Tanggung Jawab atas Pendidikan


Sering terdengar slogan bahwa kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa tak terutama tergantung kepada sumber daya alam, yang di Indonesia sudah hampir terkuras habis, tetapi kepada sumber daya manusia.

Korea Selatan dan Singapura bisa disebut contoh dekat. Namun, dalam slogan itu jarang diungkapkan perbedaan antara kedua sumber daya itu. Sumber daya alam (SDA) diberi oleh alam yang pemurah, sementara sumber daya manusia (SDM) harus dibuat manusia sendiri. SDA bersifat given, sedangkan SDM merupakan suatu kualitas yang harus diproduksi manusia.

Beberapa minggu lalu Presiden Joko Widodo membuat pernyataan yang patut diperhatikan, dan membangunkan kita dari kesadaran yang tidur nyenyak. Berkata Presiden, tahun 1970-an Indonesiabooming minyak. Negara seakan terapung di atasnya. Tetapi, akhirnya kita tak dapat suatu apa kecuali bahwa Pertamina hampir saja bangkrut. Tahun 1980-an ada booming kayu, tetapi yang didapat negara hanya gundulnya hutan tropis di Sumatera dan Kalimantan, dan meningkatnya kerentanan terhadap banjir setiap hujan turun. Tahun 2000-an ada booming mineral, seperti batu bara, tetapi tak ada yang tertinggal untuk negara dan bangsa. Hasilnya, hancurnya lingkungan dengan depresiasi yang luar biasa berhadapan dengan 95 persen eksportir yang tak punya nomor pokok wajib pajak. Satu-satunya yang masih terselamatkan hanyalah laut, sehingga pencurian kekayaan laut harus dihentikan dengan tegas.

Tentu saja Presiden Jokowi menyadari pentingnya SDM sekalipun hal itu tak disinggung dalam pernyataannya. Kita tahu, SDM harus dibuat, harus diproduksikan. Adapun jalan untuk menghasilkan SDM adalah pendidikan. Horace Mann, pemikir pendidikan yang sering dikutip filsuf John Dewey berkata education is our only political safety, outside of this ark is the deluge (pendidikan adalah pengamanan politik kita satu-satunya, di luar bahtera ini hanya ada banjir dan air bah).

Menurut Mann, pendidikan umum merupakan penemuan terbesar manusia. Organisasi-organisasi sosial lain semuanya hanya kuratif dan remedial sifatnya. Sekolah saja yang dapat mencegah dan menangkal kesulitan dan bencana. Namun demikian, hanya pendidikan dengan asas-asas dan praktik yang benarlah yang dapat menjadi pengamanan politik dan menciptakan SDM, yaitu orang-orang yang dilengkapi tingkat kecerdasan tertentu dengan watak danprinsip-prinsip tertentu. Orang-orang yang dididik dengan baik dapat membantu proses produksi dalam ekonomi dan memperkuat integrasi sosial dalam kelompoknya. Sebaliknya, pendidikan yang centang-perenang, tanpa arah dan tujuan jelas, hanya akan menghasilkan orang-orang yang menjadi beban masyarakatnya dan sumber masalah yang mempersulit kehidupan bersama.
Pendidikan dan pengajaran

Ada pandangan yang membedakan pendidikan dan pengajaran. Kurang jelas apakah pembedaan ini maksudnya menunjukkan pembagian tugas, seakan-akan sekolah hanya mengurus pengajaran, sementara pendidikan anak didik menjadi tanggung jawab masing-masing keluarga. Apa pun maksud pembedaan itu, satu hal perlu ditegaskan di sini, yaitubahwa pengajaran dan pendidikan bisa dibedakan, tetapi tak pernah bisa dipisahkan. Alasannya, pengajaran yang diajarkan di sekolah tak dimaksudkan hanya untuk menjadi transfer pengetahuan. Pengajaran memang bertujuan menyampaikan pengetahuan, tetapi pengetahuan yang ditransfer itu harus menjadi sarana bagi pendidikan anak didik dan unsur dalam pembentukan kepribadian mereka.

Dalam pengajaran itu mereka dilatih berpikir, bertanya, dan perlahan-lahan memahami bagaimana pengetahuan disusun dengan metode dan sistematika tertentu, dan bagaimana pula pengetahuan itu telah diperoleh dan apakah dapat diuji kesahihannya. Melalui pengetahuan itu terbuka wawasan tentang alam dan masyarakat, dan bagaimana mestinya orang bersikap terhadap alam dan berperilaku terhadap anggota masyarakat. Singkat kata, pengajaran menyampaikan pengetahuan, dan pengetahuan mempertajam nalar, membentuk watak, dan mematangkan kepribadian.

Pengajaran yang tak dihayati sebagai sarana pendidikan akan berubah mekanis dan membuat otak anak didik seolah-olah filekomputer yang hanya berfungsi menampung informasi. Bertrand Russel, filsuf Inggris terbesar abad XX dan pemenang Nobel untuk kesusastraan, mengajukan kritik tajam dan sengit terhadap pendidikan yang diperlakukan hanya sebagai pengajaran. Menurut dia, kita memang sanggup menciptakan berbagai perlengkapan dan membuat alat-alat, namun kita bisa tetap primitif dalam metode dan teknik, kalau kita mengira pendidikan hanya menjadi transfer pengetahuan yang sudah baku, dan bukannyasarana membentuk kebiasaan dan sikap ilmiah.

Ciri utama orang kurang terdidik adalah sikap tergesa-gesa dalam membentuk pendapatnya, yang kemudian dipertahankan secara mutlak. Sebaliknya, seorang terpelajar akan sangat berhati-hati dalam berpendapat dan selalu berbicara dengan modifikasi. Latihan-latihan dalam pendidikan melalui pengajaran lambat laun akan membentuk intellectual conscience atau nurani intelektual yang ditandai oleh dua hal utama, yaitu sikap untuk percaya hanya kalau ada bukti-bukti yang bisa dipegang, dan kesediaan mengakui bahwa bukti-bukti itu pun masih bisa salah.

Pembentukan nalar yang berhasil dalam pendidikan dapat mengubah pandangan seseorang secara radikal, seperti sikap lebih menghargai seni dan keindahan daripada kekayaan dan kemewahan, atau lebih mengutamakan kecerdasan dan rasa percaya diri daripada kebanggaan terhadap status dan jabatan. Perubahan sikap inilah yang menandai munculnya masa Renaisans di Eropa yang bermula di Italia pada abad XIII-XIV dan diteruskan beberapa abad kemudian. Untuk kita, pendidikan dapat membuat orang sanggup mengontrol insting posesif berlebihan. Materialisme praktis yangdibawa masuk ke Tanah Air oleh kapitalisme, sudah membuat orang menganggap sama dua hal yang berbeda sekali, yaitu menikmati dan memiliki.
Sulit sekali menemukan orang bermodal yang membiarkan bukit anggrek indah di hutan dinikmati banyak orang tanpa harus membeli dan memilikinya untuk diri sendiri. Orang bisa menikmati tanpa harus memiliki, dan lebih sering orang memiliki tanpa sanggup menikmati. Dalam bidang sosial gejala ini terlihat dalam bertambah kayanya sekelompok kecil elite, tanpa ada perhatian dan keterbukaan hati untuk menikmati kemajuan orang lain berkat bantuan yang diberikan. Filantropi rupanya asing pada awal kapitalisme. Keserakahan merupakan Kinderkrankheit des Kapitalismus atau penyakit kanak-kanak dalam kapitalisme.

Mentalitas dan sikap ilmiah

Studi tentang sejarah ilmu pengetahuan pernah dilakukan filsuf Alfred North Whitehead dan dikemukakan dalam serangkaian kuliah di Universitas Harvard pada paruh pertama 1920-an dan kemudian diterbitkan sebagai buku Science and The Modern World. Sebuah tesis yang dipertahankannya dengan berbagai bukti historis ialah bahwa pembentukan mentalitas dan sikap ilmiah sering kali lebih penting dan lebih mendorong kemajuan dibandingkan kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Hadirnya teknologi di suatu negara tak dengan sendirinya menunjukkan kemajuan negara itu dalam ilmu dan teknologi, karena produk teknologi selalu bisa dibeli. Suatu negara dapat dikatakan maju kalau dapat memproduksi teknologi itu, bahkan menemukan jalan memproduksi teknologi baru.

Lukisan perkembangan ilmu dan teknologi di Eropa oleh AN Whitehead dapat mengilustrasikan hal ini. Entakan besar dalam ilmu pengetahuan alam dan humaniora terjadi di berbagai negara Eropa pada abad XVII yang disebutnya abad para genius. Dalam kesusastraan ada Miguel de Cervantes di Spanyol yang menulisDon Quixote; di Inggris berkibar Shakespeare yang memberi watak kepada sastra dan bahasa Inggris. Keduanya wafat pada 27 April 1616. Dalam filsafat muncul Descartes di Perancis, Francis Bacon dan John Locke di Inggris, Baruch Spinoza di Belanda, dan Leibniz di Jerman. Dalam fisika berderet nama, seperti Newton di Inggris, Robert Boyle di Irlandia, dan Huygens di Belanda. Dalam astronomi kita kenal Galileo Galilei di Italia dan Johannes Kepler di Jerman. Dalam matematika ada Blaise Pascal di Perancis dan dalam biologi ada William Harvey di Inggris yang menemukan sistem peredaran darah kita.

Nama-nama ini hanya sebagian kecil dari daftar panjang para genius yang berkarya abad XVII. Para ahli sejarah ilmu pengetahuan masih meneliti mengapa lahir demikian banyak genius pada masa ini. Menurut Bertrand Russel yang menulis buku sejarah filsafat Barat yang banyak dipuji, abad XVI adalah abad yang mengalami kegersangan filsafat karena peperangan antaragama. Perang Tiga Puluh Tahun antara pihak Katolik dan Protestan, akhirnya menimbulkan anggapan bahwa kesatuan dalam dogma agama yang diidamkan dalam Abad Pertengahan sudah tak mungkin tercapai lagi. Setiap orang sebaiknya berpikir sendiri untuk dirinya, juga mengenai soal-soal fundamental. Hasrat untuk kebebasan berpikir dan keengganan kepada soal-soal teologis lambat laun melahirkan kegairahan baru untuk hal-hal sekuler, yang bermuara kepada ilmu pengetahuan. Mentalitas baru inilah yang melahirkan para genius.
Di Indonesia, almarhum Prof Sartono Kartodirdjo dari Universitas Gadjah Mada pernah menceritakan anekdot perilaku mahasiswanya, termasuk mahasiswa asing. Mahasiswa Jepang yang membeli sepeda motor baru memanfaatkan hari liburnya pada akhir pekan untuk membongkar seluruh sepeda motor dan memereteli berbagai bagiannya, kemudian disusun kembali untuk mengetahui struktur mesin dan sistem mekaniknya. Sebaliknya, mahasiswa Indonesia yang membeli sepeda motor baru akan segera mengunjungi pacarnya, mengajaknya keliling kota, dan melewatkan acara malam minggu bersama.

Dari segi mentalitas, mahasiswa Jepang itu punya mentalitas teknologis, sementara mahasiswa kita masih hidup dalam mentalitas konsumeristis. Diterapkan di sekolah, pengajaran dan pendidikan bukan saja menyajikan science products (produk ilmu pengetahuan), tetapi mendorong science production (bagaimana ilmu diproduksikan). Berbagai bentuk pengajaran dan pendidikan tujuan utamanya bukanlah melakukan transfer pengetahuan sebanyak-banyaknya, melainkan menciptakan suasana dan motivasi agar peserta didik didorong mencari dan menghasilkan pengetahuan baru dalam suatu bidang penelitian, entah dengan mengidentifikasi bidang-bidang penelitian yang belum banyak dikaji dan dapat dijadikan obyek penelitian agar melengkapi penelitian-penelitian yang sudah ada, atau dengan mencoba metode dan teknik penelitian baru yang menyorot aspek tertentu dari suatu obyek penelitian yang sudah diteliti sebelumnya, tetapi yang kemudian dijelaskan dengan cara lebih komprehensif.

Pada titik ini dua kepentingan patut diperhatikan. Pertama, kepentingan validasi, yaitu pengujian pengetahuan agar pengetahuan itu terjamin kesahihannya, sebelum digunakan lebih banyak orang. Pengetahuan yang akan digunakan berbagai pihak, haruslah terhindar sejauh mungkin dari kekeliruan dan kesalahan entah mengenai data yang dikumpulkan, atau penjelasan tentang data itu. Pengetahuan fisika, biologi, kimia atau pengetahuan ilmu-ilmu sosial yang menjadi konsumsi publik, harus terjamin kesahihannya oleh validasi yang memenuhi syarat pengujian, agar pemakaian atau penerapan pengetahuan itu oleh pihak lain tak merugikan atau membahayakan mereka.

Kedua, pendidikan dan pengajaran harus dapat menunjukkan pentingnya aspek penemuan dalam ilmu pengetahuan. Prinsipnya, pengetahuan bukan saja harus dijaga dan dirawat dari masa ke masa, tetapi perlu diperbarui dengan temuan baru. Inilah dimensi heuristik dalam ilmu pengetahuan. Temuan baru itu dapat berupa obyek baru dalam sebuah bidang studi dan penelitian. Temuan juga dapat berupa penjelasan baru tentang data lama yang sudah dikumpulkan dan obyek penelitian yang sudah diketahui sebelumnya.
Diterjemahkan ke istilah yang lebih sederhana validasi ilmu pengetahuan butuh sikap kritis di antara para peserta didik, dan kemampuan heuristis dalam ilmu pengetahuan tak berarti lain dari sikap kreatifanak didik dalam menghadapi tugas belajar mereka. Sikap kritis hanya dimungkinkan oleh pandangan yang menghadapi ilmu pengetahuan sebagai suatu disiplin, sedangkan sikap kreatif akan muncul dari penghayatan ilmu pengetahuan sebagai suatu art atau seni, yang butuh kebebasan dan keleluasaan dalam menanggapinya. Apakah kritik dan kreativitas, disiplin dan kebebasan, metodologi dan imajinasi, menjadi perhatian di sekolah-sekolah kita sekarang, dan dikembangkan dalam perimbangan yang optimal, itulah pertanyaan dasar tentang pendidikan kita di Indonesia sekarang.

Ignas Kleden
Sosiolog, Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

0 komentar:

Budaya Akademik

 


Salah satu kerisauan pengelola pendidikan tinggi-khususnya (sekarang) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi-adalah buruknya kinerja penelitian yang ditunjukkan oleh rendahnya jumlah publikasi dan kutipan ilmiah di jurnal internasional.
Kenyataan ini biasanya dibandingkan dengan Malaysia yang jumlah dosen/profesor dan perguruan tingginya lebih sedikit, tetapi jumlah karya ilmiahnya jauh melampaui kita.  Berbagai upaya telah dilakukan kementerian terkait untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas karya ilmiah, di antaranya mengharuskan tulisan di jurnal nasional dan internasional sebagai persyaratan kenaikan jenjang akademik dan pangkat bagi dosen dan guru. Mengharuskan mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 memublikasikan karya tulis dalam jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Bahkan, bermacam program dan dana penelitian ditawarkan sebagai perangsang. Sayangnya, beragam upaya itu hingga sejauh ini belum  menampakkan hasil berarti karena orientasi kebijakan lebih mengutamakan produk daripada proses akademik. Walhasil, aktivitas penelitian kebanyakan bersifat proforma alias basa-basi, bahkan tipu-tipu.
Sesuatu yang disebut karya ilmiah seyogianya lahir dari proses ilmiah, yaitu serangkaian kegiatan telaah dan percobaan mengenali, memahami, dan menemukan fenomena alami dan manusiawi sebagaimana adanya. Istilah ilmiah merujuk kepada kebenaran logis dan atau empiris:  bersesuaian dengan kaidah akal budi dan didasarkan pada serta didukung fakta dan pengalaman. Bagaimana mungkin produk ilmiah akan meningkat jika iklim akademik yang menjadi basis kegairahan berproses ilmiah di kebanyakan kampus diabaikan dan, karenanya, makin pudar.
Kampus kita dewasa ini lebih berbudaya politik dan komersial ketimbang berbudaya akademik.  Pemilihan pemimpin perguruan tinggi negeri, sebagai contoh, sudah biasa diikuti pembentukan tim sukses, disusul kasak-kusuk (lobi?) di kementerian karena menteri memiliki 35 persen hak suara dari total pemilih. Kemudian jajaran di bawahnya kelak disusun berdasarkan kepada intensitas keterlibatan  dalam tim sukses, bukan didasarkan kepada kapabilitas. Maka, di kampus tak jarang terbentuk klik-klikan yang  lebih suka memproduksi  intrik daripada karya ilmiah.
Selain itu, kampus yang oleh undang-undang diberi otonomi bidang akademik dan non-akademik lebih tertarik mengembangkan kemandirian non-akademik, terutama dalam mencari sumber pemasukan, seperti bermacam jalur penerimaan mahasiswa, model pembayaran uang kuliah, membuka program studi dan atau kegiatan yang laris manis. Pengelola kampus akhirnya lebih fokus memikirkan strategi mencari dana daripada strategi menghidupkan budaya ilmiah.
Kenyataan ini diperparah sistem birokrasi di kementerian pengelola perguruan tinggi (PT) yang rumit dan memerlukan duit dalam pengurusan berbagai hal, terlebih bagi PT swasta.  Mentalitas birokrat dan korporat lalu menjalari berbagai aktivitas kampus, termasuk urusan akademik dan pendidikan. Maka, jangankan kasmaran dengan kegiatan ilmiah, warga kampus malah sering kali berperilaku irasional dan tak produktif baik dalam interaksi pembelajaran maupun dalam pergaulan sehari-hari.
Dosen batu akik
Para pemimpin perguruan tinggi, dosen, bahkan guru besar kebanyakan masih  berbudaya feodal dan jarang open minded. Padahal, keterbukaan dan keingintahuan adalah ciri utama budaya akademik.  Tak jarang kita menyaksikan civitasacademica mengisi berjam-jam waktu luangnya dengan beragam kegiatan yang tak terkait pengembangan diri sebagai intelektual, seperti main gaple, game, dan (belakangan) menggosok-gosok batu akik.
Rendahnya publikasi ilmiah hanyalah simtom lemahnya budaya akademik-pemikiran, spirit, dan tradisi-untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi. Keunggulan akademik bergantung kepada budaya akademik. Oleh sebab itu, menurut Daoed Joesoef (Suara Pembaruan, 2/3/2012)  masalah pokok yang harus segera ditangani untuk mengatasinya adalah membina kampus menjadi komunitas ilmiah.
Budaya akademik dapat diwujudkan melalui pola perilaku, peraturan, dan fasilitas material pada perguruan tinggi (Xi Shen, 2012). Subyek budaya akademik adalah orang-orang yang mendasarkan perilakunya kepada nilai-nilai  ilmu pengetahuan yang terbentuk dari kecintaan dan kebiasaan pada (pencarian) kebenaran.  Mereka penggerak utama pembangunan budaya akademik melalui berbagai kegiatan yang mereka lakukan.  Skala dan tingkat penelitian, kuantitas, dan kualitas prestasi akademik, sangat bergantung kepada kemampuan mereka.  Tanpa orang-orang ini kiranya  tidak mungkin budaya akademik dapat ditumbuhkan. Maka, memperbesar jumlah dan peran kelompok ini merupakan langkah penting pertama dalam upaya membangun budaya akademik.
Pembentukan budaya akademik juga ditentukan oleh dasar dan orientasi kebijakan (terhadap) PT. Ide-ide yang dijalankan, peraturan, dan filosofi administrasi, manajemen, serta hubungan interpersonal berpengaruh besar kepada pembentukan pandangan, spirit, etika, dan atmosfer  lingkungan akademik. Karena itu, setiap keputusan yang diambil harus senantiasa  melekat kepada fungsi utama pendidikan tinggi yang, menurut Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Pasal 4), adalah mengembangkan kemampuan akal budi dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui tridarma.
Tridarma PT-pendidikan dan pengajaran; penelitian; dan pengabdian masyarakat-adalah bentuk pengamalan fungsi dasar perguruan tinggi.  Pendidikan dan pengajaran di PT, selain  mentransmisikan pengetahuan dan informasi ilmiah, juga membentuk pandangan dan sikap ilmiah. Fungsi ini sangat penting mengingat alumni PT lebih berpeluang untuk menjadi pemimpin. Para pemimpin dan lulusan PT diharapkan mendarmabaktikan dirinya kepada masyarakat dengan melakukan pencerahan dan memecahkan berbagai masalah berdasarkan pengalaman dan prinsip ilmiah yang diperolehnya sesuai dengan moto, “Ilmu sebagai alat pengabdian”.
Pengabdian masyarakat utamanya bukanlah kerja bakti sekelompok  mahasiswa dan atau dosen turun mengadvokasi dan melakukan hal remeh-temeh di tengah masyarakat. Darma pengabdian sejatinya adalah bagaimana PT, langsung atau tak  langsung,  menjalankan fungsi saintifik di antaranya mengeksplanasi,  memprediksi, serta mendorong masyarakat agar  terhindar dari petaka/kerugian atau memanfaatkan peluang dari perkembangan perilaku alami dan manusiawi. PT dengan pusat pengkajian dan penelitiannya seharusnya menjadi mitra tak terpisahkan bagi pemerintah dan industri.
Kegiatan dasar
Penelitian ilmiah adalah kegiatan dasar PT, yang selain bertujuan menguji, mengembangkan, dan menghasilkan teori,  juga  sebagai pusat habituasi akademik melalui keterlibatan dalam ilmu sebagai suatu proses. Secara umum  karena berbagai alasan, gairah penelitian PT kita sangat lemah sehingga aura akademik redup dan karya ilmiah rendah. Meskipun demikian, pada 4.265 PT kita terdapat bagian yang tradisi penelitian dan budaya ilmiahnya bagus sehingga dapat dijadikan basis pengembangan.
Penggabungan pengelolaan PT dengan kementerian riset dan teknologi seyogianya bukan sekadar menempelkan bagian terpisah, tetapi membentuk entitas  baru yang melahirkan strategi besar riset nasional yang berpusat kepada PT sehingga selain berbagai masalah teratasi-utamanya material dan finansial -juga penelitian PT mengalami pembaruan. Selanjutnya pembentukan budaya akademik menuntut kondisi material dan finansial tertentu. Bagi penelitian, kondisi kedua hal itu adalah seperti akar pada pohon dan air pada ikan. Bagian penelitian, di antaranya, memerlukan ruang khusus (sering dikeluhkan para guru besar dan peneliti senior tak memiliki ruang), buku-buku, data informasi, instrumen eksperimental, sistem jaringan, dan alokasi dana yang memadai. Dengan dana penelitian memadai, instrumen dan peralatan canggih, sumber daya andal, data yang dibutuhkan dapat diejawantahkan.  Tanpa dukungan material dan finansial tertentu, tak ada budaya akademik yang dapat dimungkinkan dan tak ada prestasi akademik yang patut diharapkan.
Akhirulkalam, untuk memulai “gerakan” membangun budaya akademik, diperlukan prakondisi utama: komitmen pemerintah dan pemimpin PT.  Kemudian di kalangan civitas academica lainnya komitmen itu dapat dimunculkan melalui pengondisian motif dan insentif.  Pemerintah telah memberikan insentif, seperti tunjangan profesi, tunjangan kehormatan, dan lain-lain. Namun, pengelolaan motif yang berpangkal kepada trust kurang dilakukan dan masih menjadi tantangan di tengah situasi pemerintah dan masyarakat kita yang kian materialistik dan terdemoralisasi.
 
Mohammad Abduhzen
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI

0 komentar:

PT Kian Terindustrialisasi


Barangkali hanya di Indonesia setiap dosen wajib memikul tiga tugas sekaligus, yakni mengajar, meneliti, dan melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat. 

Tiga tugas yang dirumuskan dalam konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi ini wajib dijadikan napas setiap perguruan tinggi (PT), baik negeri maupun swasta. Kinerja seorang dosen dan reputasi sebuah PT pun diukur dari seberapa jauh ketiga dharma ini dilaksanakan secara konsisten, terintegrasi, dan proporsional. 

Bagi seorang dosen, tidak ada yang salah dengan konsep Tri Dharma PT. Sebagai pengajar, bagaimanapun, tugas pertamanya adalah mengajar. Dalam dharma inilah ia mendampingi mahasiswa dalam proses menjadi individu yang bukan hanya berkecakapan, sekaligus juga berwawasan dan berintegritas. Agar ilmu yang ia ajarkan senantiasa terbarui dan semakin kaya, maka melakukan penelitian pun menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Kemudian agar apa yang ia teliti dan ajarkan di hadapan mahasiswa itu juga terlihat manfaat praktisnya bagi masyarakat luas, maka kegiatan pengabdian kepada masyarakat menjadi dharma yang bukan hanya tak bisa dikesampingkan, juga bentuk pertanggungjawaban moral kepada salah satu pemangku kepentingan utama lembaga PT. 

Persoalannya, dalam kondisi di mana PT yang kian terindustrialisasikan, apakah seorang dosen dimungkinkan menjalankan tiga dharma itu secara semestinya? Yang saya maksud dengan PT yang kian terindustrialisasikan adalah pengelolaan PT yang semakin digerakkan nalar bisnis, yakni "cost and benefit analysis" secara finansial. Artinya, meski PT tak boleh menjadi lembaga yang berorientasi mencari laba, tetapi mendapatkan keuntungan materiil bukanlah hal yang dilarang. 

Hal itu bukan hanya berlaku bagi PT swasta, yang pendanaannya memang hampir 100 persen bergantung pada uang dari mahasiswa, juga bagi PT negeri. Sebagaimana diketahui, seiring arus liberalisasi dunia pendidikan tinggi, sebagian PTN di Indonesia ada yang telah  terlebih dahulu ter-"semiswasta"-kan, dan disusul banyak PTN lain dalam beberapa tahun belakangan ini. Artinya, jumlah PTN murni, dalam arti yang pendanaan untuk segala jenis biaya rutin operasional dan pengembangan sarana dan prasarana pendidikannya sepenuhnya bergantung kepada pemerintah, pun kian berkurang. 

Digerakkan nalar bisnis 

Salah satu wujud konkret dari pengelolaan PT yang digerakkan nalar bisnis adalah kebijakan pembukaan atau penutupan suatu program studi. Berbeda daripada negara-negara yang kebijakan resmi pendidikan tingginya berangkat dari proyeksi kebutuhan jangka sekian puluh tahun ke depan, kebijakan pembukaan dan penutupan suatu program studi yang terjadi di sebagian besar PT di Indonesia, baik negeri maupun/apalagi swasta, bergantung pada situasi pasar tenaga kerja. 

Maksudnya, bila pasar tenaga kerja tengah terjadi permintaan yang tinggi akan tenaga kerja dengan latar belakang keilmuan tertentu, maka PT pun berlomba membuka program studi dengan keilmuan-keilmuan itu. Sebaliknya, bila permintaan tenaga kerja dengan latar belakang keilmuan yang lain merosot, maka program-program studi dengan keilmuan-keilmuan itu pun cenderung ditutup, atau di-merger-kan dengan program studi lain yang secara formal dianggap berdekatan.  Dengan kata lain, suatu program studi dibuka dan dimekarkan, atau ditutup/merger nyaris semata-mata bergantung kepada laku-tidaknya program studi tersebut. Hampir-hampir tidak ada pertimbangan strategis keilmuan sekian puluh tahun ke depan. 

Apa konsekuensinya bagi dosen bila PT dikelola dengan nalar bisnis dan mentalitas "aji mumpung" itu? Di sinilah konsep mulia Tri Dharma PT menjadi sesuatu yang nyaris tak mungkin dilaksanakan dengan semestinya. 

Satu hal yang hampir selalu terjadi pada program-program studi yang tengah laku keras adalah tidak memadainya perbandingan antara pertumbuhan jumlah mahasiswa dan dosen. Rasio dosen-mahasiswa semakin melebar. Konsekuensinya, banyak dosen yang beban mengajarnya serta jumlah bimbingan penulisan tugas ilmiahnya makin tak masuk akal. Bisa dibayangkan bila seorang dosen harus mengampu 7-9 mata kuliah per semester dalam belasan kelas paralel, plus jumlah bimbingan penulisan tugas ilmiah (skripsi/tesis/disertasi) yang  mencapai puluhan. Apakah mungkin ia punya cukup waktu untuk melakukan penelitian dengan semestinya? 

Jangankan penelitian, mengajar dengan semestinya pun belum tentu sanggup. Mengajar pun menjadi mekanistis, tak ubahnya putar ulang materi yang telah ia susun sekian tahun sebelumnya. Memeriksa draf tugas-tugas ilmiah bimbingannya pun  jelas tak mungkin bisa cermat dan mendalam. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat  mungkin masih sanggup ia lakukan, tetapi barangkali hanya formalitas sekaligus tak lebih dari sekadar variasi dari rutinitas kegiatan di kampus. 

Artinya, Tri Dharma PT memang bisa berjalan, tetapi tak lebih dari formalitas belaka. Ini bukan karena para dosen enggan melaksanakannya, tetapi lebih karena akibat kondisi struktural PT yang semakin digerakkan nalar bisnis. 

Hal-hal yang ideal sering sulit diwujudkan bukan karena hal- hal itu terlalu ideal, tetapi lebih karena kondisi yang ada tidak mendukung untuk mewujudkannya. Akibatnya, yang terjadi tak lebih formalitas belaka. 

Solusinya ada dua pilihan: tuntutan yang ideal itu disederhanakan, atau kondisi riil yang ada dibuat kondusif bagi terwujudnya tuntutan yang ideal itu. Pilihan kedua hanya mungkin bila kebijakan yang cenderung melepas PT ke dalam mekanisme pasar direm, dan pemerintah kembali menjadi penanggungjawab utama penyelenggaraan PT. 

Yang terjadi sekarang ini adalah pemerintah menempatkan diri sebagai regulator segala aspek penyelenggaraan pendidikan tinggi, sembari mengurangi tanggung jawabnya. Tidaklah mengherankan bila banyak edaran atau surat keputusan atau instruksi pejabat tinggi dari kementerian yang mengurusi masalah pendidikan tinggi mentah dalam pelaksanaan di lapangan. Terlalu banyak contohnya untuk disebutkan di sini. 
BUDIAWAN 
DOSEN KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA, SEKOLAH PASCASARJANA UGM

0 komentar: