Sajak Orange untuk Ungu

Masih teringat ketika malam itu kita hadir diantara suasana lampu yang menghangatkan,
diantara ruang pelataran yang saling merekatkan, dan
diantara bendera selaksa megah, tegap menantang kesunyian malam.
Rasanya saat itu kita berjumpa dalam kepaduan kata yang bercampur makna, 
            tak peduli apa warna kita,
            dan sungguh tak ada batas yang memaksa rasa untuk membangun keluarga.
Kami ingat betul,
bagaimana kami disambut dalam dekap canda dan hangatnya keramahan yang berselimut rasa ingin tahu,
“Siapa gerangan yang hendak bersua pada kami”, “Hendak apa mengunjungi”
Tatapan kata ini begitu lugu,
            kemudian mencair seiring dengan nafas yang membaur bersama simpul cerita yang mesra.
Oh saudaraku, kita habiskan sejenak malam untuk berbagi cerita demi kebaikan masing-masing.
Dan kita hanyut dalam rasa yang begitu dalam,
            untuk sekelibat masa di malam ini.
Dan kita berjanji untuk bersua disuatu waktu yang sesaat.
Selang waktu, lama rasanya kita tak bersua,
            lama rasanya tak mendengar cerita tentangmu,
                        tiba-tiba saja kau bujurkan cerita perih yang menghantam tubuhmu hingga terseok.
Sebuah makna keluarga yang tak dimaknai seluruhnya sebagai keluarga.
Sebuah cerita penyerahan diri pada khalayak yang sulit dimaknai khalayak sebagai penghambaan luhur.
Dan hal ini kau rasa begitu menyayat.
Suatu masa,
kami perhatikan deru air mata sengaja kau tahan untuk tak mengguyur wajahmu yang terlampau perih luka,
                        sengaja kau tampakkan itu guna menghapus gundah gulana dari kami yang mengaharapkanmu tak apa-apa.
Kau tenangkan katamu, kau tenangkan hati kami.
Kau tuluskan wajahmu dalam menapaki pilihan yang semesta tak bisa kau tolak.
Dan langkahmu kali ini adalah pilihan yang tiada henti,
            untuk menjadi cambuk pahit bagi garis-garis bayang-bayang dibelakangmu,
            yang perlahan disuatu masa akan menguat.
Atau kau relakan, bahumu sebagai pijakan yang kokoh untuk kembali merangkai silver fire,
            sebuah api perak kemenangan dari dirimu untuk khalayak.
Kau harus buktikan itu kembali saudaraku.
Kapan kau hendakkan dirimu kembali untuk hadir?
Bersua dengan kami kembali dalam kehangatan keluarga yang merekatkan sekat-sekat terpisah.
Kemudian kita rangkai kembali langkah tegap perjuangan yang sempat tertunda.
KAMI MENUNGGUMU, JANGANLAH TERLALU LAMA MEMANTIKKAN CAHAYA UNTUK MENYULAM GELAP.

0 komentar: