Memaknai Pembangunan Manusia


PRESIDEN Joko Widodo mendirikan kementerian baru dengan nama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Segera saja muncul pertanyaan, ”pembangunan manusia”? Sebuah frase macam apakah ini? ”Pembangunan” dan ”manusia”, mungkinkah kedua istilah yang jelas memiliki pemahaman dengan latar yang berbeda disatukan menjadi sebuah frase yang mampu memberikan isian yang bertujuan praktis untuk kemajuan nyata sebuah bangsa dan negara?
Sesungguhnya konsep ”pembangunan manusia” itu bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Pada masa Orde Baru, konsep ini sudah muncul dan termasuk problem hakiki dalam pembangunan bangsa dan negara secara umum. Konsep ini tentu tidak muncul begitu saja. Benih pembangunan ekonomi (economic development) khususnya sudah muncul terlebih dulu sejak awal Orde Baru yang dianggap sebagai panglima menggantikan politik sebagai panglima bagi Orde Lama dengan semboyan character building (pembangunan karakter).
Konsep ”pembangunan ekonomi” mengandung pengertian kuat dari perspektif positivistik yang serba terukur di mana fakta-fakta ekonomi padu dengan perhitungan-perhitungan matematis sebagaimana terwakili dalam pengukuran nan sakti, gross national product (GNP) atau produk nasional bruto. Ukuran pembangunan sebuah bangsa diukur dari sana, apakah sebuah negara layak disebut negara maju (developed country) atau negara berkembang (developing country). Teori ”tinggal landas” yang sangat terkenal dan menjadi begitu paradigmatis dari WW Rostow kala itu tak lepas dari pengukuran tersebut.
Pergeseran makna
Pada tahun 1990, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) membuat langkah maju dalam konsep pembangunan bangsa dan negara dengan memublikasikan human development report (HDR). Dari sini muncul kritik dan revisi terhadap konsep ”development” yang dihegemonik oleh pengukuran positivistik, khususnya ketika konsep pembangunan tersebut diterapkan pada keberadaan diri manusia menjadi ”human development”. HDR pun pada hematnya bukanlah barang baru diukur dari publikasi pertama UNDP itu. Pada tahun 1968, seorang ekonom dan negarawan asal Pakistan, Mahbub Ul Haq,  mengeluarkan konsep ”human development” yang lalu mendapatkan partner yang sangat tepat, yakni Amartya Sen, dalam mengembangkan konsep ”human development” tersebut.
Baik Mahbub Ul Haq maupun Amartya Sen tak sekadar menyoroti pembangunan ekonomi dari dalam diri ekonomi itu sendiri. Mereka memaknai hubungan pembangunan ekonomi yang tak terlepas dari pembangunan manusia secara lebih luas, terutama dari filsafat dan lebih khususnya lagi ethics di antara bidang filsafat lainnya seperti ontology (being) dan epistemology (knowledge).
Program utama dari Mahbub Ul Haq dan Amartya Sen adalah menyampingkan pendekatan positivistik dengan alasan bahwa manusia bukanlah obyek dalam pembangunan ekonomi, melainkan subyek, dan sebagai subyek, manusia tidak semata-mata bisa dilihat sebagai makhluk yang total rasionalistik lalu mengurung dirinya dalam pengukuran GNP. Sebuah pendekatan yang mendapat dukungan kuat dari UNDP.
Amartya Sen misalnya menginterpretasikan lagi etika Aristoteles, Adam Smith, filsafat politik John Locke, Thomas Hobbes, JJ Rousseau, John Rawls, dan lain-lain. Dua konsep tentang etika eudaimonia (kebahagiaan) dari Aristoteles dan konsep ”kebebasan” (freedom) dari para filsuf pendiri negara demokrasi itu diramu menjadi sebuah pemikiran etika ekonomi yang bercorak khas dan baru. Tepatnya Sen dianggap sangat cemerlang memasukkan konsep etika filosofis ke dalam ekonomi yang mengantarkannya menjadi pemenang Hadiah Nobel untuk bidang ekonomi.
Mahbub Ul Haq mengartikan pembangunan manusia itu pada ”pilihan manusia” (people choices). Pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia dilihat sebagai ruang pilihan-pilihan sebagaimana manusia memiliki berbagai potensi dalam dirinya untuk kemudian mampu memilih di antaranya untuk eksis. Musuh pembangunan manusia dan ekonomi tak lain adalah menutup ruang-ruang pilihan itu sehingga manusia tak mampu menemukan dan memenuhi kebutuhannya sendiri sebagaimana jika kita sekadar tunduk pada perhitungan GNP.
”Kebebasan” (Sen) dan ”pilihan manusia” (Haq) merupakan dua konsep yang membuka berbagai dimensi kualitas kemanusiaan bagi makna pembangunan manusia yang lalu tercakup dalam tiga kategori besar: kesehatan (health), pendidikan (education), dan standar kehidupan (living standards).  Dari sinilah makna indeks pembangunan manusia (human development index) itu muncul dan digunakan hingga saat ini. Intinya pada ”kebebasan memilih” sebagai landasan etika.
Kementerian pembangunan manusia?
Dalam perkiraan yang sangat optimistik, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dikemukakan Presiden Jokowi sangatlah terkait dengan latar belakang di atas. Dengan hadirnya kementerian baru ini, harapan untuk mewujudkan semboyan ”revolusi mental” terbuka luas sekaligus sebagai sebuah tantangan yang luar biasa berat.
Becermin pada masa Orde Baru, pembangunan manusia melahirkan jargon yang enak disebut tetapi berbeban makna alangkah berat, yakni ”manusia seutuhnya”. Seperti apa dan siapakah manusia seutuhnya itu sebagai panutan? Manusia menjadi sempurna apabila dalam kehidupan keseharian bermasyarakat dan bernegara sepenuhnya mengikuti doktrin Pancasila (versi penguasa). Siapakah panutannya? Tak mudah menunjuk langsung, tetapi secara semiotik (interpretasi tanda) kita bisa membacanya pada slogan ”bapak pembangunan”, siapa lagi kalau bukan Soeharto?
Sebuah kementerian baru dan menteri yang dari segi usia, pengalaman, dan pengetahuan (?) tergolong ”belia”, Puan Maharani. Layaklah apabila muncul reaksi spontan dari berbagai kalangan atas kementerian baru ini terkait dengan kemampuan Puan Maharani untuk menghidupi lembaga tersebut. Program macam apa yang bisa dibuat dan diaplikasikan? Tantangan paling signifikan tertuju pada konsepsi tentang manusia itu sendiri sekaligus kekhawatiran apabila Puan Maharani tak memiliki model khas dan terbuka, reformis, maka berjaga-jagalah untuk terjerumus pada slogan manusia seutuhnya ala Orde Baru—Soehartoistik itu.
Tantangan lain adalah pada nama kementerian itu sendiri yang terkesan sekadar menerjemahkan ”human development” menjadi ”pembangunan manusia”. Apa yang mau dibangun dari manusia? Sedangkah dia tertidur pulas lalu sudah saatnya harus dibangunkan?
”Pembangunan manusia” sebagaimana HDR jelas tertuju pada dimensi kualitas atau mutu eksistensial bukan melihat manusia sebagai seonggok tubuh yang menyimpan potensi yang bisa diekspos menjadi seperti mesin yang bekerja secara mekanistik lalu berujung pada eksploitasi demi keuntungan ”pihak-pihak tertentu”. Jika mungkin kementerian ini bisa dibaca sebagai ”kementerian peningkatan kualitas manusia dan kebudayaan” atau ”kementerian peningkatan mutu kemanusiaan dan kebudayaan”. Lebih manusiawi maknanya. Siapa tahu?
Tommy F Awuy
Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

0 komentar:

Indonesia Pintar


DARI Sembilan Agenda Prioritas (Nawacita) Joko Widodo-Jusuf Kalla, lima di antaranya—dalam skala berbeda—terkait dengan pendidikan. Pada agenda nomor lima disebutkan bahwa pemerintahan JKW–JK akan menjalankan program ”Indonesia Pintar” yang kegiatan utamanya meningkatkan kualitas pendidikan dan menjalankan wajib belajar 12 tahun bebas pungutan. Rumusan ini tampaknya sebagai ikhtisar semua program pendidikan pemerintah baru. Memang masalah pendidikan, di mana saja, berkisar pada ”akses” dan ”kualitas”.
Wajib belajar 12 tahun adalah persoalan akses, yaitu upaya memperluas kesempatan masyarakat memperoleh pendidikan lebih tinggi. Langkah ini penting karena, selain berimplikasi pada peningkatan angka partisipasi sekolah, juga berdampak pada angka rata-rata lama sekolah (mean years schooling/ MYS) yang merupakan satu indikator kemajuan pembangunan manusia. Angka rata-rata lama sekolah kita masih rendah daripada Singapura 10,1 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, Brunei 8,6 tahun, dan Thailand 6,6 tahun. Laporan UNDP 2013 (Ritonga, Kompas 24/3) menyebutkan, rata-rata lama sekolah Indonesia hanya 5,8 tahun, artinya setara dengan sekolah dasar.
Pemerintah belum secara tegas menjalankan wajib belajar 12 tahun, apalagi bebas pungutan. Wajib belajar 9 tahun saja—yang dimulai 1994 dan ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003—hingga sekarang belum terkontrol secara baik sehingga aneka pungutan dengan beragam alasan tetap terjadi.
Saat ini, pemerintah menggunakan istilah ”pendidikan universal” untuk melaksanakan wajib belajar 12 tahun. Alasannya, belum ada payung hukum dan mempertimbangkan, anggota UNESCO tidak mengenal wajib belajar pendidikan menengah. UU Sisdiknas Pasal 34 Ayat (2) hanya menyebutkan wajib belajar ”minimal” pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Atas dasar ini, barangkali di bagian lain visi-misi JKW–JK ditegaskan akan memperjuangkan UU Wajib Belajar 12 tahun dengan membebaskan biaya pendidikan dari segala pungutan.
Terlepas dari implikasinya pada sistem penganggaran dan tradisi UNESCO, adanya kata ”minimal” dalam ayat di atas memungkinkan pemerintah menjalankan program wajib belajar 12 tahun tanpa disamarkan dengan ”pendidikan universal.” Pemerintah bahkan tak harus menunggu—juga tidak memerlukan—UU tersendiri. Kelak, ketentuan ini cukup diakomodasi dalam pasal terkait saat revisi UU Sisdiknas yang memang mendesak.
Terkait perluasan akses pendidikan tinggi, pemerintahan JKW-JK akan meningkatkan pemberian subsidi kepada perguruan tinggi negeri sehingga akses warga miskin untuk mendapatkan pendidikan tinggi semakin besar. Dengan demikian, diharapkan angka partisipasi kasar dan murni pendidikan tinggi yang rendah—menurut Badan Pusat Statistik, angka partisipasi kasar dan murni pendidikan tinggi tahun 2013 adalah 23,06 persen dan 18,08 persen—segera meningkat.
Ke depan, peningkatan akses pendidikan hendaknya senantiasa mempertimbangkan dan bersama upaya peningkatan mutu. Pengalaman pada masa lalu mengajarkan bahwa memprioritaskan akses dengan mengesampingkan kualitas menjebak kita dalam situasi buruk berkepanjangan sehingga kini Indonesia tampak belum juga pintar.
Kualitas pendidikan
Arah dan upaya peningkatan mutu mendatang tampaknya bertumpu pada pendidikan karakter seperti tergambar dalam agenda nomor delapan: ”Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional. Kurikulum akan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan; menyeimbangkan pendidikan budi pekerti dan karakter bangsa dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Penataan kurikulum adalah suatu keniscayaan bagi pemerintahan baru. Keniscayaan itu bukan hanya karena Kurikulum 2013 penuh anomali, melainkan lebih daripada itu karena pemerintahan JKW-JK memiliki paradigma baru, yaitu revolusi mental yang tidak kompatibel dengan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013, meskipun sering diklaim untuk pendidikan karakter, senyatanya hanyalah konglomerasi hal-hal bagus yang tak membentuk suatu koherensi yang lugas sehingga sering kali membingungkan.
Maka, pada awal masa transisi ini, pemerintah sebaiknya menghentikan terlebih dahulu pelaksanaan Kurikulum 2013 yang menyedot dana triliunan itu. Sembari mempersiapkan cetak biru (blue print) yang holistis, pemerintah perlu membuat kebijakan (short cut) yang menyederhanakan program-program pembelajaran. Alokasi dana untuk Kurikulum 2013, jika dimungkinkan oleh sistem, dialihkan buat pelatihan motivasi dan kinerja guru dalam rangka revolusi mental.
Pengutamaan pendidikan karakter dan kebudayaan dalam program Indonesia Pintar secara implisit menggambarkan bahwa ”pintar” tidak sekadar bersifat kognitif. Term ”pintar” dapat merupakan obyektivikasi kata ”cerdas” sebagaimana cita-cita bangsa. Jika didefinisikan dengan tepat, pendidikan karakter akan relevan dengan Pasal 3 UU Sisdiknas yang menyatakan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa.
Dalam platform JKW-JK ditegaskan, 10 prioritas utama pendidikan karakter yang intinya, pertama, kurikulum akan mengedepankan pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang proporsional. Untuk pendidikan dasar, pembobotan menekankan 70 persen substansinya pada budi pekerti dan karakter, sedangkan untuk pendidikan tinggi, 60 persen politeknik dan 40 persen sains. Kurikulum juga akan diarahkan membangun pemahaman hakiki tentang kebinekaan yang tunggal ika dengan menjaga keseimbangan aspek muatan lokal dan nasional. Untuk itu, pemerintah telah berkomitmen tidak akan memberlakukan lagi model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, di antaranya ujian nasional.
Kedua, meningkatkan kualitas guru dengan merekrut tenaga berkualitas dan mendistribusikannya secara merata. Kualitas guru tentunya disesuaikan dengan kebutuhan revolusi mental dan model pembelajarannya. Selain memerlukan desain baru pelatihan, agenda ini juga menuntut perubahan peran, eksistensi, dan substansi LPTK. Distribusi guru akan didukung oleh perbaikan sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan. Guru daerah terpencil akan diberikan jaminan hidup memadai melalui tunjangan fungsional, asuransi, fasilitas memadai, dan promosi karier.
Ketiga, memprioritaskan pembiayaan pendidikan untuk penelitian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi unggulan yang diberikan secara reguler dan terintegrasi dengan pengembangan pendidikan tinggi.
Cetak biru baru pendidikan
Pendidikan karakter adalah sebuah labirin yang mudah membawa pada kesesatan logis sehingga memerlukan kecermatan. Pertama, pendidikan karakter bukanlah suatu atau beberapa mata pelajaran atau program yang diajarkan tersendiri, tetapi meliputi ”semua” proses pendidikan. Terbentuknya watak/karakter (personal) dan kebudayaan/peradaban (komunal) merupakan efek kumulatif dan sinergis dari seluruh upaya pembelajaran dengan berbagai faktor bawaan dan lingkungan.
Kedua, pembobotan dengan persentase penekanan substansi pembelajaran tidak salah sejauh tidak bersifat dikotomis. Proses pembelajaran memang harus disesuaikan dengan tingkat kepekaan psikologis murid yang biasanya terkait dengan usia.
Pembobotan akan berbahaya jika didasarkan pada dikotomi atas kelompok mata pelajaran pembentuk karakter, seperti Agama, Budi Pekerti, Kewarganegaraan, dengan kelompok mata pelajaran sains dan Matematika yang dianggap tidak atau kurang berhubungan dengan karakter. Dikotomi seperti ini akan cenderung mengabaikan pengembangan nalar saintifik yang induktif dan nalar matematik yang deduktif, terutama pada kelas yang lebih rendah. Padahal, nalar yang sehat merupakan basis karakter yang baik dan kuat yang mesti dibentuk sejak belia.
Ketiga, mengutamakan pendidikan karakter melalui sekolah berpotensi menggiring proses pendidikan ke lorong sempit konservatisme dan fundamentalisme pendidikan yang menekankan masa silam sebagai orientasi korektif atas masa kini dan antisipatif atas masa depan. Proses pendidikan akan dipenuhi pelatihan watak dan pencekokan moral di satu sisi dan indoktrinasi serta penjejalan pikiran—bukan mengajar berpikir—dengan nilai-nilai dan informasi yang akan diuji pada sisi yang lain. Alhasil, bangsa ini bukannya semakin pintar, malah akan menjadi irasional dan tidak kreatif.
Keempat, lembaga pendidikan, di mana saja, merupakan sebuah subsistem sosiopolitik sehingga yang terjadi di dalamnya adalah turunan dari induk sistemnya. Mengharapkan karakter baik dan kuat tumbuh melalui pendidikan dalam sebuah sistem korup dan feodal, tanpa melakukan reformasi menyeluruh, adalah kesia-siaan. Guru bukanlah Si Pahit Lidah (tokoh dalam legenda Sumatera Selatan) yang dapat mengubah apa saja melalui kata-kata. Maka, Indonesia Pintar membutuhkan cetak biru baru pendidikan yang mengubah dengan menderivasi ide revolusi mental dan Trisakti dalam satu kerangka strategi operasional yang utuh, padu, dan rasional.
Mohammad Abduhzen
Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI)

0 komentar:

Pendidikan dan Rantai Kemiskinan

Kisah anak-anak dari keluarga kurang mampu yang berhasil menembus perguruan tinggi sudah sering kita dengar.
Seperti dialami Raeni, anak tukang becak yang meraih IPK 3,96 di Universitas Negeri Semarang. Ia bahkan mendapat tawaran kuliah S-2 ke Inggris.
Setiap kali ke daerah pertanian, saya sering menemukan petani yang melakukan segala upaya agar anak-anaknya jangan lagi jadi petani, dengan menyekolahkan anaknya menjadi sarjana.
Namun, sukseskah mereka memutus mata rantai kemiskinan? Bukankah pada statutanya kini PTN BH wajib memberikan beasiswa 20 persen untuk kalangan kurang mampu?
Aliran kognitif
Kesadaran afirmatif, memberi akses pendidikan seperti di atas bukan hanya ada di sini. Harusnya kita percaya sekolah bisa menjadi anak tangga yang bagus untuk memutus mata rantai kemiskinan. Pendapat umum mengatakan keluarga miskin melahirkan generasi-generasi yang sama miskinnya karena ketiadaan akses untuk mencapai pendidikan yang tinggi.
Polanya begini: seorang anak lahir dari ibu yang menikah di usia dini, lalu bercerai, ibu harus bekerja keras, pindah dari satu kota ke kota lainnya. Kadang tinggal bersama nenek, menumpang hidup di kawasan yang padat. Anak pergi sekolah dengan perut lapar, sementara teman-teman ikut les Kumon atau dari guru sekolah. Lalu ia pun bosan dengan sekolah, sering tak masuk, prestasi terpuruk, terlibat perkelahian, drop out, punya anak di luar nikah, lalu jatuh miskin lagi. Begitu seterusnya.
Mungkin, jika diberi gizi, perhatian, dan akses agar bisa sekolah lagi, mereka akan bisa keluar dari mata rantai kemiskinan. Namun, penerima Nobel Ekonomi tahun 2000, James Heckman, menggelengkan kepalanya. Faktanya, hanya 3 persen yang bisa menamatkan perguruan tinggi. Padahal, anak-anak dari keluarga biasa mencapai 46 persen. Demikian juga kemampuan memperbaiki ekonomi keluarga: pendapatan tahunan, pengangguran, angka perceraian, dan keterlibatan dalam kriminalitas. Prestasi ekonomi keluarga miskin yang mendapatkan program afirmasi pendidikan ternyata tetap sama dengan anak-anak yang drop out dari sekolah. Apa sebab?
Tahun 1994 dua ilmuwan yang dituding rasis (Muray & Herrnstein, dalam Bell Curve) mengarahkan temuannya pada masalah DNA. Namun, berdasarkan kajian ekonometrika, Heckman menemukan masalahnya ada di sekolah itu sendiri. Sekolah-sekolah yang sering kita lihat di sini (terlalu kognitif dan membebani) tak akan mampu memutus mata rantai kemiskinan. Sekolah kognitif terlampau mekanistik. Wajar sekarang kita menyaksikan banyak sarjana menganggur, bahkan yang sudah bekerja kurang efektif. Padahal, mereka tak kalah pengetahuan, indeks prestasi mereka kini bagus-bagus. Cenderung kalah dengan lulusan luar negeri yang hanya menempuh 124 SKS (S-1). Sementara sarjana kita menempuh 144-152 SKS.
Sekolah nonkognitif
Heckman menemukan variabel-variabel nonkognitif yang justru tak diberikan di sekolah menjadi penentu keberhasilan seseorang untuk memutus mata rantai kemiskinan. Variabel itu adalah keterampilan meregulasi diri, mulai dari mengendalikan perhatian dan perbuatan, sampai kemampuan mengelola daya tahan (persistensi), menghadapi tekanan, menunda kenikmatan, ketekunan menghadapi kejenuhan, dan kecenderungan untuk menjalankan rencana.
Nah keterampilan-keterampilan seperti itu, menurut Heckman, sering kali absen dalam sekolah kognitif. Tanpa itu, anak-anak yang dibesarkan dari keluarga menengah ke atas pun akan jatuh pada lembah kemiskinan. Sekolah kognitif sendiri digemari banyak kalangan kelas menengah karena substitusi atau penguatnya bisa dibeli di ”pasar”m semisal Kumon, guru les atau orangtua yang rajin memberi latihan. Namun, anak-anak dari kalangan kurang mampu punya banyak keterbatasan. Selain orangtuanya tidak mengerti, mereka juga harus bekerja keras mencari nafkah di luar jam kerja.
”Ilmu-ilmu tertentu itu, seperti kalkulus, sangat mekanistik,” kata Paul Tough (How Children Succeed, 2012). ”Kalau memulai lebih dulu dan banyak berlatih, mereka akan lebih cepat menyelesaikan soal-soalnya. Namun, aspek-aspek nonkognitif tak bisa didapat dengan mudah.”
Itulah sebabnya di PAUD Kutilang Rumah Perubahan, kami mengembangkan metode non-kognitif. Itu pun belum cukup. Guru dan orangtua diwajibkan seminggu sekali mengikuti bimbingan cara membaca anak. Kebiasaan buruk orangtua yang merupakan cerminan dari buruknya aspek nonkognitif tadi menjadi penguat mata rantai kemiskinan di setiap generasi berikutnya.
Bimbingan dan metode nonkognitif itu harusnya dibangun sedari dini. Tantangan-tantangan nonkognitif seperti itu tampaknya berat sekali dibangun di sini mengingat dua-tiga generasi pendidiknya guru dan dosen kognitif yang rewel dengan kemampuan menghafal, berhitung, atau memindahkan buku ke kertas.
Saya ingin Anda menengok penjelajahan nonkognitif yang saya tanam dalam kelas saya di UI. Satu kelas mahasiswa dikirim ke luar negeri dalam program one person-one nation, lalu pengalamannya mereka tulis dalam buku: 30 Paspor. Di situ anak-anak belajar menumbuhkan aspek nonkognitif, merefleksikan kehidupan, mengambil keputusan dalam menghadapi kesulitan seorang diri di luar negeri. Kita percaya pendidikan bisa memutus rantai kemiskinan. Namun, bukan pendidikan superkognitif seperti sering kita dengar dari orang-orang yang gemar mendebatkan cuma soal kali-kalian, padahal persoalan hidup terbesar justru ada di soal bagi-bagian. Dan untuk adil membagi dibutuhkan keterampilan hidup nonkognitif.

Rhenald Kasali
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

0 komentar:

Pendidikan di Negeri Defisit Negarawan

PILU rasanya mendengar pernyataan J Kristiadi tentang aksi politik bumi hangus dalam bincang sore di Kompas TV (26/9/2014). Politik bumi hangus adalah lanjutan dari kegagalan kita berdamai dengan hasil Pilpres 2014.
Makin pilu kala sadar bahwa rakyat, yang sejatinya tuan para abdi di parlemen itu, kini telah sempurna nihil kuasa. Kiblat berbangsa pun melenyap. Sebagai rakyat, saya hanya bisa sujud kepada Tuhan, berharap beroleh pencerahan atas pilu kelamnya negeri ini.
Dalam sujud saya tumpahkan gelisah dan nestapa. Politik bumi hangus adalah pertarungan para penguasa. Dalam pertarungan itu rakyatlah yang jadi korban. Dalam sujud itu saya hadirkan penderitaan rakyat negeri ini yang kian tak tertanggung. Berharap kasih Tuhan melelehi negeri ini.
Pada sujud itu saya berimajinasi. Saya alami kehadiran dua sosok cahaya yang kuat tapi lembut. Yang satu malaikat pencabut nyawa, satu lagi ternyata bapak Abraham. Kedua sosok cahaya itu meneguhkan dan menenteramkan kegundahan saya.
Malaikat kematian tak hanya bertugas mencabut nyawa. Ia juga bertugas meyakinkan manusia bahwa kematian adalah peristiwa sekejap, yang mengubah dimensi hidup agar segera berjumpa Tuhan yang penuh kasih. Keelokan wajah malaikat pencabut nyawa itulah yang memungkinkan pendosa bertobat di sekejap waktu sebelum meregang nyawanya.
”Aku akan segera menjemput seratus orang penting dan berpengaruh politis di negerimu,” kata malaikat itu mantap.
Tapi saya terperanjat. Seratus orang itu bukanlah mereka yang selama ini diyakini aktor utama atau pendukungnya yang membuat situasi negeri ini kian susah. Bukan politisi busuk yang selalu mencitrakan diri alim dan bijak. Bukan pula penguasa korup yang melahap uang rakyat yang hidupnya melarat sekarat.
Seratus orang itu adalah para negarawan negeri ini. Mereka berhati emas. Hati emas adalah anugerah hidup mereka yang tulus, jujur, dan konsisten memperjuangkan martabat bangsa dan negeri ini.
”Mengapa harus mereka? Mengapa bukan para penjahat negeri kami? Mengapa bukan mereka yang kini masih dirasuki dendam hingga tak peduli jika aksi politisnya hanya akan membumihanguskan negeri kami?”
”Itu kehendak Tuhan. Bukan kehendakku. Tuhan pasti punya maksud untuk negerimu. Tapi jujur, aku tak tahu maksud Tuhan itu,” kata sang malaikat.
Syukurlah saya ingat bapak Abraham yang pernah mampu meluluhkan niat Allah menghancurkan Sodom dan Gomora. Waktu itu Sodom dan Gomora dikuasai manusia-manusia bejat moral. Kebermartabatan hidup dihancurkan oleh nafsu purba liar manusia.
Serentak saya pun ingat Baharudin Lopa, Munir, Wiji Thukul, para mahasiswa korban Trisakti, dan berderet wajah pejuang reformasi yang merobohkan keangkuhan kekuasaan Orde Baru. Getir rasanya saat menyadari bahwa darah mereka kini serasa muncrat percuma karena keangkuhan penguasa negeri yang dirasuki dendam kesumat.
Keniscayaan pada pendidikan
Pemerintahan baru dengan panglima Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) akan segera digulirkan. Akan tetapi, politik bumi hangus itu sepertinya tak segera menjanjikan situasi hidup yang lebih mudah dan lancar bagi rakyat di negeri ini.
Kita tak pernah tahu apakah Tuhan bakal segera mencabut nyawa si jahat meski melihat kehidupan rakyat kian sekarat oleh ulah bejatnya. Kendali kehidupan negeri ini sepertinya tak hanya pada Jokowi-JK. Bahkan, mungkin, demi menuntaskan dendam, kendali utama justru akan ada pada ”lawan dan penyeimbang” politiknya.
Barangkali kita mesti ikhlas berjerih-payah. Sembari berharap Jokowi-JK menjadi panglima bak Judge Bao, tokoh hakim tegas yang adil dan bijaksana serta penuh karisma dalam cerita dari daratan Tiongkok. Ketegasan dan konsistensi ala Judge Bao tak hanya akan menumpas tuntas para pecundang negeri ini. Lebih dari itu, ketegasan dan konsistensi semacam itu adalah pendidikan bagi bangsa ini. Bahwa negara dengan konstitusi dan kelengkapan alatnya mampu berpihak kepada rakyat. Bukan membudak kepada tokoh yang buta nurani dan haus kuasa.
Kita berharap Jokowi-JK menguatkan lembaga hukum dan memilih pembantu-pembantunya yang sungguh bersih serta berkomitmen mengabdi kepada negara dan segenap rakyat Indonesia. Transparansi dan konsistensi keberpihakan pada nasib rakyat yang selama ini ditunjukkan Jokowi rasanya menjadi modal penting. Itu juga yang akan terus menjadi alasan sekaligus membuat rakyat berpihak serta terlibat pada upaya Jokowi-JK, seperti pada gerakan konser ”Salam 2 Jari” di Jakarta pada 5 Juli lalu.
Mukjizat ala Abraham pada Sodom dan Gomora bakal terjadi ketika penguasa tulus, jujur, dan ikhlas mewakafkan hidupnya bagi rakyat
 
Sidharta Susila
Pendidik di Muntilan-Magelang, Jawa Tengah

0 komentar: