Pengajaran, serta (3) Pengabdian kepada Masyarakat.

Tipologi kedua adalah kelompok perguruan tinggi yang meletakkan pendidikan dan pengajaran sebagai kegiatan utama yang didukung riset dan pengabdian masyarakat. Kelompok perguruan tinggi ini adalah kelompok yang saat ini kita sudah menjalankan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan mapan sejak awal Republik ini berdiri sampai saat di bawah payung institusi Kemdiknas dan Kemdikbud. Urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang baku adalah: (1) Pendidikan dan Pengajaran, (2) Penelitian dan Pengembangan, serta (3) Pengabdian kepada Masyarakat.

Tipologi ketiga adalah kelompok perguruan tinggi yang mengembangkan diri menjadi perguruan tinggi yang berorientasi pada industri, sehingga kegiatan pendidikan dan penelitian yang diselenggarakan didesain untuk berujung pada karya-karya industri yang secara nyata dilakukan oleh perseroan-perseroan BUMN seperti disebutkan di atas. Urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi: (1) Pengabdian kepada Masyarakat, (2) Penelitian dan Pengembangan, serta (3) Pendidikan dan Pengajaran.

Ketiga tipologi dapat menjadi tipologi perguruan tinggi nasional dengan tugas khusus yang diberikan oleh negara kepada kelompok-kelompok perguruan tinggi tertentu, atau dapat menjadi tipologi internal di dalam perguruan tinggi dalam bentuk kelompok program studi, jurusan, bagian, atau fakultas. Tentu hal ini akan membawa implikasi dan penyesuaian pada aspek teknis dan prosedural penyelenggaraan pendidikan tinggi, termasuk persyaratan dan ketentuan angka kredit kenaikan pangkat dan jabatan dosen.

Keuntungan dari berjalannya seluruh tipologi di atas dalam praktik pendidikan tinggi di Indonesia adalah: (1) perkembangan dan pengembangan ilmu yang sampai saat ini sudah berjalan dapat dipelihara, (2) agenda-agenda serta jaringan-jaringan riset yang sudah berkembang sampai saat ini tetap dapat dipelihara dan dikembangkan, dan (3) perubahan ke arah Indonesia menjadi negara  ”swasembada industri” dan ”swadaya industri” melalui perubahan penyelenggaraan dan format baru kelembagaan pendidikan tinggi dapat direalisasikan.

Dengan demikian, perubahan bukan sekadar hanya perubahan ”label”, melainkan perubahan ke arah mana Indonesia ini akan menuju melalui pendidikan tingginya. Selamat pagi Indonesia.

Sudaryono
Guru Besar FT-UGM

0 komentar: