Yuk, Membangun Generasi Negarawan

         
         Terhitung mundur dari awal Januari 2014, hari ini tepat sudah 3 minggu sejak Gong Tahun Politik 2014 digenderangkan, hal ini menandakan persaingan politis bergulir. Banyak tokoh lama (konservatif) yang kembali ditimbulkan untuk menunjukkan kematangan berpolitik dalam berkiprah dalam gelanggang politik yang sama, dan banyak juga tokoh-tokoh kontemporer yang membawa rona baru dalam dinamika berpolitik sebagai sosok yang muda, enerjik dan grassroot understanding. Namun, tetap saja tokoh-tokoh tersebut harus mau-tidak mau menghadapi polemik tahun-tahun ketidakpastian tokoh yang mulai menggema pada akar rumput seiring dengan dinamika sosial politik yang cenderung mengalami degradasi, baik dari wadah politik ataupun figur yang berkecimpung di dalamnya. Ada tokoh yang tersirat diuntungkan dengan kasus-kasus yang merebak dalam internal Partai politik lain dan ada pula yang harus menanggung aroma sangit dari bahtera politik yang ditungganginya saat ini. Ya, perlu kita sadari bahwa figur-figur tersebutlah yang akan jadi pemimpin-pemimpin kita selama 5 tahun mendatang.

         Perlu kita tahu, bahwasanya demokrasi yang kita hadapi kali ini tidaklah sama dengan yang lama, ruang publik telah menjadi tontonan yang asyik dan terbuka lebar seiring dengan sikap keterbukaan, dinamisasi, fleksibilitas dan toleran. Ujung-ujungnya perlu juga kita sadari bahwa hal ini dapat menimbulkan tantangan penyakit sosial, yakni apolitis atau lebih parahnya apatisme. Banyak kawan yang saya tanya, cenderung untuk memilih ‘tidak memilih‘, bukan karena perbedaan ideologis yang menjadi dasar pemikiran—atau boleh jadi jadi kita saat ini sudah berideologi ‘tidak ideologi‘ (?), tapi lebih karena hal ini merupakan bentuk perlawanan terakhir yang bisa ditunjukkan pada hagemoni kekuasaan yang tentatif dari segi kebijakan dan tidak menimbulkan kedekatan emosional (kesejahteraan) sebagai wujud Desentralisasi mimpi Demokrasi. Secara statistik, dinamika tren Golongan Putih semakin menjanjikan bakal terjadi kenaikan yang signifikan, pada pemilu 1999 (golput 10,21%), pemilu 2004 (golput 23,34%), dan pemilu 2009 (golput 39,10%), dan perlu kita taksir bersama berapa persen kira-kira nanti ketika Pemilu 2014, apakah diatas 50%? 55%? Atau bahkan seorang Presiden terpilih tidak lagi memiliki massa (kekuatan berdaulat), setelah beliau saat ini juga dikucilkan dalam konstitusi? Oh presidenku, sungguh malangnya dikau.

          Lanjut pada persoalan keterbukaan ruang publik untuk diakses masyarakat, utamanya pada kaum muda yang digandrungi media sosial. Dalam konteks keterbukaan dalam pemilihan umum, pemuda lingkup umur 17-21 tahun memiliki jumlah konstituen sekitar 19,7 juta orang (Sensus Penduduk 2010). Sebuah jumlah yang signifikan untuk menentukan arah kebijakan pemerintah mendatang melalui pemimpin-pemimpinnya. Namun nyatanya pemahaman politik pada diri pemuda akan seorang yang terjun pada politik yang kemudian tercitrakan keluar belum dalam lingkup substansinya, yakni dilihat pada keinginan mewujudkan kenegaraan yang berdaulat, memiliki kebijaksanaan, cakap dan terhormat dalam mengelola aktifitas kenegaraan/pemerintah baik lingkup Nasional maupun Internasional, seperti tercermin dalam arti Negarawan dalam kamus Merriam-Webster. Hal ini juga bisa menimbulkan apolitis atau apatisme. Butuh pencerdasan politik tersirat secara komunikatif dan mengakar pada kultur masyarakat! Lihat saja bagaimana, sosok Barrack Obama dahulu, yang mampu secara revolusioner menggaet target konstituen pemuda untuk memilih beliau sebagai Presiden USA, atau kita boleh bandingkan dengan sosok Jokowi dengan memacu harapan untuk menggapai hal yang lebih besar bersama, bisa juga dengan gerakan #Turuntangan yang mampu mengakomodir mimpi atau ide transformatif dalam penetrasi pada komunitas-komunitas untuk bergerak pada masyarakat sesuai minatnya—begitu pula oleh Ridwan Kamil, namun perlu kita ketahui, kadang popularitas yang dibangun melalui media maya itu nyatanya semu, namun secara paradoks hal ini juga memberikan pencerdasan politik yang nyata dan transformatif dalam memaknai arti/konsep politik kenegaraan secara sesungguhnya. Pada poinnya memang kematangan politik wajib dimiliki oleh setiap orang yang ingin masuk dalam dunia politik, namun juga jangan sampai lupa ya, bahwasanya generasi dibawahnya ini perlu dicerdaskan guna mengurangi pretensi politik, karena kita masih labil, suka membully, instan, dinamis dan pemikir tangguh. :)


Ya, mengingat ini sudah berjalan 3 minggu, selanjutnya kita mau apa dan bagaimana? Yuk mulai belajar dan peka terhadap dinamikan Sosial Kenegaraan. :)

0 komentar:

Memanggil hujan polemik penetapan PP no. 1 tahun 2014 dan Permen ESDM no. 1 tahun 2014




















Setali tiga uang, seperti kiasan saja, kemarin Sabtu malam, 11 Januari 2014, Presiden SBY resmi menandatangani “Peraturan Pemerintah No.1 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua AtasPeraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara”yang memuat substansi klausul intensifikasi UU No. 4 tahun 2009 tentang PertambanganMineral dan Batubara untuk mencegah dampak pengimplementasi negatif sekaligus mendukungpenerapan secara holistik UU Minerba. Peraturan Pemerintah ini terlihat kurangbermakna. Pasalnya produk turunan sebagai payung hukum dalam komitmenhilirisasi usaha eksplorasi Tambang Mineral dan Batu Bara harus kembaliberpihak pada Asing, sebab tidak semua perusahan harus menerima konsekuensiyang sama sebagai implementasi PP ini.

Beberapa detail dalam PP tersebut menyatakan memperbolehkan ekspor bentuk konsentrat,seperti komoditas tembaga, selama telah diolah hingga kadar Cu 15%, walhasil PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Freeport Indonesia yang mayoritas produknya berupakonsentrat dalam kadar 30% aman dari larangan ekspor tersebut. Semestinya jikaingin lebih ketat dalam aturan ini harus juga membedakan pengolahan berdasarkankategori dan pemurnian setiap komoditas tambang. Sungguh menjadi sebuah tandatanya besar, syarat yang dijadikan landasan penetapan keputusan yakni besarankadar konsentrat pengolahan baru akan direncanakan penetapannya dalam PermenESDM mendatang setelah diketuk dahulu Peraturan Pemerintah ini. Hal inimemungkinkan berdampak terjadinya kompromitas policy dalam substansi Permen ESDM yang notabene seharusnyamemperjelas pada kemaslahatan rakyat, namun hal ini justru terhadang oleh tingkattata perundangan yang lebih tinggi karena criteria mandul yang telah disepakatisebelumnya.

Pemerintahseharusnya adil dan tidak memberi perlakuan khusus terhadap perusahaanpertambangan skala besar pemegang kontrak karya! Jika mau dipakai prinsipegaliter dan moderat, seharusnya peraturan khusus ini juga mengatur soal IzinUsaha Pertambangan (IUP/IUPR) bagi pengusaha Nasional yang baru-baru ini tumbuhsekitar 3-6 tahun belakangan, untuk melakukan ekspor dengan beberapa syaratyang disepakati dan sebanding (termasuk komitmen hilirisasi dengan membangunSmelter). Hal ini dimaksudkan agar usaha kecil hingga menengah di sektorpertambangan yang modalnya tidak sebesar perusahaan pemegang Kontrak Karya danPKP2B dapat tumbuh dan bersaing dari segi ekonomi.

Selainitu, dengan berbagai tekanan dan kepentingan asing di dalamnya, baikdikarenakan kekhawatiran akan melemahnya perekonomian sektor tambang Indonesia danjuga karena ancaman PHK yang didengungkan oleh perusahaan asing, pemerintahmulai untuk mencarikan jalan dan kemudian memanipulasi tafsir/substansi dari UUMinerba tersebut, beberapa PP dan Permen yang telah ditindak revisi (manipulatif),yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Pertambangan Mineral danBatubara serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM)Nomor 20 Tahun 2013 tentang Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan Mineral.

Jikadianalogikan, kita ini buntung! Kitalari pada kompetisi dan jenis pertandingan yang sama, namun kaki tangan kitadiikat sedemikian hingga potensi yang seharunya maksimal, seolah sia-sia.

Semenjak Undang-undang nomor 4 tahun 2009diketuk, telah digadangkan bahwa setiap perusahaan harus merancang Smelter (alatpemurnian) sebagai salah satu kompensasi manfaat ekonomi bagi daerah ataumasyarakat sekitar perusahaan. Namun ternyata niat baik tersebut bersambutpepesan kosong hingga saat ini, bukannya dirancang mulai ditetapkan pertamakali saat ditetapkan UU Minerba, ternyata baru dimulai pasca Penetapan PP dantidak semua perusahaan akan membangun. Kekhawatiran pada PP ini juga tentuberalasan seiring komparasi pada UU Minerba yang merupakan tata perundanganyang lebih tinggi, yang juga telah beberapa kali menelurkan Permen-permen dalammenjelaskan substansinya.



“Sungguh kita ini lihai dalam memanggil hujan danbanjir peraturan, tapi tak berujung pada redanya permasalahan.”

0 komentar:

Refleksi Klise


Kita yang berselimut dalam rupa dan kata, 
acapkali bertemu dalam gelanggang suara dan makna. 
Kemudian kita singkapkan warna tajam yang membekas,
seolah rona fajar yang membias dari pelupuk perhelatan senja,
pada dispersi lain. 
Kita biasa bertemu dalam dekapan formil yang menggugah eksplorasi diri. 
Dan kita juga acapkali tak pernah sesal, lantaran terbiasa menutur luka,
juga tak pernah sadar, jikalau memainkan tirai pengharapan.
Kemudian kita susun kompromitas dalam konstruksi berpikir yang manis dan perlahan merapuh,
habis,
dalam uraian tinta-tinta bisu yang sengaja ditorehkan untuk melawan usia.
Boleh jadi, saat ini kita masih terbuai euforia usang,
yang masih saja bergelayut dan dielu-elukan tentang sang penapak tilas yang berjuang dari kalangan kita,
dan kita amini itu ibarat karcis antrian yang menunggu semesta memanggil.
Tapi, kita yang berselimut dalam rupa dan kata tak juga sadar,
perlahan tunas merekah merona dari ufuk bumi biru,
kemudian dari kemelut yang memuncak, dari kegundahan yang menyemai,
mereka telurkan jiwa-jiwa yang murni, yang menggagas tanpa kegagapan hati, yang memekik merdu menggetar sanubari.
Kita yang (masih) berselimut dalam rupa dan kata,
terbiasa untuk tidak sadar dan berlalu untuk menimbulkan perspektif indentitas yang sama. (cont.)


Note:
Akhirnya sajak ini terbukti pada kehidupan sebenarnya.. ufuk bumi biru menyingsingkan pancaran merah menyala...

0 komentar: