Kisah anak-anak dari keluarga kurang mampu yang berhasil menembus perguruan tinggi sudah sering kita dengar.
Seperti dialami Raeni, anak tukang becak yang meraih IPK 3,96 di
Universitas Negeri Semarang. Ia bahkan mendapat tawaran kuliah S-2 ke
Inggris.
Setiap kali ke daerah pertanian, saya sering menemukan petani yang
melakukan segala upaya agar anak-anaknya jangan lagi jadi petani, dengan
menyekolahkan anaknya menjadi sarjana.
Namun, sukseskah mereka memutus mata rantai kemiskinan? Bukankah pada
statutanya kini PTN BH wajib memberikan beasiswa 20 persen untuk
kalangan kurang mampu?
Aliran kognitif
Kesadaran afirmatif, memberi akses pendidikan seperti di atas bukan
hanya ada di sini. Harusnya kita percaya sekolah bisa menjadi anak
tangga yang bagus untuk memutus mata rantai kemiskinan. Pendapat umum
mengatakan keluarga miskin melahirkan generasi-generasi yang sama
miskinnya karena ketiadaan akses untuk mencapai pendidikan yang tinggi.
Polanya begini: seorang anak lahir dari ibu yang menikah di usia
dini, lalu bercerai, ibu harus bekerja keras, pindah dari satu kota ke
kota lainnya. Kadang tinggal bersama nenek, menumpang hidup di kawasan
yang padat. Anak pergi sekolah dengan perut lapar, sementara teman-teman
ikut les Kumon atau dari guru sekolah. Lalu ia pun bosan dengan
sekolah, sering tak masuk, prestasi terpuruk, terlibat perkelahian, drop
out, punya anak di luar nikah, lalu jatuh miskin lagi. Begitu
seterusnya.
Mungkin, jika diberi gizi, perhatian, dan akses agar bisa sekolah
lagi, mereka akan bisa keluar dari mata rantai kemiskinan. Namun,
penerima Nobel Ekonomi tahun 2000, James Heckman, menggelengkan
kepalanya. Faktanya, hanya 3 persen yang bisa menamatkan perguruan
tinggi. Padahal, anak-anak dari keluarga biasa mencapai 46 persen.
Demikian juga kemampuan memperbaiki ekonomi keluarga: pendapatan
tahunan, pengangguran, angka perceraian, dan keterlibatan dalam
kriminalitas. Prestasi ekonomi keluarga miskin yang mendapatkan program
afirmasi pendidikan ternyata tetap sama dengan anak-anak yang drop out
dari sekolah. Apa sebab?
Tahun 1994 dua ilmuwan yang dituding rasis (Muray & Herrnstein,
dalam Bell Curve) mengarahkan temuannya pada masalah DNA. Namun,
berdasarkan kajian ekonometrika, Heckman menemukan masalahnya ada di
sekolah itu sendiri. Sekolah-sekolah yang sering kita lihat di sini
(terlalu kognitif dan membebani) tak akan mampu memutus mata rantai
kemiskinan. Sekolah kognitif terlampau mekanistik. Wajar sekarang kita
menyaksikan banyak sarjana menganggur, bahkan yang sudah bekerja kurang
efektif. Padahal, mereka tak kalah pengetahuan, indeks prestasi mereka
kini bagus-bagus. Cenderung kalah dengan lulusan luar negeri yang hanya
menempuh 124 SKS (S-1). Sementara sarjana kita menempuh 144-152 SKS.
Sekolah nonkognitif
Heckman menemukan variabel-variabel nonkognitif yang justru tak
diberikan di sekolah menjadi penentu keberhasilan seseorang untuk
memutus mata rantai kemiskinan. Variabel itu adalah keterampilan
meregulasi diri, mulai dari mengendalikan perhatian dan perbuatan,
sampai kemampuan mengelola daya tahan (persistensi), menghadapi tekanan,
menunda kenikmatan, ketekunan menghadapi kejenuhan, dan kecenderungan
untuk menjalankan rencana.
Nah keterampilan-keterampilan seperti itu, menurut Heckman, sering
kali absen dalam sekolah kognitif. Tanpa itu, anak-anak yang dibesarkan
dari keluarga menengah ke atas pun akan jatuh pada lembah kemiskinan.
Sekolah kognitif sendiri digemari banyak kalangan kelas menengah karena
substitusi atau penguatnya bisa dibeli di ”pasar”m semisal Kumon, guru
les atau orangtua yang rajin memberi latihan. Namun, anak-anak dari
kalangan kurang mampu punya banyak keterbatasan. Selain orangtuanya
tidak mengerti, mereka juga harus bekerja keras mencari nafkah di luar
jam kerja.
”Ilmu-ilmu tertentu itu, seperti kalkulus, sangat mekanistik,” kata
Paul Tough (How Children Succeed, 2012). ”Kalau memulai lebih dulu dan
banyak berlatih, mereka akan lebih cepat menyelesaikan soal-soalnya.
Namun, aspek-aspek nonkognitif tak bisa didapat dengan mudah.”
Itulah sebabnya di PAUD Kutilang Rumah Perubahan, kami mengembangkan
metode non-kognitif. Itu pun belum cukup. Guru dan orangtua diwajibkan
seminggu sekali mengikuti bimbingan cara membaca anak. Kebiasaan buruk
orangtua yang merupakan cerminan dari buruknya aspek nonkognitif tadi
menjadi penguat mata rantai kemiskinan di setiap generasi berikutnya.
Bimbingan dan metode nonkognitif itu harusnya dibangun sedari dini.
Tantangan-tantangan nonkognitif seperti itu tampaknya berat sekali
dibangun di sini mengingat dua-tiga generasi pendidiknya guru dan dosen
kognitif yang rewel dengan kemampuan menghafal, berhitung, atau
memindahkan buku ke kertas.
Saya ingin Anda menengok penjelajahan nonkognitif yang saya tanam
dalam kelas saya di UI. Satu kelas mahasiswa dikirim ke luar negeri
dalam program one person-one nation, lalu pengalamannya mereka tulis
dalam buku: 30 Paspor. Di situ anak-anak belajar menumbuhkan aspek
nonkognitif, merefleksikan kehidupan, mengambil keputusan dalam
menghadapi kesulitan seorang diri di luar negeri. Kita percaya
pendidikan bisa memutus rantai kemiskinan. Namun, bukan pendidikan
superkognitif seperti sering kita dengar dari orang-orang yang gemar
mendebatkan cuma soal kali-kalian, padahal persoalan hidup terbesar
justru ada di soal bagi-bagian. Dan untuk adil membagi dibutuhkan
keterampilan hidup nonkognitif.
Rhenald Kasali
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
0 komentar: