Guru dan Sekolah Dipaksa Tetap Gunakan Kurikulum 2013


POLEMIK penerapan Kurikulum 2013  semakin memanas. Sejumlah kepala dinas pendidikan di beberapa daerah menolak surat keputusan Mendikbud Anies Baswedan agar sekolah yang baru satu semester menerapkan Kurikulum 2013 kembali menggunakan Kurikulum 2006

”Pembangkangan” sejumlah kepala dinas dan kepala sekolah tak akan terjadi jika Anies berani memutuskan penghentian total Kurikulum 2013 (K-13), termasuk 6.221 sekolah yang sudah lebih dahulu menggunakannya. Pemberlakuan dua kurikulum ini menjadi celah bagi sejumlah kepala dinas pendidikan untuk memaksa sekolah menerapkan K-13 meski tak termasuk 6.221 sekolah tersebut.
”Ketentuan yang saya keluarkan adalah sekolah yang sudah menjalankan K-13 selama tiga semester tetap melanjutkannya. Adapun sekolah yang baru melaksanakan K-13 selama satu semester stop dulu. Kembali ke Kurikulum 2006. Lalu, jika ada sekolah yang sudah menjalankan K-13 selama tiga semester, tetapi tidak masuk dalam 6.221 sekolah tadi, silakan mengusulkan kepada Kemdikbud. Nanti kami cek apakah benar-benar layak untuk ikut menjadi sekolah pilot project,”  kata Mendikbud Anies Baswedan. Keputusan itu tertuang dalam Permendikbud Nomor 160 Tahun 2014, Pasal 1 dan 4.
Terjadi ”Pembangkangan”
Seorang kawan di  Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengirim pesan pendek (SMS) kepada saya, yang kurang lebih isinya menyatakan: telah terjadi pertemuan antara seluruh kepala sekolah dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) NTB di Kota Mataram. Isi pertemuan adalah memerintahkan semua kepala sekolah agar tetap mempergunakan K-13 meskipun sarana dan prasarana sekolah di NTB belum memadai dan para guru masih belum paham K-13.
Kalau pertemuan itu benar adanya, maka amat disayangkan. LPMP yang seharusnya mendukung penuh kebijakan Mendikbud—karena bagian struktural dari Kemdikbud sendiri—ternyata justru melakukan tindakan sebaliknya. Kalau pada jajarannya saja keputusan Mendikbud ”dilawan”, apalagi oleh para kepala daerah dan kepala dinas pendidikan. Perlu diingat, kepala dinas dan kepala daerah pasti berani menentang Mendikbud atas nama otonomi daerah.
Sehari sebelum SMS dari kawan di NTB saya terima, juga ada SMS masuk dari Batam, Kepulauan Riau, yang menginformasikan bahwa Dinas Pendidikan Batam mengumpulkan semua kepala sekolah se-Batam. Dalam pertemuan tersebut para kepala sekolah diinstruksikan agar tetap menggunakan K-13. Mereka tidak diperkenankan untuk kembali ke Kurikulum 2006 yang lebih dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Meski banyak yang tidak sepakat, tak ada kepala sekolah yang berani membantah jajaran dinas pendidikannya.
Ketidakberanian para kepala sekolah membantah dinas pendidikan tentu sangat dimaklumi mengingat para kepala sekolah ini diangkat dan diberhentikan oleh dinas pendidikan setempat. Kalau membangkang perintah dinas pendidikannya, maka kemungkinan dicopot dari jabatan akan terjadi. Psikologis para kepala sekolah ini tampaknya belum dipahami Anies Baswedan. Pada era otonomi daerah sekarang ini, kepala sekolah pasti lebih mematuhi kepala dinasnya daripada menterinya.
Ada juga masuk ke inbox Facebook saya keluhan dari seorang kepala sekolah dari Kecamatan Kanor, Bojonegoro, Jawa Timur. Kepala sekolah ini bersaksi bahwa mayoritas kepala sekolah dan guru ingin kembali dulu ke KTSP karena mereka merasakan dalam implementasi K-13 mengalami kebingungan. Apalagi sekolahnya juga belum memiliki sarana penunjang yang memadai untuk mengimplementasikan K-13 secara mulus. Selain itu, ada ketidaksesuaian antara silabus dan kompetensi dasar dengan buku guru dan buku siswanya sehingga berpotensi  pada ketidakberhasilan dalam proses pembelajaran.
Namun, seperti halnya di daerah lain, para kepala sekolah ini lebih memilih mematuhi dinas pendidikannya ketimbang mematuhi menterinya, meskipun surat keputusan Mendikbud ditujukan kepada kepala sekolah.
Saat menjadi narasumber ”Kontroversi K-13” di salah satu televisi swasta, saya juga mendengar langsung pernyataan seorang bupati yang daerahnya tetap akan melaksanakan K-13. Alasan sang bupati, sekolah di wilayahnya sudah siap dan tidak masalah dalam mengimplementasikan K-13 untuk semua sekolah. Padahal, di media sosial, banyak guru di wilayah ini mengeluhkan implementasi K-13 di sekolah mereka.
Saya sendiri sebagai salah seorang kepala sekolah di Jakarta belum menerima surat Mendikbud tersebut meski sekolah saya dengan Kantor Mendikbud relatif lebih dekat dibandingkan dengan kawan-kawan dari Batam, Mataram, dan Bojonegoro. Namun, Dinas Pendidikan DKI Jakarta sama sekali tidak reaktif dengan mengumpulkan para kepala sekolah untuk memerintahkan tetap melaksanakan K-13 atau kembali ke KTSP, di luar 6.221 sekolah yang ditunjuk.
Menyimak pernyataan-pernyataan Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta Larso Marbun serta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di media, besar kemungkinan Jakarta akan mematuhi keputusan Mendikbud. Bahkan, di beberapa media, Larso Marbun mengkritisi dengan cukup tajam K-13. Menurut Larso Marbun, penerapan K-13 adalah kebijakan yang belum siap, berakibat akan mengorbankan guru dan peserta didik. ”Kebijakan yang belum siap sejatinya jangan diterapkan dulu karena pasti akan berpotensi gagal di lapangan. Berpikirlah pada kepentingan peserta didik,” katanya.
Uniknya di Jakarta, meski kepala dinas pendidikannya belum mengumpulkan para kepala sekolah, di media sosial sudah ramai para guru dan siswa menginformasikan sikap  para kepala sekolah di Jakarta. Mayoritas ngotot ingin tetap melaksanakan K-13 sekalipun banyak keluhan dari guru dan peserta didik di sekolahnya.
Alasan mereka umumnya sama. Kalau kembali ke KTSP, maka banyak guru tak mampu memenuhi beban kerja 24 jam, karena K-13 menambah jam belajar siswa. Alasan lain adalah lebih pada unsur ”prestise”.
Faktor penyebab
Pembangkangan yang dilakukan LPMP, kepala daerah, dan kepala dinas pendidikan di beberapa daerah terjadi karena
kebijakan Mendikbud yang ”ambigu”. Pemberlakuan dua kurikulum dalam suatu sistem pendidikan dalam keputusan
tersebut telah memberikan celah untuk memilih salah satunya.
Mungkin awalnya para ”pembisik” Anies memperkirakan kalau keputusan ini dibuat, maka banyak sekolah yang termasuk di antara 6.221 sekolah uji coba awal itu akan memilih mundur. Ternyata perkiraan itu meleset tajam: sekolah yang masuk kelompok 6.221 tetap akan melaksanakan K-13, sementara sekolah di luar itu malah cenderung tetap akan melaksanakan K-13, meski hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 1 dan 4 Permendikbud No 160/2014.
Anies sangat memahami bahwa terjadi masalah besar di lapangan terkait implementasi K-13. Namun, sayangnya, ia tak berani memilih opsi pertama (menghentikan secara total) saat tim evaluasi K-13 bentukannya bekerja, tetapi lebih memilih opsi kedua. Kenyataan di lapangan justru opsi ketiga yang dipilih para kepala dinas dan kepala sekolah. Alasannya beragam, tetapi sebagian besar karena ”masalah anggaran” dan prestise.
Saya mengapresiasi Menteri Anies yang segera memahami bahwa K-13 dalam implementasinya bermasalah besar. Namun, dengan menerapkan dua kurikulum, ia juga telah ”mengorbankan” siswa di 6.221 sekolah. Meminjam istilah seorang guru besar matematika dan kawan yang sangat saya kagumi, ”Sebagai ayah, kalau anak kita minta makan roti, masak kita tega memberi makan batu.” Saya pikir kejadian ini dapat menjadi bahan pembelajaran berharga bagi Mendikbud yang baru….
Retno Listyarti
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia dan Kepala SMA Negeri 76 Jakarta

0 komentar:

Renaisans

PARA politisi dan partai politik di Indonesia kelihatan semakin menderita democratosis, suatu peradangan yang terjadi bila resistensi alami dari badan politika rapuh terhadap tekanan fulus dan tak peduli pada ide serta pandangan baru. Gejala-gejalanya meliputi inkonsistensi dan inkontinuitas retorika dari para elite parpol dan peningkatan tingkat iritasi di kalangan politikus petahana ketika keseimbangan harmonial dari sistem politik terganggu. Para politikus cenderung menanggapi setiap strategi politik baru sebagai ekuivalensi sipil dalam mengusulkan perang ideologis. Sementara itu, para pemimpin parpol merasa tersinggung berhubung perubahan politik yang fundamental dianggap gugatan terhadap kepakaran yang mereka pupuk selama ini tentang bagaimana pengelolaan kepartaian. 

Virus fulus 
Virus itu mula-mula tampil ketika sehabis pesta besar demokrasi—pilpres, pileg, dan pilkada—mengungkapkan ada aneka cara berbeda menangani kompleksitas dari pilihan-pilihan demokratis. Sementara itu, rakyat dilatih percaya bahwa sistem multipartai paling efektif untuk memasok banyak pilihan sekaligus menyaring pemenang tulen yang bakal dipercaya memimpin negara di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dan, itu tak harus berupa suatu konsensus sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila. 

Lalu, yang kalah dalam pemilu berusaha menyelamatkan muka dengan membersihkannya dari kotoran fulus-pembeli suara rakyat sambil menuding pihak pemenang bermain curang. Mereka tidak segan menghujani lawannya dengan tuduhan aneka dosa elektoral, padahal mereka sendiri belum tentu bersih dari dosa-dosa yang mereka kutuk itu. Dengan kata lain, the alleged Indonesian faith in the multi-party system tidak mengindahkan analisis dan kenyataan empiris. 

Virus tampil semakin jelas dalam semua dinamika internal yang terjadi di kalangan PPP dan Golkar. Begitu destruktif dinamika itu hingga rumah kepartaian masing-masing terbelah dua. Jika sebuah rumah terbagi atau dibagi tanpa kehendak rumah itu sendiri, bangunannya menjadi goyah. Tentu banyak sebab yang saling menunjang ke arah itu. Namun, apabila ditelusuri dengan teliti dan jujur, akan ketahuan bahwa sebab utamanya—yang jadi hakikat virus tadi—adalah fulus. 

Pemimpin parpol cenderung dipercayakan kepada orang yang berduit atau—sama buruknya—pada keturunan seorang pemimpin karismatis "tempo doeloe". Tidak heran kalau sang pemimpin menganggap kegiatan berpolitik itu sebagai suatu investasi finansial atau kedinastian. Tidak heran apabila dia lalu menentang at all costs jika ada usaha menyingkirkannya dari mahligai kepemimpinan. Dia merasa diperlakukan sebagai tebu, habis manis sepah dibuang, lebih-lebih jika orang-orang yang berkomplot untuk menjatuhkannya adalah mereka yang pernah turut menikmati secara pribadi uang yang telah dia curahkan ke kas partai. Semua tokoh yang sedang berseteru dengan dalih apa pun lupa bahwa orang tidak bisa menggerakkan parpol dengan semata-mata berbasis bisnis. Ia bagai human, seharusnya berjiwa. 

Sejujurnya semua parpol kita dan elite yang mereka sodorkan sebagai pemimpin di setiap jenjang dan bidang pemerintahan dibesarkan dalam term kefulusan. Sepak terjang mereka tidak lagi bersendikan idealisme dan semangat juang kemerdekaan nasional yang sejati. Mereka sekarang "berjuang" dengan pamrih pribadi, kalau bisa diusahakan sampai tujuh keturunan. 

Mereka sudah terputus dengan sumber asli perjuangan bersama. Adapun gerak perjuangan kolektif yang sehat seharusnya mirip alur sungai: terus mengalir ke finalitas yang dicita-citakan, tidak pernah ia terpisah barang sedetik dari sumber awalnya, asal-usul eksistensinya. 

Kita perlu merehabilitasi kesinambungan ideal yang terputus sebagai kesinambungan itu merupakan satu keniscayaan untuk membasmi virus penyebab peradangan politik. Bagaimana Indonesia bisa sehat kalau ia dikelola politika sakit-sakitan? 

Orang Swiss yang selama 500 tahun hidup demokratis, penuh kedamaian, dan cinta sesama memproduksi jam burung-burungan (cuckoo clock), yang mengingatkan mereka sejak bayi tentang keberadaan "waktu", satu nilai yang sangat berguna bagi pengaturan hidup human. Orang Italia yang selama 30 tahun hidup di bawah rezim Borgias yang diwarnai dengan intrik, teror, pembunuhan, dan pertikaian berdarah masih mampu menghasilkan Michelangelo, Leonardo Da Vinci, dan Renaisans. 

Jam karet 
Rakyat Indonesia yang sudah mengalami hidup merdeka selama 69 tahun masih berpegang pada jam karet, masih hidup kacau terus-menerus karena disetir oleh politikus dan parpol yang keblinger. Maka, sudah saatnya kita membenahi kondisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan mencetuskan renaissance, here and now or never. 

Renaisans berarti kelahiran kembali. Yang harus kita lahirkan kembali adalah nilai/kebijakan yang dipesankan aneka peristiwa politik yang dahulu meratakan jalan perjuangan melawan penjajah dan kini kita akui sebagai "tonggak-tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan nasional". Semua ini sudah didokumentasi relatif baik, termasuk pernyataan arif dari para pendiri NKRI. 

Rakyat Indonesia perlu menggali pesan-pesan yang dikandung oleh semua peristiwa tadi, menghayati, dan menjadikannya sebagai pemandu yang mencerahkan (Aufklärung) dalam menyiasati jalannya kehidupan bersama. Usaha ini memang tidak gampang dan, karena itu, kaum intelektual dan pemikir independen diharapkan dapat menuntaskan mission sacrée ini. Politika adalah terlalu penting dan serius untuk dibiarkan semata-mata menjadi urusan politikus dan parpol dalam menempuh kehidupan bersama. 

Kebersamaan ini adalah hak-milik suatu rakyat. Namun, rakyat ini bukanlah sembarang kumpulan human yang bergabung dengan cara-cara sembarangan. Rakyat adalah suatu konsentrasi sejumlah besar manusia yang berasosiasi dengan suatu kesepakatan mengenai keadilan dan kemitraan demi kebaikan bersama. Sebab, utama dari asosiasi seperti ini bukanlah kelemahan individual, melainkan suatu spirit sosial tertentu yang ditanamkan oleh alam dari diri manusia. 

Renaisans Indonesia dan Eropa sama, tetapi tidak serupa. Kesamaannya adalah usaha sadar dan sengaja untuk membangkitkan batang terendam. Batang ini berupa nilai-nilai andalan. Yang tidak serupa adalah konsen dalam usaha itu. 

Metafora renaisans Eropa berupa penolakan setiap privilese mengakses kebenaran yang berlaku pada Abad Tengah sekaligus membiasakan kembali kegiatan intelektual menurut model khas dari rasionalitas keilmuan modern, pemulihan pembelajaran semasa Yunani Purba, dan penerapannya di ranah seni, akademia, arsitektur, dan kesusastraan orang modern. 

Konsen kita mewujudkan renaisans adalah mengoreksi gerakan politika yang semakin jauh melenceng dari cita-cita semula yang serba luhur dari perjuangan kemerdekaan. Harga dari realisasi cita-cita ini sangat mahal dan sudah dibayar oleh Angkatan 1945 dengan pengorbanan jiwa dan oleh angkatan-angkatan pejuang sebelumnya berupa pengasingan, pemerasan jasmani dan rohani oleh rezim kolonial. 

Generasi pasca revolusi kemerdekaan harus menghargai rangkaian pengorbanan tadi. Kelompok intelegensianya pantang bersikap indifferent terhadap hal itu dan harus berinisiatif mengambil peran yang menentukan dalam gerakan renaisans yang mengoreksi kemelencengan berpikir dan berbuat dari elite politik yang selalu mengklaim terpanggil memimpin dan mengarahkan Ibu Pertiwi dengan cara-cara mereka sendiri. Apabila tak bertindak sesuai dengan yang diharapkan nurani kebangsaan itu, saya khawatir, sejarah kelak akan menarasikan era sekarang, bukan lagi sebagai zaman politik edan- edanan, melainkan zaman pengkhianatan intelektual-la trahison des intellectuels

DAOED  JOESOEF 
Alumnus. Université Pluradisciplinaires Panthéon-Sorbonne

0 komentar:

Merevisi Kurikulum 2013

Hasil revisi Kurikulum 2013 kemungkinan akan segera diumumkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayan Anies Baswedan. Jika revisi hanya mengacu persoalan teknis-implementatif, revisi tak akan berguna, sebab pokok persoalan sesungguhnya lebih pada substansi, bukan isi materi atau implementasi. Inilah yang harus direvisi. Revisi harus menyentuh hal-hal yang fundamental yang selama ini jadi persoalan serius dalam Kurikulum 2013.
Tiga langkah perlu dilakukan. Pertama, merevisi landasan yuridis pelaksanaan Kurikulum 2013, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 32 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan yang merevisi PP No 19 Tahun 2005. Revisi PP No 32 Tahun 2014 akan berdampak pada revisi peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (permendikbud) yang jadi dasar pelaksanaan Kurikulum Pendidikan.
Kedua, revisi atas PP No 32 Tahun 2014 akan berdampak pada revisi atas beberapa landasan konseptual filosofis pedagogis Kurikulum 2013 yang selama ini dianggap bermasalah, seperti konsep Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, Silabus, tematik integratif, desain buku ajar, dan sistem evaluasi dan penilaian.
Ketiga, revisi pendekatan praktis dalam metode pelatihan guru terkait substansi, isi, dan keterampilan yang dibutuhkan.
Fokus revisi
Ada 10 fokus revisi yang harus dilakukan tim revisi bentukan Anies. Tanpa menyentuh 10 hal fundamental ini, revisi tak akan bermakna karena hanya akan melanjutkan sebuah implementasi kurikulum yang dasar pijakannya sudah keliru sejak awal. Pertama, revisi konsep Kompetensi Inti. Kompetensi Inti dipahami sebagai ”tingkat kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan yang harus dimiliki seorang peserta didik”.
Kompetensi Inti yang dipahami sekadar menjadi sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan sangatlah meredusir kekayaan, hakikat, dan proses belajar itu sendiri. Apalagi jika kompetensi spiritual hanya dipahami sebagai ”menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya”, yang berlaku sama untuk seluruh jenjang dari tingkat dasar sampai menengah,  sedangkan sikap hanya mengacu pada perilaku tertentu yang sifatnya sangat terbatas. Kurikulum 2013 telah memasukkan sebuah konsep dasar yang meredusir kekayaan kompleksitas proses belajar yang sesungguhnya.
Inilah yang perlu direvisi. Revisi terutama justru mengembalikan hakikat proses belajar yang melampaui sekadar pengembangan sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi Inti harus didesain secara utuh dan komprehensif, tak parsial dengan membagi-baginya menjadi komponen-komponen yang akan diselaraskan dalam proses belajar.
Kedua, pengarusutamaan pada spiritualisme. Kurikulum 2013, dengan memagari proses pembelajaran pada kompetensi inti, terutama pada sikap spiritual, telah menghasilkan spiritualisasi proses pembelajaran. Proses belajar diarahkan semuanya pada praksis “penghayatan dan pengamalan agama yang dianut siswa”. Ini sebuah pendekatan kurikulum yang sangat absurd, memiskinkan kekayaan pengalaman belajar, dan mendiskriminasi siswa yang agamanya tidak resmi diakui oleh pemerintah. Akibatnya, muncul definisi Kompetensi Dasar (KD) yang tak masuk akal, aneh-aneh, dan lucu.
Pada pelajaran Matematika kelas X, misalnya, definisi kompetensi inti dan dasar ternyata sama, yaitu menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Ini pelajaran matematika atau pelajaran agama? Pendekatan spiritualis seperti inilah yang harus direvisi menjadi pendekatan pembelajaran yang lebih rasional, mengedepankan akal budi dan nilai-nilai universal yang bisa dipelajari semua orang.
Ketiga, pendidikan agama dan budi pekerti. Kurikulum 2013 telah memperkenalkan sebuah konsep yang sangat keliru tentang kaitan antara pendidikan agama dan budi pekerti. Ketatnya jumlah jam belajar telah memaksa pemerintah menggabungkan pendidikan agama dengan budi pekerti. Pemerintah salah memahami seolah-olah agama-agama mengajarkan pendidikan budi pekerti yang berbeda.
Padahal, agama memiliki domain ajaran yang berbeda dengan pendidikan budi pekerti. Pelajaran agama bersifat eksklusif, dogmatis, ritual, sedangkan pendidikan budi pekerti bersifat inklusif, terbuka, dan mengacu pada praksis kehidupan bersama secara bijak, adil, saling menghormati.
Apabila pendidikan agama masuk ranah kepercayaan yang sifatnya sangat subyektif, pendidikan budi pekerti berada pada ranah moral yang memiliki kodifikasi nilai universal, berupa nilai-nilai moral kemanusiaan. Mengintegrasikan pendidikan budi pekerti pada pendidikan agama jelas akan kian menyegregasi anak-anak Indonesia berdasarkan kelompok agama dan ini akan mereduksi pengalaman mereka akan keragaman dan kebersamaan.
Keempat, revisi silabus. Silabus bagian tak terpisahkan dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Silabus harus direvisi karena telah terjadi logika terbalik. Kurikulum 2013 ternyata membuat silabus berdasarkan buku yang sudah dicetak, menyesuaikan dan menambahkan apa yang kurang. Permendibud No 57 Tahun 2014 menjelaskan adanya tiga pola format silabus: (1) KD diberi keterangan:  KD buku, KD silabus, KD buku dan silabus, KD buku tetapi tidak sesuai permendikbud. (2) KD diberi keterangan: ada di buku, tidak ada di buku. (3) KD Dasar tanpa keterangan. Keterangan ini mengindikasikan bahwa silabus dibuat berdasarkan buku, dan bukan buku berdasarkan silabus. Logika terbalik ini membuat kualitas buku kurikulum dipertanyakan.
Kelima, pendekatan tematik integratif berubah menjadi materi pelajaran. Kurikulum 2013 untuk sekolah dasar mengubah seluruh proses pembelajaran dalam format tematik integratif. Tematik integratif sesungguhnya sebuah metode belajar, bukan mata pelajaran. Fokus pembelajaran semestinya tetap pada pengembangan dasar-dasar ilmu pengetahuan. Fokus ini menjadi hilang dan siswa lebih gemar mempelajari tema. Akibatnya, siswa hanya akan menghafalkan fragmen-fragmen tematis pembelajaran, tanpa mampu mengintegrasikan kaitan antara ilmu yang satu dan yang lain. Situasi ini diperparah dengan tidak adanya peta kompetensi dalam silabus.
Keenam, peta kompetensi dasar. Silabus dalam Kurikulum 2013 tidak menyertakan peta kompetensi dasar. Yang ada dalam buku kurikulum hanyalah jaringan kompetensi dasar. Akibatnya, beberapa kompetensi diajarkan berulang-ulang dalam tema-tema yang lain, sedangkan kompetensi yang lain sama sekali tidak dibahas. Ini dapat dimaklumi karena pada saat pembuat buku ajar mendesain buku, mereka tidak dilengkapi dengan silabus sehingga kompetensi yang dibuat hanya perkiraan penulis buku saja.
Tanpa adanya peta kompetensi, kita tak dapat mengetahui sejauh mana proses belajar siswa, dan apakah seluruh kompetensi keilmuan yang dibutuhkan telah terliput dalam keseluruhan tema pembelajaran. Akibat fatal dari absennya peta kompetensi ini adalah rangka-bangun keilmuan siswa sekolah dasar sangat rapuh.
Ketujuh, indikator pembelajaran. Tim revisi kurikulum harus merevisi silabus dengan menyertakan indikator pembelajaran. Tanpa adanya indikator pembelajaran yang lebih detail, proses pembelajaran tidak dapat dinilai dan dievaluasi. Kompetensi dasar yang ada saat ini masih terlalu umum, bahkan kompetensi dasar untuk Matematika kelas X untuk sikap spiritual sama dengan kompetensi dasar. Tanpa adanya indikator pembelajaran, seluruh proses pembelajaran dalam Kurikulum 2013 tidak dapat dievaluasi.
Evaluasi pembelajaran
Kedelapan, model evaluasi dan penilaian. Tim revisi kurikulum harus merevisi model evaluasi pembelajaran baik secara mikro maupun makro. Penilaian yang bersifat mikro adalah evaluasi proses pembelajaran dalam kelas, dan yang makro adalah keseluruhan sistem evaluasi pendidikan nasional. Penilaian kompetensi sikap sangat bermasalah dan tidak realistis karena guru hanya akan disibukkan mengamati siswa agar dapat mengisi kolom penilaian.
Adapun secara makro, spirit pembelajaran dalam Kurikulum 2013 mewajibkan pemerintah menghapus sistem ujian nasional karena bertentangan dengan roh dalam Kurikulum 2013. Tetap mempertahankan ujian nasional merupakan sikap inkonsisten dan keengganan dalam merevolusi mental.
Kesembilan, model pelatihan guru harus diubah. Guru perlu dilatih untuk memiliki kekayaan dalam berbagai macam strategi dan pendekatan belajar, serta pendekatan dalam proses penilaian, melalui rubrik, portofolio, proyek, dan lain-lain. Fokus pada micro teaching, bukan pada paparan presentasi power point seperti terjadi selama ini.
Kesepuluh, desain buku pelajaran. Buku-buku pelajaran yang sudah dicetak harus dinyatakan sebagai salah satu referensi sumber pembelajaran saja karena kualitas buku Kurikulum 2013 dipertanyakan dari segi isi dan substansinya. Pemerintah perlu mendesain buku pelajaran dengan lebih baik dan menyertakan akademisi lintas ilmu agar dapat mendesain buku pelajaran yang baik dan bermanfaat, bukan menyerahkan kepada para penulis buku amatiran yang sekadar punya pengalaman mengajar.
Sepuluh hal fundamental di atas haruslah jadi fokus perhatian bagi tim revisi Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 bermasalah bukan karena persoalan teknis, seperti pembagian dan cetak buku, melainkan secara substansial dan fundamental bermasalah. Jika sepuluh hal di atas tidak masuk dalam kajian dan hasil yang akan dilaporkan oleh tim revisi Kurikulum 2013, saya tidak melihat kesungguhan pemerintah dalam merevisi Kurikulum 2013. Ini berarti membiarkan masa depan anak Indonesia dalam sebuah proses pendidikan yang salah kaprah berkepanjangan.
Doni Koesoema A
Alumnus Curriculum and Instruction Faculty, Boston College Lynch School of Education, Boston, AS

0 komentar:

Pesan Himne ”Indonesia Raya”



Setiap upacara resmi kenegaraan tentu dimulai dan ditutup dengan nyanyian himne nasional "Indonesia Raya". Semua yang hadir tampak bersikap khidmat. Ini adalah penampilan lahiriah. 

Apakah bersamaan dengan itu mereka, dalam batin masing-masing, teringat juga pada pesan-pesan yang dikandung oleh bait-bait "Indonesia Raya"? 

Pada kesempatan terbatas ini mari kita simak salah satu pesan yang mengingatkan apa yang dimaksud dengan negara idaman dan, terkait dengan itu, bagaimana seharusnya menjalankannya. Sikap para tokoh parpol, yang merasa terpanggil untuk mengemudikan bahtera Indonesia, mengesankan tak peduli pada pesan tadi. Dalam pembahasan selanjutnya akan saya kutip ide dan pemikiran beberapa filosof, pengamat politik, dan kampiun demokrasi seperti George F Will, Raymond Aron, Foucault, Burdeau, Franz Magnis-Suseno. 

Setelah secara metaforis menggambarkan Indonesia sebagai seorang makhluk—Ibu Pertiwi, berbeda dan berjiwa—"Indonesia Raya" menyebut "...bangunlah jiwanya, bangunlah badannya...!" Jadi, dengan sengaja berpesan kepada kita bahwa demi Indonesia Raya, perlu kita bangun lebih dahulu "jiwanya" (mental), bukan "badannya", wadah fisik (flesh). Berarti mengingatkan bahwa keterampilan bernegara adalah juga kemahiran membangun jiwa. 

Mental warga negara 

Langkah awal ke arah pelaksanaan pesan itu adalah menyadari bahwa negara, di mana pun, bukan sekadar berupa "lokalitas fisik". Hotel adalah sebuah lokalitas fisik. Untuk kelangsungan eksistensinya, ia butuh penghuni/penduduk (residents). Indonesia, baik dalam artian negara maupun negara-bangsa, membutuhkan warga negara (citizens). Maka, "penduduk" harus ditempa menjadi "warga negara". Berarti suatu pemerintah yang demokratis harus bertindak sekaligus sebagai "tutor" dan "pelayan" bagi para warganya karena kewarganegaraan adalah suatu alam pikiran, citizenship is a mindset. 

Langkah kedua adalah memerinci pengertian yang diniscayakan tentang Tanah Air. Agar tak jadi warga negara yang munafik, perlu kiranya sekarang ditegaskan bahwa pengertian Tanah Air berdimensi tiga, yang semuanya perlu dipenuhi, yaitu dalam artian fisik, formal, dan mental. Tanah Air dalam artian fisik adalah bumi tempat kita dilahirkan, sumber nafkah kehidupan, dan tempat kita istirahat untuk selamanya. Tanah Air dalam artian formal adalah entitas politik yang kedaulatannya membuat kita menjadi manusia merdeka dan bermartabat di mata dunia. Tanah Air dalam artian mental adalah tuntutan agar kita menyatu dengan suka dukanya, berkomitmen untuk membangun dan mempertahankan eksistensinya dengan jiwa dan raga kita. 

Artian ketiga ini yang sekarang kelihatan sekali semakin diabaikan. Tidak sedikit warga negara Indonesia kontemporer menyimpan di luar negeri harta kekayaan yang digali dari bumi Indonesia, bahkan memakainya sebagai modal berbisnis di negeri asing, sedangkan di negeri sendiri masih banyak warga yang menganggur. Ada yang seenaknya menjual pulau atau mengeruk tanahnya untuk memperluas daratan negeri lain. Mereka ini sebenarnya masih bermental "penduduk", bukan "warga negara", tidak bersedia "engaged", apalagi "committ" dalam usaha kolektif memecahkan masalah bangsa. Jadi "mindset" mereka bukan seperti yang diharapkan Ibu Pertiwi. 

Demokrasi meniscayakan kita membuka pikiran. Namun, suatu pikiran yang terbuka lebar dan permanen bisa jadi berupa pikiran kosong andaikata masih dianggap pikiran. Suatu pikiran tak mungkin tanpa bentuk (shapeless), ia perlu dibina. Orang yang membina sentimen publik akan menyelami lebih dalam alam pikiran daripada orang yang menyusun peraturan dan mengambil keputusan. Dia membuat peraturan dan keputusan yang mungkin atau tak mungkin terlaksana. Orang yang membina opini publik (bisa) mewujudkan atau menghancurkan bangsa karena, menurut Lincoln, "a nation may be said to consist of its territory, its people and its laws. The territory is the only part which is certain of durability." 

Pemerintah yang kerjanya bersendikan konvensi dapat ditransformasi oleh transformasi dari opini. Jika pemerintah ingin lebih daripada sekadar merespons kekuatan-kekuatan sosial, jika ia ingin membentuk dan memimpin kekuatan-kekuatan itu, termasuk pasang-surutnya opini, ia harus konsen dengan (alam) pikiran. 

Menata alam pikiran sama dengan mendidik karena pendidikan bukan mengajar orang memikirkan apa (what to think), melainkan bagaimana berpikir (how to think). Kita tidak bisa membiarkan guru memanfaatkan posisinya untuk berpropaganda. Namun, kita juga tidak akan menolerir guru yang tidak peduli terhadap jenis-jenis judgements anak-anak didiknya atau cara-cara mereka memilih sesuatu judgement. Tentu masih banyak lagi konklusi yang belum terpikir oleh mereka. 

Misi negara 

Tujuan dari keterampilan berbangsa sebagai kemahiran membangun jiwa bukanlah mempromosikan suatu pandangan khas tentang keamanan atau kesejahteraan, atau pembangunan, atau hal praktis tertentu dari kebijakan yang sedang berlaku, atau masalah-masalah lebih umum seperti keseimbangan optimum antara kebebasan dan kesetaraan dalam program keadilan distributif. Soal-soal tersebut pasti merupakan subyek dari perdebatan permanen dan, karena itu, menjadi isu yang mendasari pengorganisasian partisan. 

Berbagai bagian dari pemerintahan yang dikontrol oleh parpol tertentu akan menyandarkan argumentasinya pada salah satu dari pandangan partisan itu. Namun, negara dalam kapasitasnya selaku penyelenggara kepentingan rakyat yang serba sakral bukanlah partisan dari argumen-argumen tadi. Ia adalah partisan permanen dan berkesungguhan yang mengatasnamakan ciri konstitusional tertentu, kearifan sosial, dan proses institusional yang dianggap mendasari suatu kepartisanan yang sehat. Ia harus bersikap begitu karena kebebasan adalah suatu disiplin, dalam berpikir maupun berbuat. 

Berhubung pemerintah dibentuk oleh dan bersama-sama parpol, parpol dituntut turut bertanggung jawab atas penempaan penduduk menjadi warga negara melalui pembangunan jiwa yang mengacu pada penataan alam pikirannya. Politika adalah berbicara tentang bicara, tentang idiom politik yang berlaku, idiom tradisional dari demokrasi. Berhubung politika terdiri atas 95 persen bicara, apabila pembicaraan terlalu unrealistic, akan diperoleh pemerintahan yang tidak perlu unrealistic. 

Maka, untuk merevitalisasi politika dan mengokohkan pemerintah, kita butuh bicara tentang berbicara, bukan "debat kusir". Kita memerlukan suatu retorika terhormat yang baru, yaitu kejeniusan, kearifan yang terbaik dari natur human. Kita bukan apa yang kita makan, bukan produk dari pembangunan badan, tetapi produk dari kejiwaan yang menata pikiran. Maka, parpol perlu membekali kader-kadernya dengan aneka ide dan pengetahuan khas tentang politik dan ketatanegaraan, mirip dengan kursus-kursus kader "Pendidikan Nasional Indonesia" yang diorganisasikan oleh Hatta dan Sjahrir di masa perjuangan kemerdekaan dahulu (1932-1933). 

Berhubung kondisi kehidupan politik sekarang sudah jauh lebih kompleks, materi pembahasan perlu disesuaikan begitu rupa hingga betul-betul relevan. Para kader perlu pembelajaran filosofi politik tentang polity, yang tak sekadar mengkaji lembaga-lembaga pemerintah. Polity jauh lebih luas, mencakup semua lembaga, disposisi, kebiasaan, dan ide pada mana pemerintah bersandar dan, karena itu, perlu ia kuasai agar bisa punya "a shaping influence". Bukankah negara bukan berupa satu lokalitas fisik, melainkan punya misi tertentu sebagaimana diingatkan himne nasional "Indonesia Raya". Justru kedemokrasian yang menuntut pemerintah harus bertindak sebagai "tutor" dan "pelayan" bagi warganya karena kewarganegaraan adalah suatu alam pikiran (mindset). 

Daoed JOESOEF 
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne 

0 komentar:

”Harga” Dosen Naik, Peringkat Universitas Turun



Tulisan Rhenald Kasali berjudul ”Naiknya ’Harga’ Dosen” (Kompas.com, Senin, 15 September 2014) cukup menarik untuk ditanggapi.
Sebagai guru besar ilmu manajemen yang sudah tersohor, pendapat beliau mengenai naiknya ”harga” dosen beserta implikasinya tentu cukup valid. Namun, saya merasa tulisan tersebut jadi kurang bermakna ketika diarahkan hampir semata-mata untuk menyampaikan pesan agar para rektor perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH) bekerja lebih cerdas menggali dana-dana baru di luar biaya operasional pendidikan (BOP) dan pengelola yayasan perguruan tinggi swasta (PTS) berpikir lebih keras untuk menyediakan sumber-sumber dana baru untuk mempertahankan dosen-dosen berkualitas.
Di lain pihak, hampir bersamaan dengan tulisan tersebut, Quacquarelli Symonds (QS) World University Rankings 2014/2015 diumumkan. Ternyatadari delapan perguruan tinggi Indonesia yang masuk dalam radar QS World University Ranking, enam ”berhasil” mempertahankan peringkatnya pada posisi yang sama dengan tahun lalu. Sementara dua perguruan tinggi yang lain melorot: Universitas Indonesia turun satu peringkat dari peringkat ke-309 (2013) menjadi ke-310 (2014) dan Universitas Gadjah Mada melorot dari peringkat 501-550 (2013) menjadi 551-600 (2014).
Kemakmuran dan kinerja
Pada kenyataannya, memakmurkan dosen semata-mata tak berkorelasi langsung terhadap kinerja dosen. Ketika pemerintah—berdasarkan PP No 41/2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor—memberikan insentif yang cukup besar kepada dosen, tak serta-merta hal ini berdampak terhadap kinerja dosen, apalagi terhadap kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan.
Bahkan, kalau boleh meminjam data yang telah dipublikasi QS World University Ranking, sejak 2009, dari delapan PT Indonesia yang masuk radar QS, semua turun peringkat dan kemudian stagnan. Sementara di bidang publikasi ilmiah, menurut pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Indonesia pun tertinggal jauh, bahkan hanya sekitar sepertujuh jika dibandingkan dengan publikasi ilmiah dari Malaysia. Hal ini pula yang membuat Dirjen Dikti mengeluarkan Surat Edaran No 152/E/T/201,2 yang memberlakukan ketentuan kewajiban menghasilkan makalah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3. Seperti dapat dibayangkan sebelumnya, surat tersebut akhirnya menuai kontroversi dan kehebohan di kalangan akademisi.
Sampai saat ini dampak surat edaran tersebut tampaknya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah publikasi karya ilmiah di Indonesia. Mungkin satu hal yang terlupakan ketika surat tersebut dikeluarkan, yaitu kenyataan bahwa tanpa ditopang kegiatan riset yang menghasilkan luaran yang layak, mewajibkan mahasiswa menulis makalah hanya akan mendorong para peserta didik mengambil jalan pintas. Salah satunya melakukan plagiarisme. Jadi, sangat jelas dalam hal ini menaikkan ”harga” dosen tidak serta-merta akan menaikkan kinerja dosen.
Dalam tulisan itu, Rhenald Kasali juga menyatakan bahwa Permendikbud No 84/2013 merupakan konsep penataan PT yang memberi nilai tambah lebih baik bagi para dosen. Menurut saya, ini suatu pernyataan yang juga kurang tepat.
Dengan ikut sertanya pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ”mengelola” dosen PT yang jumlahnya sekitar 270.000 orang dan tersebar di lebih dari 3.100 PT merupakan suatu langkah ”penataan” yang sungguh susah dibayangkan tujuan utamanya. Alih-alih menyusun langkah strategis dan menetapkan arah dan tujuan pendidikan tinggi, Kemendikbud melalui Ditjen Dikti tampaknya memosisikan diri dan berperan menjadi ”universitas” terbesar di dunia yang berisikan lebih dari 3.100 PT di dalamnya.
Bayangkan jika instrumen bernama Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) atau Nomor Induk Pengajar Nasional (NIPN) digunakan untuk “mengikat” kaum intelektual, yang disebut dosen, agar selalu ”loyal” kepada satu PT induknya dengan beban minimum 12 SKS untuk mendapatkan status dosen tetap. Sementara dosen bersangkutan mungkin adalah dosen yang ilmu dan kompetensinya sangat mumpuni dan diperlukan, tidak saja di dalam negeri bahkan mungkin sampai ke mancanegara.
Hal ini tentu bertolak belakang dengan semangat ASEAN Free Trade Area (AFTA), yang secara jelas dicantumkan bahwa salah satu program utama untuk bidang pendidikan adalah Student and Staff Mobility. Namun, harap dipahami, saya bukan orang yang mendukung adanya dosen ”empat penjuru angin” atau bahkan mungkin ”delapan penjuru angin”, yang bagaikan selebritas ngamen di mana-mana semata-mata untuk alasan uang.
Saya jadi bertambah kagum ketika menelusuri pasal demi pasal dari permendikbud dimaksud. Secara implisit semangatnya menuju pengaderan dosen profesional yang dimulai sejak mereka menyandang gelar S-2, bahkan mungkin sejak S-1. Jadi, skenario yang akan dan telah terjadi mungkin begini. Almamater sebuah PT merekrut alumninya untuk menjadi dosen. Maka, setelah lulus S-1, calon dosen tersebut melanjutkan S-2, kemudian langsung ke S-3. Setelah selesai S-3 jadilah dia dosen di almamaternya. Dari beberapa dosen tersebut, kemudian ada yang mendapat tugas sebagai pejabat struktural, mulai dari ketua program studi, sekretaris jurusan, ketua jurusan, kemudian wakil dekan, dekan, sampai dengan wakil rektor, bahkan rektor.
Kepemimpinan
Ada hal yang menarik dari cara memberi penugasan ini, yang pada umumnya menjadi kebiasaan di banyak universitas, yaitu memberikan tugas administratif kepada dosen dengan kualifikasi akademik atau jabatan akademik tertinggi di domain tersebut. Atau, belakangan ini, ada yang lazim dilakukan, yaitu melakukan pemilihan, yang katanya supaya lebih ”demokratis”. Padahal, pada tiap akhir jabatan sang dosen yang mengemban jabatan struktural itu tidak pernah memberikan laporan pertanggungjawaban kepada ”rakyatnya”.
Lengkaplah sudah, dimulai dengan perekrutan dosen yang cenderung dari alumni sendiri (in-breeding), dilanjutkan pemilihan pejabat struktural dengan semangat ”korsa” yang tinggi, dapat dibayangkan kualitas kepemimpinan seperti yang akhirnya didapatkan. Jika PT itu kebetulan yang memang sudah melaju kencang, kecepatannya akan cenderung stagnan, sedangkan kompetitornya di luar sana makin menambah akselerasi sehingga akan semakin jauh melaju meninggalkannya. Hal ini salah satunya disebabkan absennya kepemimpinan yang memiliki kompetensi manajemen PT yang mumpuni dan teruji, bukan sekadar figur seorang dosen favorit, motivator ulung atau selebritas terkenal.
Maka, sangat disayangkan ketika ”harga” dosen sudah naik, tetapi peringkat universitas kita tetap seperti dulu.
(Erry Yulian Triblas Adesta, Deputy Dean (Postgraduate & Research), 
Universiti Islam Antarabangsa (UIA) Malaysia

0 komentar: