Dana Penelitian Universitas

Hampir semua orang yang berkiprah di perguruan tinggi di Indonesia dan mereka yang prihatin pada perkembangan yang terjadi belakangan ini akan sependapat bahwa salah satu halangan besar kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia adalah kurangnya otonomi perguruan tinggi. 

Penjelasan rinci mengenai kepincangan dan kelumpuhan dalam kinerja universitas sekarang diterangkan dengan detail dalam buku Sulistyo Irawati (Ed) terbitan Yayasan Obor (2014) yang satu demi satu memperlihatkan bagaimana dalam pengelolaan keuangan, perancangan, dan terutama sistem pengajaran dan penelitian, campur tangan Mendiknas dalam urusan universitas menyebabkan ketertinggalan pendidikan tinggi di Indonesia. Usaha menguasai dan menentukan arah perkembangan pendidikan tinggi dari pusat yang ditujukan untuk meningkatkan mutu supaya setaraf dengan perguruan tinggi (PT) di negara tetangga bukan saja tidak berhasil, melainkan malah melahirkan keadaan lebih parah lagi.

Sistem pengajaran yang dipaksakan atas PT sudah sering jadi sorotan di forum diskusi dosen-dosen dan mudah-mudahan akan menjadi hal yang dititikberatkan oleh Forum Rektor dalam perundingannya dengan Menteri Pendidikan Tinggi. Akan tetapi, satu hal lagi yang selalu menjadi titik perhatian-dan tampaknya memusingkan kepala para pengelola PT di Indonesia yang jarang dapat penguraian tuntas-ialah masalah kurangnya penelitian berbobot di kalangan orang akademik.

Perhatikan bahwa yang disebut ialah penelitian yang berbobot, bukan kurangnya penelitian. Ketakpandaian Dikti membedakan antara kedua-duanya sedang membawa akibat yang berbahaya pada pengajaran di PT kini. Sebabnya begini. Mahasiswa, terutama di tingkat S-2 dan S-3, dipaksa menulis artikel untuk diterbitkan di majalah ilmiah sebagai syarat lulus dan dapat predikat tinggi. Tuntutan ini sangat tidak masuk akal dan, di mata orang yang mengetahui proses penerbitan artikel di majalah ilmiah, menjadi bahan olok-olokan sebagaimana diterangkan Franz Magnis-Suseno dalam artikel di Kompas dua tahun lalu dan juga sebagaimana disoroti buku Sulistyo tadi. Sebagai gambaran bahwa betapa aneh tuntutan Dikti itu: hampir tidak ada mahasiswa S-1 dan S-2 yang menulis artikel ilmiah di Inggris, bahkan mahasiswa S-3 pun jarang menulis artikel sebelum mereka mencapai gelar PhD.

Demi menyelamatkan mahasiswa Indonesia dari pusing kepala dan keputusasaan akibat terjebak ke dalam lingkaran setan ciptaan Dikti itu, sebaiknya dengan serta-merta tuntutan ini dihapuskan dan Dikti mengumumkan bahwa penganjuran menulis artikel sebagai syarat lulusan atau syarat lulusan dengan predikat cum laude langsung ditarik kembali.

Namun, masalah kurangnya penelitian yang berbobot tetap ada dan kita harus memikirkan bagaimana mengambil langkah seperlunya untuk mengatasinya. Di bawah ini saya mau menerangkan sistem yang dipakai di Inggris untuk mendukung penelitian yang bermutu tinggi. Tentu bukan karena saya menganggap sistem Inggris paling baik atau sistem itu dapat langsung diterapkan di Indonesia, tetapi karena itulah sistem yang saya kenal dengan baik dan, setidak-tidaknya, sistem Inggris cukup lumayan dan dapat digunakan sebagai model perbandingan dalam mempertimbangkan sistem Indonesia.

Sistem di Inggris 

Di Inggris terdapat peruntukan uang penelitian yang langsung dijatahkan ke universitas negeri oleh pemerintah dalam bentuk yang disebut block grant. Jumlah uang penelitian ini selalu berbeda dari satu universitas ke satu universitas serta dibagi dan dihitung sesuai dengan prestasi penelitian tiap jurusan di dalam universitas dalam periode sebelumnya, sebagaimana diukur dalam kerangka penelitian resmi (RFE namanya). Namun, lebih penting sebagai dana ini adalah dana yang disalurkan dari pemerintah ke dewan-dewan penelitian tertentu, seperti Medical Research Council (MRC), Science Research Council (SRC), Arts and Humanities Research Board (AHRB), dan Economic and Social Research Council (ESRC), British Academy. Pembagian uang pada usaha penelitian kira-kira serupa untuk semua dewan ini, tetapi oleh karena saya seorang antropolog yang banyak berhubungan dengan ESRC, dewan itulah yang kerjanya akan saya terangkan.

Pertama, perlu diterangkan bahwa selain dari pejabat tetap, direktur, sekretaris, dan karyawan administrasi, semua orang akademik yang bekerja untuk ESRC ialah sukarelawan yang diminta membantu dalam proses memilih penelitian yang bermutu. Mereka dengan senang hati menerima tawaran untuk duduk di panitia-panitia ESRC untuk jangka waktu lima tahunan karena mereka (dan universitasnya) menganggap tawaran itu sebagai satu kehormatan besar. Panitia-panitia itu terbentuk menurut ilmu-ilmu sehingga ada panitia ekonomi, panitia sosiologi, panitia antropologi, panitia kependudukan, dan sebagainya.

Tiap panitia bekerja menentukan pembagian dana. Pertama, untuk beasiswa calon S-2 dan S-3 yang melamar ke panitia tersebut. Tentu saja jumlah beasiswa ini sangat terbatas dan hanya dibagi kepada mahasiswa yang betul-betul gemilang prestasinya dan potensinya. Kedua, untuk dosen atau kelompok dosen yang mengajukan proposal tertentu yang lahir dari keinginan mereka menyelidiki sesuatu dalam bidangnya. Biasanya, besarnya dana tiap satu penelitian terbatas berkisar 5.000-200.000 poundsterling. Jumlah uang yang tersedia untuk peruntukan ini juga terbatas. Dalam hal ini, ESRC menerima kurang dari yang diterima SRC dan MRC untuk keperluan ini karena orang cukup sadar bahwa peralatan yang dipakai untuk penelitian di dua dewan terakhir itu sangat mahal.

Kemungkinan untuk memperoleh dana penelitian ini sangat tipis karena persaingan mendapatkannya sangat ketat. Dosen dari semua universitas didorong oleh PT mereka untuk melamar. Untuk memperbesar kemungkinan lamaran dinilai sangat tinggi oleh panitia yang bersangkutan, yang akan mempertimbangkan lamaran, semua universitas memiliki lembaga tersendiri untuk membantu dosen dalam cara menulis proposal, menghitung dengan saksama biayanya. Biaya yang dimaksud sudah termasuk biaya pengganti mereka mengerjakan tugas dosen yang bersangkutan kalau dia berhasil mendapat dana dan terpaksa absen dari universitas selama dia mengadakan penelitian dan/atau membiayai overhead (yaitu biaya kalau dalam usaha penelitian, dia menggunakan fasilitas universitas dan menyusunnya sedemikian rupa untuk memberi kemungkinan besar bahwa lamaran proposal diterima dan dipertimbangkan).

Akan tetapi, karena tiap universitas berbuat begitu, tetap susah kita sebagai pelamar mendapat dana karena 90 persen dari semua lamaran dinilai sangat baik (A atau A*). Jadi, sudah dari tingkat awal proposal sudah terjaga mutunya. Bukan saja dari inti proposal sendiri, melainkan dipandang juga dari segi rekam jejak orang yang melamar-berapa banyak artikel dan buku sudah terbit-dan mungkin tidak bahwa hasil penelitian akan segera terbit sesudah penelitian selesai.

Perlu diketahui juga bahwa sebelum panitia memberi keputusan apakah satu proposal diberi dana atau ditolak, proposal tersebut dikirim ke dua referee, penimbang, untuk menilai betapa bagus proposal. Kedua referee ialah orang yang ahli dalam bidang yang mau diselidiki oleh pelamar dan mereka juga bekerja secara sukarela dan tidak dibayar. Baru sesudah menerima laporan dari keduareferee, panitia mengambil keputusan. Semua pelamar, termasuk yang tidak berhasil, diberi kopi dari penilaianreferee walaupun mereka tidak diberi tahu nama dari referee. 

Bukti kuat 

Jenis dana ketiga yang dikelola ESRC ialah dana yang bersangkutan dengan proyek yang besar, yaitu salah satu dari empat lima tema yang diutamakan oleh ESRC yang akan berjalan selama lima tahun. Tema ini berkaitan erat dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh pemerintah dalam menghadapi perkembangan kesejahteraan untuk rakyat secara langsung dan hasil penelitian diharapkan akan menjadi bukti kuat yang akan mendasari kebijakan pemerintah di kemudian hari.

Tema ini misalnya ialah kemiskinan yang dialami kelas bawah yang tinggal di daerah perkotaan, dampak pemanasan dunia pada pertanian, masalah pengangguran di kalangan orang pemuda, dan sebagainya. Tema semacam itu dibiayai sangat tinggi sampai 2-3 juta poundsterling Inggris.

Biasanya untuk mendapat sebagian dari dana ini, yang melamar bukan perseorangan, melainkan satu tim yang terdiri atas beberapa jenis spesialis: ekonom, sosiolog, ahli ilmu bumi, perkotaan, dan lain-lain. Dan belum tentu mereka semua berasal dari universitas yang sama. Mereka bersama-sama, demi memenuhi hasrat menyelidiki satu permasalahan, bersedia bekerja sama dalam satu tim di mana masing-masing menyumbang keahliannya. Sekali lagi, proses mempertimbangkan proposal sama: dikirim kepada referee (cuma, untuk proyek besar seperti ini dikirim bukan kepada dua orang saja, melainkan kepada empat lima orang untuk mempertimbangkannya). Demikian diharapkan bahwa keputusan penghabisan oleh panitia akan jadi obyektif dan transparan.

Dengan sistem begini, pemerintah lewat ESRC berhubungan langsung dengan para peneliti dan merangsang mereka memperdalam ilmunya. Kadang-kadang dalam bidang yang seakan-akan tidak ada kaitan dengan keperluan negara, misalnya kalau antropolog meneliti pemberdayaan perempuan di salah satu negara di Afrika atau Asia-dan juga untuk mencari pemecahan pada masalah-masalah tertentu yang dihadapi oleh pemerintah pada ketika itu.

Sudah terang bahwa sistem ini sangat berbeda dengan apa yang kita saksikan di Indonesia sekarang dan mungkin tidak sesuai sepenuhnya dengan keadaan PT di Indonesia ketika ini. Namun, apa salahnya kalau kita menyelidiki kemungkinan bahwa adanya unsur-unsur dari sistem ini yang dapat diterapkan dengan mudah dan segera di dunia penelitian di Indonesia sekarang.

CONRAD WILLIAM WATSON

PROFESOR PADA SCHOOL OF BUSINESS AND MANAGEMENT ITB; EMERITUS PROFESOR PADA SCHOOL OF ANTHROPOLOGY, UNIVERSITY OF KENT, UK

0 komentar:

Kemanusiaan Adil dan Beradab



Baik pemerintah maupun kaum terpelajar kini semakin santer menyuarakan agar Indonesia segera menggerakkan pembangunan industrial secara besar-besaran.
Jika suara ini dikaitkan pada jargon revolusi mental Jokowi, ia kiranya mengisyaratkan adanya suatu revolusi industrial, paling sedikit berupa kemauan keluar dari jebakan ekonomi dan lembaga ekstraktif. Menggerakkan revolusi industrial bisa bermanfaat bagi kehidupan ekonomi sejauh secara bersamaan dipikirkan pula akibat sampingannya. Justru kelengkapan kerja seperti inilah yang selalu diabaikan. Kalau dalam berusaha demi kebaikan selama ini kita mengalami keburukan, otomatis diterima sebagai "ongkos" dari manfaat yang kita peroleh. Apakah ongkos itu wajar? Ternyata tak selalu ia turut diperhitungkan sebelumnya.
Revolusi ilmiah
Berhubung kita bertekad menciptakan suatu era peradaban industrial, ada baiknya kini merenungi pernyataan maha penting bagi masyarakat modern. Dalam hal apa perubahan substansial dari kehidupan yang dialami masyarakat modern berbeda dengan perubahan yang menandakan karakter bisnis dari komunitas industrial? Bagaimana alasan dan bobot dari dampaknya yang luar biasa? Maka, diperlukan suatu pemikiran pluridisipliner yang terpanggil untuk mengonfrontasi "revolusi industrial" yang asas-asasnya sedang dikutuk serta "revolusi ilmiah dan teknologis" yang beberapa manifestasi awalnya sudah terasa melalui serangkaian perubahan aktual dan perlu dibedakan dengan perubahan-perubahan akibat ekspansi dari sistem industrialisasi.
Konfrontasi total ini menyentuh opini yang melihat "revolusi ilmiah dan teknologis" sebagai lanjutan belaka, bahkan lebih ganas daripada "revolusi industrial" sehingga perlu diwaspadai. Padahal, "revolusi ilmiah" ini khas, spesial berupa reaksi terhadap "revolusi industrial" sehingga berpotensi, secara teoretis, mencetuskan sejumlah kegiatan human dan dari situ menyodorkan suatu visi yang-agar bisa diakui "baru", "optimis", dan "menjanjikan"-bisa lebih kritis terhadap situasi yang ada serta aneka ide yang terkait.
Revolusi industrial dan revolusi ilmiah berbeda secara esensial dalam pemutarbalikan tempat yang tersedia bagi manusia dan alam di proses produksi. Revolusi yang pertama berlandaskan kerja fisik tok, terbagi-bagi, repetitif dari massa pekerja yang melayani mesin. Revolusi kedua tampil di saat keterbatasan pengertian "kerja" itu goyah dasarnya. Ia baru dapat membuktikan elan vitalnya jika menggarap, pada tingkat yang lebih luas, "pembangunan permanen dari daya cipta human" dalam berproduksi ataupun berkarya di semua domain kehidupan.
Revolusi industrial berpegang pada ide bahwa penguasaan dunia obyektif berkat akumulasi pengetahuan, penyempurnaan peralatan teknis, dan pembangunan industrial mampu menjamin kenaikan umum tingkat kehidupan dan, dari situ, kemajuan humanitas. Namun, hasil faktualnya berupa suatu ketidakseimbangan yang serius antara peralatan teknis (mesin) dan peralatan finansial (modal) yang terlibat dalam kegiatan industrial. Manusia hanya apendiks dari masing-masing peralatan tadi, pekerja ditetapkan melayani mesin agar berfungsi sebagaimana pengusaha melayani modal agar berguna. Kalaupun kelihatan ada perbaikan tingkat hidup pekerja, ia hasil dari gerakan buruh radikal, perbaikan serba semu dan akhirnya dikuasai demagog diktatorial.
Sejauh mengenai "alam"-dengan potensi tradisionalnya yang telah diketahui dan dihormati oleh petani dan perajin-diserahkan untuk dieksploitasi habis-habisan berkat kemajuan teknis dan industrialisasi, tanpa memperhitungkan "kebutuhan" dan "kehidupan alami" dari ibu alam itu sendiri. Dengan kata lain, "manusia" dan "alam" menjadi mangsa dari revolusi industrial.
Revolusi ilmiah yang menyusul berangsur-angsur mengoreksi, bahkan membalik keadaan melalui kemampuan penalarannya dengan menunjukkan signifikansi kapasitas potensial dan daya aktivitas dari manusia dan alam yang selama ini diremehkan begitu saja. Dengan kata lain, mengubah pasangan manusia-alam dari "korban" menjadi "tuan". Promosi ganda yang berbobot ini menempatkan ilmu pengetahuan dan budaya di pusat dinamika dan konflik penentu dari dunia modern. Ilmu pengetahuan menjadi kekuatan produktif paling revolusioner dari masyarakat dan pembangunannya serta aneka penerapannya, menuntut pengintensifan pembudayaan kekuatan-kekuatan kreatif dan talenta dari massa besar manusia, begitu rupa hingga revolusi yang sedang berlaku merupakan pula revolusi kebudayaan yang terbesar dalam sejarah.
Perubahan-perubahan karakteristik dari komunitas industrial dewasa ini, seperti krisis pendidikan, konsumsi, dan kebudayaan massal, tampil dalam perspektif revolusioner ini sebagai gagap-gagap awal dari suatu transformasi positif yang memungkinkan perwujudan hasrat akan adanya konversi umum dari seluruh kehidupan human menjadi/suatu proses pembangunan manusia dan memelopori suatu kreasi kolektif yang sadar dari gaya, cara, dan lingkungan hidup.
Sesudah dikoreksi oleh revolusi ilmiah revolusi industrial harus digerakkan dalam rangka pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masa depan negara-bangsa. Di satu negara yang bertekad demokratis, wujud ini terjadi secara evolusioner, berangsur-angsur bagai suatu keniscayaan. Baik bagi praktik pemerintahan maupun buat teori akademisi, evolusi ini merupakan satu peralihan dari empirisme ke etika atau, bisa dikatakan, dari pragmatisme ke humanisme. Kebijakan-kebijakan peralihan ini pada gilirannya menuntut perubahan dalam pengertian pembangunan, perencanaan, dan pendidikan.
Masih ada negara berkembang, termasuk Indonesia, yang memberlakukan pendidikan dan kesehatan umum bagai pelayanan sosial sehingga tergolong di sektor konsumsi. Maka, ia dianggap bisa dipenuhi hanya berdasar adanya suatu kenaikan produksi sebelumnya. Teori pembangunan yang berlaku menerapkan suatu pemisahan absolut antara yang ekonomi dan yang sosial sebagaimana tecermin pada realitas administratif (baca: nomenklatur kabinet). Yang satu ditanggapi selaku lembu, yang lain sebagai pedati dan beban serta kecepatan jalannya pedati adalah fungsi dari kemampuan lembu.
Keberhasilan pembangunan sudah lama menyatakan lain. Dikotomi ekonomi dan sosial adalah produk kepicikan ekonomika yang menganggap misi penalarannya hanya mengurus aspek material dari kehidupan, bukan aspek-aspek lain yang kini dimuliakan, seperti pendidikan. Sekarang telah diketahui, kecuali di Indonesia, bahwa pertumbuhan ekonomi an sich memerlukan investasi "sosial-kultural", bahwa perbandingan yang konstan antara modal dan produksi bisa terjaga tidak hanya berkat masukan modal, tetapi juga tergantung pada sumbangan lain-lain faktor human murni: kompetensi teknis, stimula berproduksi, tingkat umum pendidikan, mutu riset, dan nasionalisme.
Manusia dan pembangunan
UNESCO sudah lama mengakui pendidikan bukan lagi semata-mata tergolong benda konsumsi. Ia sudah menjadi unsur produktivitas, jadi suatu faktor produksi. Bahkan, Bank Dunia juga berkesimpulan begitu, bersedia memberikan pinjaman berhubung pendidikan menghasilkan sumber daya manusia (human resources). Dari sumber ini pada gilirannya mengondisikan efektivitas pemanfaatan sumber daya alam (natural resources). Jadi, di kabinet, pendidikan lebih pantas dimasukkan ke bidang ekonomi, turut bicara urusan ekonomi. Berarti, setiap analisis pembangunan dan setiap perencanaan, walaupun ia pada awalnya merupakan respons terhadap masalah ekonomi tok, harus meluas ke sektor sosial, diletakkan pada level nasional, bukan malah mengerdilkan pembangunan nasional.
Apakah benar manusia merupakan sumber esensial, bahkan satu-satunya, bagi pembangunan? Pasti tidak! Namun, jauh sebelum sumber, sebelum tergolong agen pembangunan, manusia sudah menjadi tujuan finalnya. Sebab, apa yang dibangun? Siapa yang dibangun dan untuk siapa? Manusia inilah yang dibangun dan untuk dia sendiri, demikian kata Direktur Jenderal UNESCO Rene Maheu, di depan sivitas akademika Sorbonne (April 1964).
Memang betul jika manusia dan aktivitas sosial dipromosi menjadi agen pembangunan. Namun, satu-satunya ekonomi yang pantas dikualifikasi "humanis", sejujurnya, adalah ekonomi yang menetapkan manusia selaku alfa dan omega dari pembangunan. Lalu, pendidikan melatihnya bisa menjadi makhluk pencipta nilai dan pemberi makna pada nilai sesuai tuntutan situasi dan kondisi kehidupan.
Pembangunan perlu direncanakan. Perencanaan diniscayakan karena adanya keterbatasan ekonomika. Penalaran disiplin ini dapat menyusun deskripsi tipologis dari tujuan, tetapi tak dapat menyuguhkan suatu teori tentang tujuan. Teori ini berasal dari etika. Aneka pilihan ekonomi yang ditetapkan oleh perencanaan selalu didahului opsi lebih fundamental, yang teori ekonomi tak bisa sendirian menjelaskan, apalagi menganalisisnya. Kegunaan besar perencanaan adalah mengungkapkan unsur kebebasan, unsur etika yang mendahului pembangunan. Perencanaan mengembalikan manusia ke dirinya sendiri, dengan memberikan kepadanya kesempatan menguasai nasibnya. Inilah nilai yang essentially intelektual dan sukarela, yaitu nilai etis perencanaan.
Dan, ini alasan mengapa perencanaan merupakan operasi yang sekaligus demi menangani pembangunan dalam keseluruhannya dan yang mempertaruhkan manusia sebagai satu keseluruhan, tidak melulu homo economicus. Operasi keintelektualan murni ini menetapkan dan memilih tujuannya sepadan dengan semua kegiatan human yang diperhitungkan dan, sesuai tujuan tadi, diorganisasi dan diproyeksi dalam waktu sumber-sumber yang tersedia. Berkat semua kegiatan terpadu itu perencanaan menjadi suatu alam pikiran (mindset), pencetus gerakan ganda ke arah manusia dan ke arah semua manusia, jadi humanisme dari pembangunan. Bukankah hal ini yang pernah dinarasikan dalam ensiklik Pacem in Terris dan diisyaratkan oleh sila kedua Pancasila. Baik narasi maupun isyarat tadi sama-sama mengingatkan betapa pentingnya how men behave, bukan how the markets behave, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
DAOED JOESOEF
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

0 komentar:

Teater Amatir Indonesia

 
Sering kali selesai dari sebuah diskusi, seminar atau acara bincang-bincang di televisi, saya merasa getun, kagum, sekaligus sedih. 

Dalam ruang di mana perdebatan yang baru saja usai, para pembicara atau narasumber-bisa pejabat publik, pemimpin partai, anggota parlemen, atau tokoh masyarakat-beradu pendapat begitu keras, bertikai bahkan hingga emosional; mengeluarkan kata kasar sampai tingkat "pelecehan". Debat khas elite kita.

Namun, maaf, jangan Anda terpukau dulu. Semua itu bukanlah "kejadian" sebenarnya. Sungguh mati, semua itu hanya sandiwara; teater kata orang-orang kota zaman kini. Sebab setiba di luar, mereka segera bersalaman dan berpelukan, cipika-cipiki, bahkan tertawa guyon bersama dan-boleh jadi-lalu ngopi bersama. 

Tak perlu pihak yang sensi(tif) tersinggung karena mungkin sebagian dari ilustrasi di atas mirip dengan apa yang pernah ia lakukan. Bagi yang tidak pernah sama sekali, syukurlah, karena ilustrasi di atas memang hanya ilustrasi dari berbagai kejadian yang sering kali oleh sebagian kalangan kemudian disebutnya sebagai "fenomena".

Apa yang menjadi maksud dari lukisan kenyataan di atas adalah fakta bahwa negeri ini kerap menampilkan dirinya sebagai panggung pertunjukan atau teater yang-dalam kategori saya kebetulan sudah lebih dari 35 tahun bergelut dalam dunia itu-amatir. Model pemanggungan yang dilakukan, mulai dari pengambilan peran, akting, gestur hingga business act, terlalu mudah dibaca sebagai kepura-puraan. Dalam istilah lain: artifisial!

Bagi yang bermata tajam, panggung teater amatir ini sering kita saksikan. Hampir setiap hari, baik dalam bentuk tontonan langsung maupun via media massa. Banyak kasus yang dikuak, baik oleh lembaga hukum formal maupun media sosial informal, bagaimana misalnya teater amatir terjadi di kalangan para penyusun dan pelaksana anggaran, di mana uang rakyat digelembungkan sedemikian tinggi untuk sebagian besarnya dibagi sesuai dengan porsi tanggung jawab atau jabatan aktor-aktor amatir yang bermain di dalamnya.

Kita mafhum semua. Kita pun mafhum ketika semua perangkat hukum, baik yang lunak maupun keras hanya dijadikan properti atau figuran yang dapat dipermainkan bahkan dimanipulasi secara kasar. Seolah-olah teater itu dapat menipu mata fisik ataupun batin masyarakat. Seolah-olah waktu dan ruang tak bertelinga, tak bermata, tak menjadi sejarah yang nyata.

Teater mutakhir kita
Belakangan ini kita kembali menyaksikan panggung teater amatir dalam skala yang cukup, ah tidak, tetapi sangat besar. Sebab, ia melibatkan begitu banyak elite atau petinggi negeri ini.
Tak perlu berbasa-basi atau berlagak santun. Kita sama mengerti, teater amatir besar-besaran yang mengisi hampir semua kepala berita media massa, sosial, hingga warung kopi kaum pinggiran, berkaitan dengan kontroversi pelantikan Kepala Polri baru menggantikan yang lama, Jenderal (Pol) Sutarman.

Saya tidak perlu mengulangi adegan-adegan dari teater amatir ini, yang hampir semua pelahap berita menghafalnya jauh lebih baik daripada hafalan isi konstitusi atau kitab agama masing- masing. Sejak awal, kita sudah tahu teater itu berlangsung saat sebuah nama, dalam hal ini Komjen Budi Gunawan dinominasikan sebagai calon Kepala Polri baru. Penunjukan nama itu sebagai calon tunggal oleh Presiden mungkin jadi pintu masuk atau adegan pertama.

Adegan kedua jadi sedikit menimbulkan ketegangan ketika mendadak sang calon tunggal dijadikan tersangka oleh KPK. Dramatika seperti tersutradarai dengan baik karena ketegangan muncul. Namun, keamatiran itu terjadi begitu banal dan verbal ketika sang "tersangka" malah direstui atau disetujui secara aklamatif oleh DPR. Ketegangan yang biasanya jadi bumbu drama tragedi kini menawarkan sedikit komedi (politik) di kalangan elite, yang notabene menciptakan kerancuan bahkan kehancuran acuan atau standar normatif, moral, dan etik di masyarakat luas.

Adegan-adegan berikutnya, kita sama jadi saksi bahkan mungkin pemain figuran dengan bayaran murah atau mungkin gratisan dari teater tingkat nasional yang membuat giris ini. Hingga akhirnya ia berpuncak pada monolog dari seorang hakim (yang bagus sekali menjadi ide sebuah drama, seni yang sesungguhnya), saat mengumumkan sebuah keputusan yang dianggap banyak kalangan hukum sebagai tak sah, tidak valid, bahkan merusak tatanan hukum itu sendiri.

Akan tetapi, itu semua terjadi di negeri yang (konon) menempatkan hukum dalam posisi tertinggi, bahkan di atas hukum adat, hukum agama, apalagi hukum preman jalanan. Dia terjadi ketika rakyat ini-katanya-memiliki a new hope dengan Presiden baru yang benar-benar dipilih oleh hati dan nurani rakyat. Dia terjadi ketika kita sebagai bangsa membutuhkan kekuatan (persatuan) hebat semua elemen masyarakat menghadapi ancaman serius dan tantangan kehidupan global di jangka dekat ini.

Namun, semua itu harus kita alami dalam sebuah pertunjukan teatrikal murahan dalam negara yang kita cintai ini. Kita bertepuk tangan untuk komedi tragik ala Aristophanes yang (sebenarnya cuma di panggung tapi) kini berlangsung nyata di depan kita.

"The show must goes on"

Bagaimana pertunjukan ini harus berakhir? Bagaimana sutradara atau penulis naskah akan menciptakan akhir cerita? Akhir cerita sedih seperti kebanyakan drama-drama terkenal dari wilayah totaliter, seperti Rusia, Tiongkok, atau Eropa Timur, di masa lalu, atau akhir cerita yang membahagiakan bergaya Hollywood? Indonesia, negeri yang dalam takdir dan nasibnya sudah jadi bagian bukan hanya dalam genetika, melainkan juga primordialitas kesejarahan kita ini, harus berani menciptakan skenarionya sendiri, penutup pertunjukannya sendiri.

Tak ada pihak yang lebih pantas melakukan itu, kecuali sutradara yang tertera dalam poster atau katalog pertunjukan: Presiden Republik Indonesia. Bukan sutradara-sutradara bayangan, yang hanya mencari nama, nebeng ngetop, mencari keuntungan dari sukses, atau mengintervensi dengan skenario kepentingannya sendiri. Bagi sutradara sejati, the show must goes on, rakyat dan bangsa ini-pertunjukan dan teater profesional yang sesungguhnya-harus terus berlanjut, harus dipertahankan, apa pun taruhannya. Bukan hanya gengsi, nama, bahkan jabatan dan nyawa jadi taruhannya. Lebih baik mati di kalangan, mati dalam kesejatian di atas panggung, ketimbang meregang nyawa di jalanan sebagai pesakitan moral, konstitusi dan cita-cita bangsa dan para pendahulunya.

Kita tak perlu lagi disuguhi kepura-puraan manipulatif ini, tak bisa lagi menerima pembangkangan pada etika, hukum dan kesantunan budaya yang telah menegakkan negara ini selama 70 tahun. Kita tak bisa menolerir perilaku segelintir pihak menciptakan "negara dalam negara", negara bohongan dari komplotan yang mendestruksi negara sejati yang (pernah) kita bela dengan darah dan nyawa.

Kini bukan kesejatian seorang pemimpin lagi dibutuhkan, bersama iman, keberanian dan "menjalankan yang benar bukan berpikir benar", sebagaimana adagium sakti untuk seorang pemimpin besar. Kita tidak hanya meminta pemimpin yang berani mengatasnamakan dirinya sebagai "pilihan rakyat" untuk berpihak pada mereka yang telah memilihnya. Namun, kita juga mendesak dan menuntut agar sang sutradara sesungguhnya menyelamatkan bangsa dan negara bagi anak cucu pada masa depan.

RADHAR PANCA DAHANA
Budayawan

0 komentar: