Beberapa tahun belakangan, saya harus menahan diri untuk mengekspresikan rasa kesal pada satu hal ini: ongkos parkir.
Sejak parkir umum yang semestinya menjadi konsekuensi logis toko/pusat
perbelanjaan/hotel/perkantoran/rumah sakit sebagai pelayanan atau
fasilitas lumrah bagi para konsumen atau tamunya, diambil alih perusahan
jasa perparkiran, hal yang semula gratis secara wajar menjadi sangat
mahal secara tidak wajar.
Beberapa perkantoran atau pusat perbelanjaan, memasang tarif sekali
masuk Rp 5.000 dan biaya Rp 4.000/jam, sehingga hanya untuk perundingan
bisnis atau belanja sekitar 3 jam, kita harus membayar tak kurang dari
Rp 17.000. Jumlah yang mungkin tak seberapa bagi sebagian orang, tetapi
secara akumulatif nilainya mencengangkan. Hanya dengan lapak sekitar 6
meter persegi beralas konblok, aspal, semen atau lainnya, para pengusaha
jasa mendapat pemasukan tidak kurang Rp 1,5 juta/bulan (dalam hitungan
rata-rata hanya 12 jam sewa per harinya). Pemasukan itu (atau Rp 18
juta/tahun), tentu setara sebuah rumah kontrakan tipe 54/92 yang cukup
mewah, atau kos/kontrakan/apartemen sangat mewah, dengan luas tanah jauh
lebih lapang, dengan bangunan bagus dan fasilitas lain. Dengan
perhitungan apa yang, perusahaan jasa parkir mendapatkan penghasilan
begitu menakjubkan, dengan modal sekadar palang dan pos kecil dengan
seorang petugas?
Tak lain semua itu mungkin hanya karena satu bentuk perdagangan yang
menggila tiga dekade belakangan: jasa. Inilah bentuk perdagangan kedua,
setelah manufaktur, yang paling pesat pertumbuhannya, sekaligus paling telengas
dalam mengisap dompet konsumennya. Dalam esensinya yang menawarkan
kenyamanan, kemegahan, rasa, gengsi, dan hal-hal abstrak lain, bisnis
jasa hampir tak punya ukuran atau standar untuk harga. Semua berlangsung
absurd, ditentukan setidaknya seberapa jauh konsumen terilusi atau
tertipu imaji atau simulacra ilusif yang ditawarkan pedagang jasa.
Katakanlah, secangkir kopi atau soto betawi yang dengan mudah kita
temukan di berbagai kedai kaki lima, tiba-tiba melonjak hingga lebih
2.000 persen ketika ia kita beli di sebuah restoran atau mal yang megah
dan ber-AC kuat. Begitu pun dengan jasa yang ditambahkan (sebagai nilai
tambah) pada barang-barang manufaktur, seperti busana, peralatan rumah
tangga, hingga gawai. Yang terlebih menyakitkan ia terjadi dengan
semena-mena pada industri jasa yang sangat mendasar, seperti rumah sakit
dan lembaga pendidikan, ketika sewa ruang kelas 1 atau VIP di sebuah
rumah sakit, misalnya, lebih mahal dari tarif kamar berkelas sama di
hotel berbintang empat, tetapi dengan fitur dan fasilitas yang jauh
lebih minim.
Kemahalan yang sama harus dibayar pasien (yang sudah menderita karena
penyakitnya) untuk kunjungan dokter yang sama, teknologi sama, waktu
konsul yang sama dengan beberapa kelas di bawahnya.
Represif
Jasa, kini benar-benar tidak hanya memberi keuntungan nauzubillah
bagi para pedagangnya, tetapi secara kontradiktif memberi bukan melulu
beban, tetapi semacam siksaan kepada konsumennya yang lebih kerap tidak
berdaya. Seperti kita di bandara, tempat wisata, bar, resto, hotel, atau
berbagai ruang eksklusif lainnya, harus menemukan harga barang-barang
biasa dengan harga yang luar biasa karena berlipat-lipat nilainya. Semua
itu terasa represif karena kita tidak mampu menawar, melawan, dan
terlindungi oleh pemerintah sebagai pihak yang berwenang untuk itu. Kita
seperti terimperialisasi oleh satu hal yang sangat absurd, namun nyata
dampak praktisnya: jasa.
Akan tetapi, dari semua ilustrasi kecil itu, hal paling menyakitkan dan
terasa menjajah kesadaran kita adalah skema kredit atau leasing yang
selama ini menjadi tumpuan bahkan modus masyarakat mewujudkan harapan
atau mimpi modern (hedonistik)-nya. Tanpa dapat kita menawar sedikit
pun, atau bahkan hampir seperti fait accompli, kita harus menemukan ketentuan kredit/leasing itu, di mana dijebak aturan utang yang sangat merugikan, lain kata sangat menguntungkan pemberi kredit.
Sudah umum diketahui, cicilan yang kita bayar untuk pembelian kredit
rumah, kendaraan bermotor, gawai, hingga perjalanan wisata bahkan umrah,
hampir 90 persen untuk pembayaran bunga pada setengah periode awal masa
kreditnya. Sehingga ketika kita ingin melunasi kredit di pertengahan
masa, kita menemukan jumlah utang pokok masih menggunung, lebih dari 80
persen. Betapa licin, cerdik, tetapi juga culas dan memeras skema kredit
yang tidak adil seperti ini. Betapa besar jumlah keuntungan yang diraup
secara tidak adil oleh lembaga keuangan pemberi kredit yang mendapat
pelunasan di tengah jalan. Betapa culasnya, ketika kita sudah membayar
hampir lunas bunga kredit ketika masa pelunasan masih cukup panjang
untuk diakhiri.
Bank, sebagai lembaga keuangan pemberi kredit utama, termasuk bank
pemerintah yang menggunakan uang rakyat sebagai modalnya, menggunakan
skema yang sama untuk bisnis jasa yang mengerikan ini. Bahkan bank-bank
pemerintah pun, seperti swasta tentunya, menciptakan tarif yang mokal-mokal
dengan memasang tarif untuk beberapa transaksi, seperti cek saldo,
transfer elektronik, bahkan sekadar untuk cek saldo hingga setoran.
Bayangkan, jika hanya untuk cek saldo kita ditagih Rp 6.500, maka bila
hanya 25 persen dari 100 juta nasabah sebuah bank besar melakukan cek
saldo dalam sehari, bank mendapat pemasukan tak kurang dari Rp 162,5
miliar/hari.
Hanya dalam sehari, hanya untuk cek saldo. Hitunglah per bulan atau
tahun, juga untuk semua bentuk transaksi. Hampir tanpa biaya signifikan
dengan tarif itu yang harus bank keluarkan, karena semua hanya
menggunakan gelombang elektromagnetik yang notabene milik publik. Apa
yang sedang terjadi? Mengapa perdagangan atau ekonomi (pos)modern
berbasis teknologi ini begitu kuat menjerat, hingga kesadaran terdalam
kita. Lalu kita menerimanya sebagai satu hal yang given. Mana lebih dahsyat imperialisme mutakhir dengan bentuknya yang sama di masa lalu?
Dehumanisasi konsumen
Kapitalisme dengan model terkejamnya, pasar bebas, memang harus diakui
melakukan semacam represi yang mendehumanisasi konsumen, menjadikan
manusia hanya sebagai sapi perah untuk memenuhi kebutuhan susu
pundi-pundi triliunan rupiah maupun dollar dari para pemilik modal
besar, bahkan pemerintah pun mengikutinya dengan cara telengas
(Anda tahu, kan, telepon atau listrik Anda akan segera diputus hanya
keterlambatan pembayaran dalam hitungan hari?). Semua itu hanya
menggunakan perangkat paling ampuh dan absurd dari ekonomi kapitalistik
ini: harga. Khususnya di genre perdagangan mutakhirnya: jasa.
Jasa sebagai perdagangan mutakhir mungkin bisa disebut sebagai level
lanjutan dari perdagangan berbasis pertanian (agrikultur) di masa
pramodern dan industri manufaktur di masa modern. Sejak masa lalu bisnis
memang sudah ada, bahkan untuk perbankan di Tiongkok sudah sejak paruh
awal milenium kedua, dan dalam pengertian modern (warkat antara lain)
sejak usai Perang Salib abad ke-12, ditemukan dan dijalankan para
Ksatria Templar bagi para peziarah ke kota suci Jerusalem.
Namun, sebagai jenis perdagangan utama dunia, jasa baru mulai diakui
secara formal sejak awal 80-an, ketika Amerika Serikat (bersama
negara-negara satelit ekonominya, seperti Kanada, Korea Selatan, Jepang,
Australia, dan Singapura) dengan intensif dan teguh memaksakan jenis
perdagangan itu ke dalam aturan perdagangan global WTO. Sejak saat itu,
nilai perdagangan jasa yang sangat minor sebelumnya, tak lebih dari 10
persen ketimbang agrikultur dan manufaktur meningkat dengan sangat
cepat. Jika dua pendahulunya membutuhkan ribuan tahun dan ratusan tahun,
jasa hanya membutuhkan sedikit dekade.
Bisa dibayangkan di wilayah di mana perdagangan tradisional masih
dominan, seperti Sub-Sahara Afrika, pada 2005 perdagangan jasa sudah
mengambil porsi 47 persen dari kapasitas ekonomi kawasan itu, sementara
agrikultur hanya 16 persen dan manufaktur 37 persen. Bahkan data WTO
mutakhir menunjukkan angka mencengangkan perdagangan jasa mengambil
porsi lebih dari 50 persen total perdagangan dunia, melibatkan sepertiga
tenaga kerja profesional, dan menguasai dua pertiga pendapatan global.
Kita semua mafhum, ke mana keuntungan terbesar terkumpul, tidak lain
pada para pemilik modal besar yang menguasai mata-mata komoditas jasa,
mulai dari hotel, resto, penerbangan, turisme, pendidikan, transportasi,
hiburan, hingga pelacuran, alkohol, dan perjudian. Keuntungan berlipat
itu berbanding terbalik dengan kesejahteraan konsumen, khususnya rakyat
kelas bawah, yang menderita kemiskinan absolut karena terisap pendapatan
minusnya untuk jasa-jasa yang mereka juga—secara alamiah—ingin nikmati
juga (tentu karena rayuan maut advertensi dan gaya hidup kelas
atas/menengah).
Sampai bila situasi ini? Bisakah ia berakhir? Mohon ampun, saya akan
menyatakan dengan tegas: ia tak akan berakhir. Artinya? Jelas,
pengisapan yang imperialistik ini akan terus berlanjut, hingga rakyat
kebanyakan—tidak hanya yang ada di Sorong atau Tulungagung, tetapi juga
Leningrad, Paris, dan New Delhi—benar-benar kempis kantong ekonomi
bahkan harapan kesejahteraannya. Hingga pada masa di mana, kita, rakyat
kebanyakan, tinggal menjadi budak-budak industri yang penghasilan dari
keringat, air mata bahkan darahnya habis dengan cepat hanya untuk
mengonsumsi hasil industri yang ia buat sendiri.
Maka, sebagian dari kita bekerja jauh lebih keras, jauh lebih keras
hingga lupa dengan tanggung jawab keluarga atau sosial di sekitarnya,
hanya untuk menambal kekurangan-kekurangan pokok hidupnya, karena
penghasilannya melalui apa yang sebut false consciousness
diisap kenikmatan-kenikmatan jasa. Kita akan kerja lembur terus, akan
cari sampingan terus, dan bila semua kemungkinan penghasilan alternatif
itu menyempit, kita pun menengok alternatif lain, yang ilegal bahkan
kriminal.
Tidak mengherankan, bukan saja korupsi dan manipulasi merajalela,
praktik dagang licik dan penuh tipu terjadi, tetapi juga kejahatan—yang
mematikan—terjadi hanya untuk uang tak seberapa. Sebagian lagi
melacurkan diri, karena tinggal milik itu yang kita punya. Dan betapa
mengiris hati, ketika remaja-remaja belasan tahun kini menjual dirinya,
lewat media-media sosial, dengan berbagai tawaran yang mengiris-iris
harga diri.
Apakah tidak ada yang tersentuh dengan fenomena gila seperti ini? Di
mana mereka kaum elite yang mendapatkan limpahan berkah dan amanah dari
kita, khalayak? Tidakkah mata dan hati mereka tidak lagi menangis? Atau
justru tenggelam sebagai bagian atau cecunguk dari peradaban dagang
seperti itu? Sadar atau tak sadar mengimperialisasi rakyatnya sendiri,
khalayak yang telah memberinya kemuliaan? Di mana pemerintah? Padahal,
di sementara lain, bangsa ini yang sangat terkenal dengan kebudayaan,
kesenian, dan kekuatan kreatifnya, malah tidak mampu mengambil
keuntungan dari bisnis jasa yang sebenarnya justru menjadi kekuatannya?
Saya tidak ingin lagi berdoa, untuk kesadaran mereka—kaum
elite—misalnya. Saya menuntut dengan keras: jangan biarkan, bahkan
sekali-sekali jangan pernah menjadi komprador untuk menghancurkan bangsa
ini dengan skema perdagangan seperti di atas. Menghancurkan masa depan
anak cucu kita. Menghancurkan peradaban kita yang mulia.
Radhar Panca Dahana, Budayawan
0 komentar: