Sering kali selesai dari sebuah diskusi, seminar
atau acara bincang-bincang di televisi, saya merasa getun, kagum,
sekaligus sedih.
Dalam
ruang di mana perdebatan yang baru saja usai, para pembicara atau
narasumber-bisa pejabat publik, pemimpin partai, anggota parlemen, atau
tokoh masyarakat-beradu pendapat begitu keras, bertikai bahkan hingga
emosional; mengeluarkan kata kasar sampai tingkat "pelecehan". Debat
khas elite kita.
Namun, maaf, jangan Anda terpukau dulu. Semua
itu bukanlah "kejadian" sebenarnya. Sungguh mati, semua itu hanya
sandiwara; teater kata orang-orang kota zaman kini. Sebab setiba di
luar, mereka segera bersalaman dan berpelukan, cipika-cipiki, bahkan tertawa guyon bersama dan-boleh jadi-lalu ngopi bersama.
Tak
perlu pihak yang sensi(tif) tersinggung karena mungkin sebagian dari
ilustrasi di atas mirip dengan apa yang pernah ia lakukan. Bagi yang
tidak pernah sama sekali, syukurlah, karena ilustrasi di atas memang
hanya ilustrasi dari berbagai kejadian yang sering kali oleh sebagian
kalangan kemudian disebutnya sebagai "fenomena".
Apa yang menjadi
maksud dari lukisan kenyataan di atas adalah fakta bahwa negeri ini
kerap menampilkan dirinya sebagai panggung pertunjukan atau teater
yang-dalam kategori saya kebetulan sudah lebih dari 35 tahun bergelut
dalam dunia itu-amatir. Model pemanggungan yang dilakukan, mulai dari
pengambilan peran, akting, gestur hingga business act, terlalu mudah dibaca sebagai kepura-puraan. Dalam istilah lain: artifisial!
Bagi
yang bermata tajam, panggung teater amatir ini sering kita
saksikan. Hampir setiap hari, baik dalam bentuk tontonan langsung maupun
via media massa. Banyak kasus yang dikuak, baik oleh lembaga hukum
formal maupun media sosial informal, bagaimana misalnya teater amatir
terjadi di kalangan para penyusun dan pelaksana anggaran, di mana uang
rakyat digelembungkan sedemikian tinggi untuk sebagian besarnya dibagi
sesuai dengan porsi tanggung jawab atau jabatan aktor-aktor amatir yang
bermain di dalamnya.
Kita mafhum semua. Kita pun mafhum ketika
semua perangkat hukum, baik yang lunak maupun keras hanya dijadikan
properti atau figuran yang dapat dipermainkan bahkan dimanipulasi secara
kasar. Seolah-olah teater itu dapat menipu mata fisik ataupun batin
masyarakat. Seolah-olah waktu dan ruang tak bertelinga, tak bermata, tak
menjadi sejarah yang nyata.
Teater mutakhir kita
Belakangan ini kita kembali menyaksikan panggung teater amatir dalam skala yang cukup, ah tidak, tetapi sangat besar. Sebab, ia melibatkan begitu banyak elite atau petinggi negeri ini.
Tak
perlu berbasa-basi atau berlagak santun. Kita sama mengerti, teater
amatir besar-besaran yang mengisi hampir semua kepala berita media
massa, sosial, hingga warung kopi kaum pinggiran, berkaitan dengan
kontroversi pelantikan Kepala Polri baru menggantikan yang lama,
Jenderal (Pol) Sutarman.
Saya tidak perlu mengulangi
adegan-adegan dari teater amatir ini, yang hampir semua pelahap berita
menghafalnya jauh lebih baik daripada hafalan isi konstitusi atau kitab
agama masing- masing. Sejak awal, kita sudah tahu teater itu
berlangsung saat sebuah nama, dalam hal ini Komjen Budi Gunawan
dinominasikan sebagai calon Kepala Polri baru. Penunjukan nama itu
sebagai calon tunggal oleh Presiden mungkin jadi pintu masuk atau adegan pertama.
Adegan
kedua jadi sedikit menimbulkan ketegangan ketika mendadak sang
calon tunggal dijadikan tersangka oleh KPK. Dramatika seperti
tersutradarai dengan baik karena ketegangan muncul. Namun, keamatiran
itu terjadi begitu banal dan verbal ketika sang "tersangka" malah
direstui atau disetujui secara aklamatif oleh DPR. Ketegangan yang
biasanya jadi bumbu drama tragedi kini menawarkan sedikit komedi
(politik) di kalangan elite, yang notabene menciptakan kerancuan
bahkan kehancuran acuan atau standar normatif, moral, dan etik di
masyarakat luas.
Adegan-adegan berikutnya, kita sama jadi saksi
bahkan mungkin pemain figuran dengan bayaran murah atau mungkin gratisan
dari teater tingkat nasional yang membuat giris ini. Hingga akhirnya ia
berpuncak pada monolog dari seorang hakim (yang bagus sekali menjadi
ide sebuah drama, seni yang sesungguhnya), saat mengumumkan sebuah
keputusan yang dianggap banyak kalangan hukum sebagai tak sah, tidak
valid, bahkan merusak tatanan hukum itu sendiri.
Akan tetapi, itu
semua terjadi di negeri yang (konon) menempatkan hukum dalam posisi
tertinggi, bahkan di atas hukum adat, hukum agama, apalagi hukum preman
jalanan. Dia terjadi ketika rakyat ini-katanya-memiliki a new hope
dengan Presiden baru yang benar-benar dipilih oleh hati dan nurani
rakyat. Dia terjadi ketika kita sebagai bangsa membutuhkan kekuatan
(persatuan) hebat semua elemen masyarakat menghadapi ancaman serius dan
tantangan kehidupan global di jangka dekat ini.
Namun, semua itu
harus kita alami dalam sebuah pertunjukan teatrikal murahan dalam
negara yang kita cintai ini. Kita bertepuk tangan untuk komedi tragik
ala Aristophanes yang (sebenarnya cuma di panggung tapi) kini
berlangsung nyata di depan kita.
"The show must goes on"
Bagaimana
pertunjukan ini harus berakhir? Bagaimana sutradara atau penulis naskah
akan menciptakan akhir cerita? Akhir cerita sedih
seperti kebanyakan drama-drama terkenal dari wilayah totaliter, seperti
Rusia, Tiongkok, atau Eropa Timur, di masa lalu, atau akhir cerita yang
membahagiakan bergaya Hollywood? Indonesia, negeri yang dalam takdir
dan nasibnya sudah jadi bagian bukan hanya dalam genetika, melainkan
juga primordialitas kesejarahan kita ini, harus berani menciptakan
skenarionya sendiri, penutup pertunjukannya sendiri.
Tak ada pihak
yang lebih pantas melakukan itu, kecuali sutradara yang tertera dalam
poster atau katalog pertunjukan: Presiden Republik Indonesia. Bukan
sutradara-sutradara bayangan, yang hanya mencari nama, nebeng ngetop, mencari keuntungan dari sukses, atau mengintervensi dengan skenario kepentingannya sendiri. Bagi sutradara sejati, the show must goes on,
rakyat dan bangsa ini-pertunjukan dan teater profesional yang
sesungguhnya-harus terus berlanjut, harus dipertahankan, apa pun
taruhannya. Bukan hanya gengsi, nama, bahkan jabatan dan nyawa jadi
taruhannya. Lebih baik mati di kalangan,
mati dalam kesejatian di atas panggung, ketimbang meregang nyawa di
jalanan sebagai pesakitan moral, konstitusi dan cita-cita bangsa dan
para pendahulunya.
Kita tak perlu lagi disuguhi kepura-puraan
manipulatif ini, tak bisa lagi menerima pembangkangan pada etika, hukum
dan kesantunan budaya yang telah menegakkan negara ini selama 70 tahun.
Kita tak bisa menolerir perilaku segelintir pihak menciptakan "negara
dalam negara", negara bohongan dari komplotan yang mendestruksi negara
sejati yang (pernah) kita bela dengan darah dan nyawa.
Kini bukan
kesejatian seorang pemimpin lagi dibutuhkan, bersama iman, keberanian
dan "menjalankan yang benar bukan berpikir benar", sebagaimana adagium
sakti untuk seorang pemimpin besar. Kita tidak hanya meminta pemimpin
yang berani mengatasnamakan dirinya sebagai "pilihan rakyat" untuk
berpihak pada mereka yang telah memilihnya. Namun, kita juga mendesak
dan menuntut agar sang sutradara sesungguhnya menyelamatkan bangsa dan
negara bagi anak cucu pada masa depan.
RADHAR PANCA DAHANA
Budayawan
0 komentar: