Sebuah esai lama yang tercecer dalam file-file dan folder di laptop:
Sudah semenjak empat belas tahun yang lalu, Orde Baru
bukan lagi merupakan masa untuk berpijak bagi kaum yang menginginkan perubahan
bagi struktur rezim yang berkuasa saat itu. Runtuhnya kereziman Orde Baru lewat
semangat Reformasi "jilid satu“ yang telah dibawa oleh pemimpin-pemimpin
pergerakan mulai terkobarkan dengan berbagai mimpi serta cita-cita besar pasca
Reformasi. Saat ini yang patut dipertanyakan adalah apakah "revolusi dalam
reformasi belum selesai?“, sebab reformasi yang telah dilakukan masih belum merupakan
jawaban pertanyaan/hakikat sebenarnya dari revolusi dalam reformasi tersebut.
Para pemimpin bangsa sebagai pengemban amanah Reformasi yang diinisiakan, masih
saja terlena dengan kebiasaan buruk terdahulu yang menggerogoti cita-cita
bangsa. Lantas apakah diperlukan kembali Reformasi dengan mengusung nama
"Jilid dua“?, sehingga sekaligus menjadi jawaban pertanyaan "revolusi
dalam reformasi belum selesai?“. Jika di pahami hakikat dari revolusi dalam
reformasi adalah adanya perubahan tataran hakiki dari bangsa, baik dari dalam atau
luar, dari jiwa ataupun raga/bandannya. Berbeda dengan yang masih menganggap
bahwa reformasi adalah melakukan hal yang sekedar berbeda tanpa memiliki nuansa
arah yang jelas dan masih setengah hati.
Dari kondisi krisis hakikat arah reformasi, mulai lahir
para aktifis bangsa guna merampungkan berbagai perspektif beda mengenai
reformasi. Hal ini menjadi angin segar bagi pengentasan krisis hakikat
tersebut, kemudian kembali merekonstruksi jiwa patriotisme dan kepemimpinan
kaum penerus, guna membuka harapan baru menuju perubahan yang lebih baik. Para
aktifis yang bergerak pada rekonstruksi biasanya terbentuk dalam suatu
organisasi ataupun LSM, biasanya bertujuan untuk menggerakkan/menginisiasi
program pendidikan kebangsaan, kepemimpinan dan politik. Semua hal tersebut
bertujuan untuk melakukan kaderisasi terhadap kehidupan sosial kebangsaan yang
luhur di Indonesia, sehingga kembali dapat mengawal hakikat dari revolusi dalam
reformasi dalam menjawab cita-cita bangsa.
Secara etimologi, kaderisasi bermakna harfiah sebagai
proses pembentukan bakal calon warga/anggota dari suatu organisasi, perkumpulan
ataupun sistem dinaunginya yang dilatih, ditanamkan nilai-nilai ideologi positif
untuk menempati posisi yang penting. Dalam organisasi mutlak akan dilaksanakan
kaderisasi sebagai media regenerasi, jika memang tidak ingin melihat organisasi
perlahan terkikis eksistensinya dan akhirnya non aktif. Sejatinya, seorang
kader yang dibentuk perlu memiliki komitmen dan tanggung jawab untuk
melanjutkan visi misi yang junjung organisasi ke depan. Dalam hal ini bangsa
sebagai organisasi besar yang didalamnya terdapat berbagi macam organisasi
kecil dimana setiap generasi muda dapat berkarya dan diharapkan dapat mendukung
visi misi bangsa yang tercantum di Pancasila dan UUD 1945. Mengapa harus
seorang generasi muda? Masuknya kelompok Mahasiswa dalam generasi muda sudah
tentu akan menjadi pendorong yang strategis dalam pergerakan karena mahasiswa
yang ditempa dan selalu dikondisikan dengan pemahaman yang kritis, mampu
memegang idealisme yang tinggi, baik terbentuk akibat lingkungannya,
pendidikannya ataupun memang faktor pribadinya, menjadikan generasi muda ini
menyadari apa peran fungsinya—terutama mahasiswa. Bung Hatta
pernah menyatakan kaderisasi dalam kerangka kebangsaan, “Bahwa kaderisasi sama
artinya dengan menanam bibit. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan,
pemimpin pada masanya harus menanam.”
Jika
di analogikan, sebuah organisasi/bangsa adalah sebagai sebuah pohon yang besar. Sebuah pohon tentu
sangat bergantung pada pondasi, dalam hal ini adalah akar yang kuat agar pohon
tersebut dapat tetap kokoh walaupun tertimpa berbagai kondisi cuaca. Dalam
sebuah bangsa, kaderisasi dijadikan sebagai salah satu pondasi yang diperlukan,
dimana juga terjadi proses penurunan nilai luhur kebangsaan kepada individu
yang memang dibutuhkan untuk menyiapkan individu untuk melaksanakan
tujuan/cita-cita besar dari bangsa yang mengkadernya—hal serupa juga terjadi
pada organisasi, karena pada intinya organisasi-organisasi yang sevisi misi
dengan bangsalah yang menyokong tumbuhnya nilai kebangsaan yang tetap abadi dan
kokoh dalam meraih tujuan/cita-cita bangsa. Hal ini kembali dianalogikan ke dalam
pohon, bahwa sebenarnya kaderisasi seperti akar yang menunjang tetap berdirinya
suatu pohon sehingga bermanfaat bagi sekitarnya.
Ketika
kaderisasi sosial kebangsaan telah perlahan dirintis, persoalan penting selanjutnya
yang mengimbangi dan dihadapi adalah kebutuhan untuk kehadiran pemimpin
nasional berwawasan kebangsaan. Dengan adanya pemimpin yang menjawab
tantangan-tantangan masa depan dan menyatukan berbagai paham dari kader bangsa
pada organisasi, maka akan meminimalisasi arogansi kelompok/organisasi yang
muncul bahwa menganggap kelompoknya yang paling benar. Sense of belong yang terbentuk terlalu besar pada proses kaderisasi
menyebabkan fanatisme terhadap kelompok dan akhirnya malah menutup
kerasionalitasan pemikiran sehingga alih-alih atas dasar solidaritas tetap
membela kepentingan kelompok, tapi entah itu salah atau benar. Selain itu,
tingginya sense of belong dari kader
terhadap bagian kecil dari organisasi kebangsaan, menyebabkan kader hanya akan
berpikiran sempit dan hanya mengembangkan organisasi yang dinaunginya, tanpa
memikirkan untuk keluar menaungi urusan kebangsaan yang lebih besar. Persoalan
penting selanjutnya adalah kemungkinan terjadi kelemahan platform ideologi
dalam jiwa kader, yang berperspektif tunggal, yakni orientasi pada jabatan dan
kekuasaan saja. Jadi bisa dibayangkan, seberapa banyak seorang kader kebangsaan
ingin menduduki kursi pemimpin alih-alih karena punya kuasa atas sesuatu, tanpa
kembali memikirkan apa tujuan sebenarnya dari revolusi dalam reformasi.
Sekian.

0 komentar: