POLEMIK penerapan Kurikulum 2013 semakin memanas. Sejumlah kepala dinas pendidikan di beberapa daerah menolak surat keputusan Mendikbud Anies Baswedan agar sekolah yang baru satu semester menerapkan Kurikulum 2013 kembali menggunakan Kurikulum 2006
”Pembangkangan” sejumlah kepala dinas dan kepala sekolah tak akan
terjadi jika Anies berani memutuskan penghentian total Kurikulum 2013
(K-13), termasuk 6.221 sekolah yang sudah lebih dahulu menggunakannya.
Pemberlakuan dua kurikulum ini menjadi celah bagi sejumlah kepala dinas
pendidikan untuk memaksa sekolah menerapkan K-13 meski tak termasuk
6.221 sekolah tersebut.
”Ketentuan yang saya keluarkan adalah sekolah yang sudah menjalankan
K-13 selama tiga semester tetap melanjutkannya. Adapun sekolah yang baru
melaksanakan K-13 selama satu semester stop dulu. Kembali ke Kurikulum
2006. Lalu, jika ada sekolah yang sudah menjalankan K-13 selama tiga
semester, tetapi tidak masuk dalam 6.221 sekolah tadi, silakan
mengusulkan kepada Kemdikbud. Nanti kami cek apakah benar-benar layak
untuk ikut menjadi sekolah pilot project,” kata Mendikbud Anies
Baswedan. Keputusan itu tertuang dalam Permendikbud Nomor 160 Tahun
2014, Pasal 1 dan 4.
Terjadi ”Pembangkangan”
Seorang kawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengirim pesan
pendek (SMS) kepada saya, yang kurang lebih isinya menyatakan: telah
terjadi pertemuan antara seluruh kepala sekolah dan Lembaga Penjamin
Mutu Pendidikan (LPMP) NTB di Kota Mataram. Isi pertemuan adalah
memerintahkan semua kepala sekolah agar tetap mempergunakan K-13
meskipun sarana dan prasarana sekolah di NTB belum memadai dan para guru
masih belum paham K-13.
Kalau pertemuan itu benar adanya, maka amat disayangkan. LPMP yang
seharusnya mendukung penuh kebijakan Mendikbud—karena bagian struktural
dari Kemdikbud sendiri—ternyata justru melakukan tindakan sebaliknya.
Kalau pada jajarannya saja keputusan Mendikbud ”dilawan”, apalagi oleh
para kepala daerah dan kepala dinas pendidikan. Perlu diingat, kepala
dinas dan kepala daerah pasti berani menentang Mendikbud atas nama
otonomi daerah.
Sehari sebelum SMS dari kawan di NTB saya terima, juga ada SMS masuk
dari Batam, Kepulauan Riau, yang menginformasikan bahwa Dinas Pendidikan
Batam mengumpulkan semua kepala sekolah se-Batam. Dalam pertemuan
tersebut para kepala sekolah diinstruksikan agar tetap menggunakan K-13.
Mereka tidak diperkenankan untuk kembali ke Kurikulum 2006 yang lebih
dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Meski banyak
yang tidak sepakat, tak ada kepala sekolah yang berani membantah
jajaran dinas pendidikannya.
Ketidakberanian para kepala sekolah membantah dinas pendidikan tentu
sangat dimaklumi mengingat para kepala sekolah ini diangkat dan
diberhentikan oleh dinas pendidikan setempat. Kalau membangkang perintah
dinas pendidikannya, maka kemungkinan dicopot dari jabatan akan
terjadi. Psikologis para kepala sekolah ini tampaknya belum dipahami
Anies Baswedan. Pada era otonomi daerah sekarang ini, kepala sekolah
pasti lebih mematuhi kepala dinasnya daripada menterinya.
Ada juga masuk ke inbox Facebook saya keluhan dari seorang kepala
sekolah dari Kecamatan Kanor, Bojonegoro, Jawa Timur. Kepala sekolah ini
bersaksi bahwa mayoritas kepala sekolah dan guru ingin kembali dulu ke
KTSP karena mereka merasakan dalam implementasi K-13 mengalami
kebingungan. Apalagi sekolahnya juga belum memiliki sarana penunjang
yang memadai untuk mengimplementasikan K-13 secara mulus. Selain itu,
ada ketidaksesuaian antara silabus dan kompetensi dasar dengan buku guru
dan buku siswanya sehingga berpotensi pada ketidakberhasilan
dalam proses pembelajaran.
Namun, seperti halnya di daerah lain, para kepala sekolah ini lebih
memilih mematuhi dinas pendidikannya ketimbang mematuhi menterinya,
meskipun surat keputusan Mendikbud ditujukan kepada kepala sekolah.
Saat menjadi narasumber ”Kontroversi K-13” di salah satu televisi
swasta, saya juga mendengar langsung pernyataan seorang bupati yang
daerahnya tetap akan melaksanakan K-13. Alasan sang bupati, sekolah di
wilayahnya sudah siap dan tidak masalah dalam mengimplementasikan K-13
untuk semua sekolah. Padahal, di media sosial, banyak guru di wilayah
ini mengeluhkan implementasi K-13 di sekolah mereka.
Saya sendiri sebagai salah seorang kepala sekolah di Jakarta belum
menerima surat Mendikbud tersebut meski sekolah saya dengan Kantor
Mendikbud relatif lebih dekat dibandingkan dengan kawan-kawan dari
Batam, Mataram, dan Bojonegoro. Namun, Dinas Pendidikan DKI Jakarta sama
sekali tidak reaktif dengan mengumpulkan para kepala sekolah untuk
memerintahkan tetap melaksanakan K-13 atau kembali ke KTSP, di luar
6.221 sekolah yang ditunjuk.
Menyimak pernyataan-pernyataan Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta Larso
Marbun serta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di media, besar
kemungkinan Jakarta akan mematuhi keputusan Mendikbud. Bahkan, di
beberapa media, Larso Marbun mengkritisi dengan cukup tajam K-13.
Menurut Larso Marbun, penerapan K-13 adalah kebijakan yang belum siap,
berakibat akan mengorbankan guru dan peserta didik. ”Kebijakan yang
belum siap sejatinya jangan diterapkan dulu karena pasti akan berpotensi
gagal di lapangan. Berpikirlah pada kepentingan peserta didik,”
katanya.
Uniknya di Jakarta, meski kepala dinas pendidikannya belum mengumpulkan
para kepala sekolah, di media sosial sudah ramai para guru dan siswa
menginformasikan sikap para kepala sekolah di Jakarta. Mayoritas
ngotot ingin tetap melaksanakan K-13 sekalipun banyak keluhan dari guru
dan peserta didik di sekolahnya.
Alasan mereka umumnya sama. Kalau kembali ke KTSP, maka banyak guru tak
mampu memenuhi beban kerja 24 jam, karena K-13 menambah jam belajar
siswa. Alasan lain adalah lebih pada unsur ”prestise”.
Faktor penyebab
Pembangkangan yang dilakukan LPMP, kepala daerah, dan kepala dinas pendidikan di beberapa daerah terjadi karena
kebijakan Mendikbud yang ”ambigu”. Pemberlakuan dua kurikulum dalam suatu sistem pendidikan dalam keputusan
tersebut telah memberikan celah untuk memilih salah satunya.
Mungkin awalnya para ”pembisik” Anies memperkirakan kalau keputusan ini
dibuat, maka banyak sekolah yang termasuk di antara 6.221 sekolah uji
coba awal itu akan memilih mundur. Ternyata perkiraan itu meleset tajam:
sekolah yang masuk kelompok 6.221 tetap akan melaksanakan K-13,
sementara sekolah di luar itu malah cenderung tetap akan melaksanakan
K-13, meski hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 1 dan 4
Permendikbud No 160/2014.
Anies sangat memahami bahwa terjadi masalah besar di lapangan terkait
implementasi K-13. Namun, sayangnya, ia tak berani memilih opsi pertama
(menghentikan secara total) saat tim evaluasi K-13 bentukannya bekerja,
tetapi lebih memilih opsi kedua. Kenyataan di lapangan justru opsi
ketiga yang dipilih para kepala dinas dan kepala sekolah. Alasannya
beragam, tetapi sebagian besar karena ”masalah anggaran” dan prestise.
Saya mengapresiasi Menteri Anies yang segera memahami bahwa K-13 dalam
implementasinya bermasalah besar. Namun, dengan menerapkan dua
kurikulum, ia juga telah ”mengorbankan” siswa di 6.221 sekolah. Meminjam
istilah seorang guru besar matematika dan kawan yang sangat saya
kagumi, ”Sebagai ayah, kalau anak kita minta makan roti, masak kita tega
memberi makan batu.” Saya pikir kejadian ini dapat menjadi bahan
pembelajaran berharga bagi Mendikbud yang baru….
Retno Listyarti
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia dan Kepala SMA Negeri 76 Jakarta

0 komentar: