Sedikit Curhat soal PEMILU 2014

Bismillahirrahmanirrahim, menyadur kembali tulisan lama yang tersimpan...

        Tulisan ini dibuat untuk mengisi sela waktu senggang tiada bimbingan saat kerja Praktek di North Area Operation CHEVRON Indonesia Company, Balikpapan. Semoga masih bisa terus produktif menulis.

         Saya baru sadar hari ini sudah tanggal 2 Juli 2014 Tepat satu minggu kedepan nasib bangsa akan kunjung bimbang dalam gelanggang peraduan taktis yang nyatanya bisa jadi semu. Sepertinya hingar bingar semarak Demokrasi melalui serangkaian konstelasi Pemilihan Umum Perwakilan Rakyat yang lalu dan Presiden tepat sesaat lagi, hanya kita tutup dengan jadi momentum prosedural semata, seperti laiknya tertulis dalam UU Pemilu. Warna-warni pamflet, bendera yang terajut megah dan umbaran janji manis terpampang seolah kosong—tak paham mana yang berjuang atas namarakyat, mana yang sekedar “berprofesi“ atau merajut oportunis berkedok mesias/juru selamat atas kondisi yang terjadi pada bangsa yang katanya terpuruk ini. Boleh jadi Pemilu tahun 2014 ini menjadi ajang tanding yang paling unik, apalagi saat tanding-tandang Capres dan Cawapresnya,  sepanjang sejarah upaya regenerasi menuju pada tatanan bernegera dan berkonstitusi yang ideal, seperti pada hakikatnya berpolitik. Sebab kondisinya kini telah terdistorsi mendekati gejala sistem politik tak sehat, ketika (saya ambil ikhtisar ini dari pemikiran seorang tokoh Marhaen): 

       Kehancuran kekuatan ideologi sebagai landasan fundamental partai bergerak, kemudian digantikan hagemoni kapital, sehingga segala hal yang berkaitan pengaruh partai pada lubuk hati simpatisan politis-non politis made of capital, berupa kekuatan uang, modal dan happiness. Lucunya, hal ini sangat didukung oleh semakin maraknya calon Wakil Rakyat dan Presiden yang berasal dari pemilik modal besar dan/atau golongan atas. Mari kita telaah dari serangkaian prosesi politik yang telah dijalani. Nyatanya sejauh ini propaganda-propaganda (baca: promosi-promosi) yang dilancarkan dari masing-masing kubu masih tak jauh lebih dari bentuk responsif akan kondisi kekinian yang populis, bukan juga dari hal substansial yang meresahkan kaum proletar, ataupun hal yang sifatnya fundamental menjadi dasar pola berpikir atau bersikap suatu negara, semisal cita-cita bangsa, nilai luhur ataupun falsafah dasar negara. Ataupun juga kepaduan konsep bukan sekadar Tagline manis dan cantik penuh optimisme dipinggiran sudut bawah nama. Lantas penguatan macam apa yang sudah dijalankan oleh calon pemimpin rakyat mendatang ataupun selama ini? Konsepsi? MP3EI? RPJP? Saya tak pernah banyak memperhatikan media membahas soal konsep Negara secara komprehensif ataupun pemimpin menerjemahkan falsafah nilai dari Anggaran Rumah Tangga Negara (Baca: UUD 1945) selain pada teknis pelaksanaan kegiatan program. Kalau perbandingan hemat saya, berkaca dari Organisasi kemarin, suasana yang dibangun pemimpin saat ini mirip suasana Event Organizer.  No need value, just do.

       Lemahnya daya gempur partai yang diganti oleh pesona figur terlampau jauh—walau sebenarnya Indonesia tidak pernah lepas dari sejarah perpolitikan figur. Banyak mengandalkan survey popularitas tokoh dalam perebutan jabatan politik pun hingga saat mau pemilihan ssat ini, seolah hamburan puzzle mozaik yang sedemikian rupa teraduk antar baik dan buruk dirangkai, kemudian dikomoditikan pada publik seolah barang yang menarik, dan mana yang memiliki nilai jual tertinggi. Itu terjadi dahulu saat sebelum keluar nama Capres dan Cawapres antar kubu. Dan kemudian saat ini, ibarat berlian, dinilai pula konsentrasi pengotor dari figur yang bergabung dalam koalisi pendukung. Seberapa membebanikah, seberapa menjadi pengotor figur yang mendukungkah, kemudian hal ini akan mempengaruhi elektabilitas kandidat yang diunggulkannya. Sangat tidak rasional jika generalisasi ini diterapkan untuk menghancurkan mesin politik yang asal muasalnya dari partai politik. Atau memang karena kadung perpolitikan figur yang menggandrungi masyarakat ini? Sehingga seolah mudah mengombangambingkan elektabilitas. Entahlah. Pun karena itu, juga tak jarang juga hal-hal sensitif dari figur justru ditelanjangi dipublik, dibahas, dijadikan bahan gempuran politik dan kampanye untuk menilai bahkan menjudge kualitas dan karakter kepemimpinannya mendatang. Dibuatnya seperti Tuhan masyarakat saat ini, sudah pandai menilai dan prediksi masa depan dengan orientasi masa lalu, kemudian mengumbar seolah suatu yang akan benar. Ya biarkan, survey yang berbicara.

       Propaganda digantikan pemasaran politik. Slogan pembangunan, kebangsaan, sosialisasi ideologi dan pemberdayaan struktur basis, tidak lagi memiliki nilai apapun, tak mempunyai pengaruh, ya semua slogan macam ini dinilai sebagai hal lumrah tanpa inovasi, kenormatifan yang nyatanya manfaat. Atau justru masyarakat kini yang telalu melodramatik terhadap kondisi bangsanya? Saya jadi teringat beberapa prosesi kampanye yang sudah pernah saya alami. Hehehe. Oleh karena itu, semua diganti daya pikat “Industrialisasi“ pemasaran politik, tak heran kini pamflet-bendera dan celotehan para calon-calon pemegang kuasa rakyat berkelumit pada bau komersialisasi dan daya pikat rasa senang. Perilaku yang menjadi kewajiban pemimipin diindustralisasi pula, turun ke masyarakat, tegas memimpin, dan lainnya dielu-elukan semesta dibanding slogan pembangunan yang dibangun dan dikonsep dengan mengusung cita-cita bersama (atau cita-citanegara?). Yang jelas, publik tak perlu tahu begitu banyak dan detail tentang kelam atau tidaknya rekam jejak calon pemimpin, yang penting adalah kuatnya propaganda dari mesin politik untuk menanamkan suatu ide besar, bukan omong besar. Jika mesin politik berhasil dan dipercaya, rasanya ungkapan ini pas, “Sing bantu Himpunanmu iku angkatanmu dewe“ Hahaha..

Sekian sedikit Curhatan dikala senggang. :D NO ANARKIS NO KONFLIK #SAVEELECTION
(02/07/2014)

0 komentar: