Apa imbas dari tragedi pengeboman di Paris belum lama ini?
Bagi mahasiswa Indonesia di Inggris, satu hal bisa dirasakan:
menguatnya gejala Islamfobia. Beberapa saat setelah tragedi Paris, mulai
muncul gelombang ketidaksukaan terhadap Islam di beberapa kota di
Inggris, seperti Bristol, London, atau Aberdeen.
Suka atau tidak, tragedi Paris memang menempatkan umat Islam sebagai
tersangka. Pesan dan bingkainya dikirimkan dengan sangat jelas oleh para
pelaku serangan. Tentu saja, hal ini sudah disangkal oleh para
pendakwah yang menyatakan terorisme bukan agama. Namun, konsekuensinya
tetap tak bisa ditolak: mereka yang melekatkan identitas ‘Islam’ pada
dirinya, tak peduli seberapa pun tolerannya, akan menjadi korban.
Kesalahpahaman
Dalam karya kolektifnya, Bobby S Sayyid dan Abdoolkarim Vakil (2010)
mengajak kita untuk berpikir lebih mendalam mengenai Islamfobia.
Keduanya mengajukan satu pertanyaan: mengapa orang membenci Muslim atau
cenderung melekatkan kebencian tanpa sebab pada satu identitas tertentu
atas sesuatu yang tidak dilakukan oleh mereka?
Dalam pembacaaannya terhadap Islamfobia tersebut, Sayyid dan Vakil
menyimpulkan bahwa problem Islamfobia muncul bukan sekadar “potret
kebencian” orang-orang Barat yang dipupuk sejak dulu. Prosesnya
kompleks. Ia lahir di antara persimpangan konstruksi berpikir atas
“Muslim” setelah Peristiwa 9/11, serangan Amerika Serikat ke Afganistan
dan Irak, hingga kesalahpahaman yang meluas di antara masyarakat Eropa.
Namun, ada satu poin menarik yang dicatat oleh Sayyid dan Vakil:
Islamfobia sebetulnya juga muncul sebagai sebuah penegasan bagi
orang-orang yang enggan berpikir. Dengan memahami secara simplistis
Islam itu identik dengan kekerasan, teror, atau pengekangan, Islam jadi
“Yang-Lain” bagi mereka, menjadi sesuatu yang bisa dipersalahkan ketika
terjadi sesuatu yang bisa jadi dilakukan oleh orang lain.
Proses semacam ini mengajak kita untuk berpikir lebih rumit: mengapa
Islam bisa diliyankan seperti itu? Seperti dengan baik dicatat oleh
Naeem Inayatullah, proses meliyankan sesuatu merupakan warisan yang,
disadari atau tidak, merupakan warisan kolonialisme yang entah kenapa
bertahan dengan baik dalam imaji masyarakat dunia saat ini.
Kolonialisme menciptakan sebuah imaji “superioritas” kolonial atas
negara koloninya. Dalam spektrum yang lebih luas, imaji itu berkembang
menjadi superioritas Barat atas Timur dan direproduksi dalam berbagai
bentuk hingga saat ini. Naeem Inayatullah memotret hal ini dengan
istilah the problem of difference. Problem yang saya sebut di
atas bisa jadi potret kegagalan dalam menerima perbedaan yang,
ironisnya, diekspresikan melalui kesalahpahaman.
Hal ini tidak hanya terjadi dalam konteks Islamfobia. Hal ini terjadi
ketika orang dengan identitas tertentu (yang dalam banyak hal dibentuk
untuk “superior”) kemudian gagal menerima Islam sebagai sesuatu yang
berbeda. Posisi ekstremnya (sebagaimana kemudian mewujud dalam
Islamfobia) mulai membenci Islam akibat perilaku seseorang yang
mengatasnamakan Islam.
Tentu saja Islam tidak pernah mengajarkan hal yang demikian. Padahal,
semua hanyalah label dan sampul. Siapa tahu seorang Muslim bernama
Ahmed justru menjadi rebutan Facebook dan Google ketika ia diadukan
gurunya ke polisi lantaran membuat jam sendiri?
Meski demikian, akibat bingkai dan identitas yang dibawa oleh pelaku
teror, publik menangkap sesuatu yang keliru. Hal ini juga diperparah
oleh satu hal: kegagalan dalam menerima Islam sebagai sesuatu yang
“berbeda” dan melekatkan kesalahan pada identitas alih-alih perilaku
orangnya.
Apa yang terjadi di beberapa negara Eropa, dengan munculnya
ketidaksukaan terhadap identitas Islam yang mengarah pada pelabelan,
justru lebih parah. Islamfobia dan nalar yang ia reproduksi di sana
membuat orang menggunakan kuasa untuk menstigma atau melabeli mereka
yang kemudian berbeda.
Reproduksi nalar
Lantas, apa yang dapat kita pelajari dari hal ini? Dengan berpikir
melalui Islamfobia, sebetulnya Sayyid dan Vakil mengajak kita untuk
mawas diri: jangan-jangan kita juga mereproduksi Islamfobia tanpa sadar.
Dengan identitas yang ajeg yang ada pada diri kita, kita merasa enggan
untuk menerima perbedaan.
Mungkin, dengan alasan keamanan, sebagian kita justru membenci orang
lain dan menganggap apa yang mereka lakukan tidak baik. Padahal,
bukankah mereka yang mengaku terdidik tahu bahwa hal-hal semacam itu
adalah terlalu menggeneralisasi dan bentuk sesat pikir? Bisa jadi,
kegagalan untuk memahami perbedaan inilah yang kemudian menghasilkan
fasisme: ketika orang-orang yang merasa rasnya paling baik kemudian
memarjinalisasi etnis/kelompok lain dengan menggunakan senjata.
Reproduksi atas nalar Islamfobia ini kemudian mewujud dalam banyak
bentuk: takfiri di kalangan Muslim, rasialisme di kalangan kaum
nasionalis, bullying di kalangan anak sekolah, atau justru
pelayanan yang buruk di kalangan pejabat pelayan publik. Bentuknya bisa
banyak, tetapi muaranya satu: the problem of difference. Hal yang terjadi bahkan di tengah jantung modernitas.
Hal yang berbahaya dari hal ini adalah: lama-lama, jika logika
semacam ini dipertahankan, kita belajar jadi penindas. Kita belajar
menjadi kaum mayoritas yang dengan angkuh menyuruh kaum minoritas untuk
patuh kepada kita, kalau perlu dengan menggunakan senjata. Kita belajar
untuk menjadi orang-orang sok kuasa yang gagal memahami kekuasaan
sebagai amanah untuk memberdayakan yang lemah.
Jika logika semacam ini dipertahankan pada birokrasi dan kehidupan
sehari-hari di kalangan anak muda, jangan pernah berpikir menjadi
pemimpin masa depan. Sebab, bisa jadi kita justru sedang belajar jadi
tiran dan berpotensi mengulang sejarah kelam masa silam.
Hal ini penting, terutama bagi mereka yang banyak dibekali
jargon-jargon semacam menjadi pemimpin masa depan. Sebelum belajar
menjadi pemimpin (atau ikut pelatihan kepemimpinan), mungkin sebagai
kaum muda perlu berefleksi secara sederhana: apakah kita belajar untuk
menindas dengan pengetahuan yang kita miliki atau tidak?
Pengetahuan bak pedang bermata ganda: ia bisa menjadi media
pembebasan bagi orang yang lemah, tetapi di saat bersamaan bisa menjadi
instrumen penindasan. Ken Setiawan merefleksikan hal ini dalam satu
tulisannya. Insinyur yang mendesain Tugu Savanajaya di Pulau Buru ini
bukan sekadar mendesain bangunan: di saat yang bersamaan, ia juga
mendesain simbol penindasan bagi para tahanan politik di pulau Buru.
Oleh sebab itulah, penting bagi mereka yang mendaku diri intelektual
masa depan untuk mawas diri melalui Islamfobia: mari belajar untuk tidak
menjadi seorang penindas. Belajar itu bisa dimulai dari hal-hal yang
simpel, seperti mengakui bahwa manusia tidak mesti diseragamkan dan
bahwa perbedaan bukan sesuatu yang seharusnya ditolak.
Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Mungkin kita bisa memulainya
dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer: bahwa seorang yang terpelajar
mestilah mampu bersikap adil sejak dalam pikiran. Setidaknya, belajar
untuk adil terhadap kaum lemah dan tidak menindas mereka.
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar,
Mahasiswa Pascasarjana di University of Sheffield, UK

Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances